Skip to main content

Posts

Menengok kehidupan Sunda Wiwitan di Kota Bekasi - Jawa Barat

Posted by Maha Meru  BETAWI DAN KRANGGAN Penghormatan Warga Kranggan kepada Bumi dan Langit Kranggan adalah sebuah perkampungan yang terletak persis di perbatasan antara Kota Bekasi dan Kabupaten Bogor. Meski berada di tengah derasnya laju pembangunan yang berlangsung di Kota Bekasi maupun di Cibubur, Kabupaten Bogor, masyarakat Kampung Kranggan, yang kini termasuk wilayah Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi, masih lekat dengan kehidupan budaya dan tradisi masa silam. Di kampung ini masih dapat dijumpai rumah-rumah tradisional yang berbentuk rumah panggung, meskipun sudah banyak yang mulai rusak dimakan usia. Disebut rumah panggung karena bangunan rumah ditopang sejumlah tiang penyangga, dengan jarak antara lantai rumah dan tanah rata-rata sekitar 50 sentimeter. Keunikan lain rumah tradisional di Kampung Kranggan adalah terletak pada bentuk atap rumah yang bervariasi dan fungsi masing-masing ruangan di dalam rumah tersebut. Sedikitnya ada tiga bentuk

KEPERCAYAAN KUNO : SUNDA WIWITAN (SUNDANESSE ANCIET BELIEF)

Sunda Wiwitan  adalah  agama  atau kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah  leluhur  ( animisme  dan  dinamisme ) yang dianut oleh masyarakat tradisional  Sunda . Akan tetapi ada sementara pihak yang berpendapat bahwa Agama Sunda Wiwitan juga memiliki unsur  monoteisme  purba, yaitu di atas para  dewata  dan  hyang  dalam pantheonnya terdapat dewa tunggal tertinggi maha kuasa yang tak berwujud yang disebut Sang Hyang Kersa yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi  Banten  dan  Jawa Barat , seperti di  Kanekes ,  Lebak ,  Banten ; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul,  Cisolok , Sukabumi;  Kampung Naga ;  Cirebon ; dan  Cigugur, Kuningan . Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh  orang Sunda  sebelum datangnya ajaran  Hindu  dan  Islam . Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab  Sanghyang siksakanda ng karesian , sebuah kitab ya

Madrais, Menyemai Tradisi Menuai Diskriminasi "(SUNDA WIWITAN)

"Namun komentar ini disanggah oleh para cucu Madrais sendiri. Dewi Kanthi menegaskan, kakek buyutnya bukan seorang muslim." DEWI KANTHI Kiai Madrais Sadewa Alibasa Kusumah Wijaya Ningrat (m. 1939) dari Cigugur, Kuningan merupakan nasionalis. Namun karena sejarah ia pernah dipahami secara keliru dan dimusuhi oleh komunitasnya sendiri. Awal September 2012 lalu penulis mendengar sosok Madrais melalui penuturan para penganutnya. Adalah tokoh pendiri sekaligus penyebar ajaran—untuk tidak menyebutnya ‘agama’—Sunda Wiwitan (Sunda permulaan; lama). Menurut cerita, Madrais masih memiliki hubungan darah dengan Kepangeranan (keraton) Gebang. Seorang putera kandung raja Gebang yang bangunan keratonnya dibumihanguskan kolonial Belanda. Oleh ibunya, anak yang belum genap satu tahun itu kemuian diselamatkan dan disembunyikan di Cigugur supaya luput dari kejaran Belanda. Madrais menjelma menjadi pribadi yang memiliki kepekaan rasa, kehalusan budi, kepedulian sosial,

SUNDA WIWITAN -Kami Pun Ingin Diakui-

Sunda wiwitan merupakan sebuah agama yang lahir di tanah air dan Nagara Sunda. Namun pemeluk agama ini mengalami diskriminasi layaknya penganut agama-agama lain yang tidak �diakui� di Indonesia. Para penganut ajaran ini mengaku kesulitan mendapatkan identitas diri dan kerap dikucilkan dari masyarakat. Hingga kini, tak satu pun agama-agama dan kepercayaan asli nusantara yang diakui di Indonesia sebagai agama dengan hak-hak untuk dicantumkan di KTP, Akta Kelahiran, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil. Apa Sebenarnya Sunda wiwitan itu? Salah satu yang menganut ajaran Sunda Wiwitan adalah Dewi Kanthi Setyaningsih. Ia menjelaskan lebih jauh soal latar belakang paham yang dianutnya. Menurutnya Sunda Wiwitan adalah sebuah agama yang memang diyakini oleh sejumlah orang di daerah Sunda. Salah satu daerah yang menganut ajaran agama ini adalah Suku Baduy. �Wiwitan mengandung arti sebagai permulaan awal. Pemahaman Sunda Wiwitan sendiri adalah s

Samin Tuntut Pengakuan Sebagai Agama

 Cetak  Email Selasa, 18 Agustus 2015 Dilihat: 36 Orang-orang Samin (Ist)‏ BREBES- Setelah 70 tahun merdeka, diskriminasi dan intimidasi terhadap  terhadap pemeluk agama lokal masih terus berlangsung dilakukan oleh agama-agama yang diakui resmi di Indonesia. Hal ini disampaikan para penganut agama Samin dan Sapta Darma kepada Bergelora.com di Brebes, Jawa Tengah, Selasa (18/7). “Penganut agama Sapta Darma di Kabupaten Brebes sangat terdiskriminasi. Kekerasan yang dialami penganut Sapta Darma tak hanya dialami saat masih hidup, tapi sudah mati pun masih mengalami hal serupa,” ujar penganut Sapta Darma asal Kabupaten Brebes Jawa Tengah, Carlim. Ia menyampaikan, warganya yang meninggal pernah dibongkar makamnya karena tidak memeluk agama yang diakui negara. “Pernah ada warga kami sudah dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU). Gara-gara diketahui menganut Sapta Darma, makamnya dibongkar. Jenazahnya disuruh dipindah di ta

Pahlawan Nasional Indonesia yang Beragama Buddha

Pahlawan Nasional Indonesia yang Beragama Buddha Paramita Gotami | Monday, 17 August 2015 22.14 PM Person Sutar Soemitro Walaupun bukan agama mayoritas, umat Buddha ikut memiliki andil dalam usaha merebut kemerdekaan Indonesia. Jumlahnya memang tidak banyak, tapi ada juga loh pahlawan nasional yang beragama Buddha atau menjalankan Buddhisme. Tiga nama berikut patut dikedepankan. Mungkin masih ada nama lain yang belum diketahui. Jenderal Gatot Subroto Salah satu pahlawan nasional beragama Buddha yang terjun langsung dalam berbagai pertempuran melawan penjajah adalah Jenderal Gatot Subroto. Ia adalah tokoh asal Banyumas, Jawa Tengah yang merupakan penggagas akademi militer gabungan –sekarang dikenal dengan istilah AD, AU, dan AL– untuk membina para perwira muda. Jenderal Gatot Subroto dikenal sering membantu perkembangan agama Buddha di Indonesia

Jalan Kaki 3 Hari ke Istana, Suku Baduy Ingin Agama Sunda Wiwitan Diakui

Presiden Jokowi (kiri) menyerahkan bendera kepada anggota Paskibraka, Senin (17/8/2015). (Dwi Prasetya/JIBI/Bisnis) HUT ke-70 RI menjadi pengalaman baru bagi Suku Baduy. Mereka diundang ke Istana meskipun harus jalan kaki 3 hari. Solopos.com, JAKARTA — Selama tiga hari, perwakilan suku adat Baduy berjalan kaki menuju Istana Kepresidenan Jakarta. Hal itu mereka lakukan untuk memenuhi undangan menghadiri Upacara Detik-Detik Proklamasi ke-70 RI. Mursyid, Wakil Jaro Tangkir Cibeok, Lebak, Banten, mengatakan rombongan suku adat Baduy yang terdiri dari tujuh orang tiba di Kompleks Istana Kepresidenan pada pukul 06.00 WIB. Lima orang berasal dari Badui Dalam dan dua orang dari Badui Luar. “Ini bagus sekali, sangat berbahagia