Pahlawan Nasional Indonesia yang Beragama Buddha
Sutar Soemitro
Walaupun bukan agama mayoritas, umat
Buddha ikut memiliki andil dalam usaha merebut kemerdekaan Indonesia.
Jumlahnya memang tidak banyak, tapi ada juga loh pahlawan nasional yang
beragama Buddha atau menjalankan Buddhisme. Tiga nama berikut patut
dikedepankan. Mungkin masih ada nama lain yang belum diketahui.
Jenderal Gatot Subroto
Salah satu pahlawan nasional beragama Buddha yang terjun langsung
dalam berbagai pertempuran melawan penjajah adalah Jenderal Gatot
Subroto. Ia adalah tokoh asal Banyumas, Jawa Tengah yang merupakan
penggagas akademi militer gabungan –sekarang dikenal dengan istilah AD,
AU, dan AL– untuk membina para perwira muda.
Jenderal Gatot Subroto dikenal sering membantu perkembangan agama
Buddha di Indonesia kala Buddhisme luntur dan berusaha disebarkan lagi
di Nusantara. Istrinya bahkan pernah memimpin rombongan wanita Buddhis
perwakilan dari Indonesia dalam Konferensi Wanita Buddhis Sedunia di
Jepang pada tahun 1961.
Brigjen Soemantri M.S.
Kemudian ada Soemantri Mohammad Saleh. Soemantri Mohammad Saleh
adalah salah satu pasukan dari GPH Djatikusumo dan Gatot Subroto di
struktural pasukan PETA yang kemudian menjabat sebagai Brigadir Jenderal
di TNI.
Dibesarkan dalam keluarga Islam dengan nuansa Jawa yang kental
tidak membuatnya mengurungkan niat untuk belajar mengenai agama Buddha.
Setelah lama menjadi seorang Muslim, ia bertemu dengan Bhikkhu Ashin
Jinarakkhita. Ia begitu terpesona dengan ajaran Buddha hingga akhirnya
berpindah keyakinan dan menjadi seorang Buddhis. Namanya pun diubah
menjadi M.U. Sasanasinha Soemantri M.S. Ia kemudian terpilih menjadi
ketua Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI) pada tahun 1982. Selama
masa itu juga, ia menjabat sebagai asisten gubernur DKI Jakarta.
R.A. Kartini
Agama Buddha tidak hanya menarik perhatian dua perwira tersohor
semasa perjuangan kemerdekaan. Raden Ajeng Kartini, pelopor pejuang
hak-hak perempuan juga menjadi salah satu pahlawan nasional yang
memiliki keyakinan pada ajaran Buddha.
Lewat surat-surat kepada sahabat-sahabatnya di luar negeri ketika ia
memperjuangkan hak-hak perempuan, R.A. Kartini seringkali menggunakan
istilah yang berhubungan dengan Buddhisme seperti ”Boeddhabeeld ” yang
berarti arca Buddha, ”Boeddha-kindje” yang berarti anak Buddha,
”Boeddhisme” yang berarti Buddhisme, dan ”Bodhisatwa” yang berarti calon
Buddha. Ia bahkan memilih untuk menjadi vegetarian dan menyebut dirinya
sendiri “anak Buddha”.
Dalam buku “Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang),
salah satu surat Kartini kepada R.M. Abendanon-Mandri yang berhasil
dikumpulkan oleh J.H. Abendanon, tertulis kutipan pernyataan dari
Kartini mengenai pilihannya bervegetarian: Ik ben een Boeddha-kindje,
weet u, en dat is al een reden om geen dierlijk voedsel te gebruiken;
Saya adalah anak Buddha, Anda tahu, itu alasan saya tidak memakan
makanan hewani. (Door Duisternis tot Licht: 277)
Dalam tiga suratnya yang lain, Kartini memuji buku karya Harold Fielding berjudul ”De Ziel van een Volk” (Jiwa Suatu Bangsa)
yang diterjemahkan oleh Felix Orrt ke dalam bahasa Inggris. Buku ini
berisi pengalaman dan pengetahuan penulis mengenai ajaran Buddha serta
bagaimana masyarakat Myanmar menerapkan dan menerjemahkan ajaran dalam
kehidupan mereka. De Ziel van een Volk juga membahas mengenai
kedudukan kaum perempuan yang secara umum setara dengan pria, pernikahan
yang dianggap murni urusan duniawi bukan urusan agama, dan peran
perempuan dalam keagamaan yang ”lebih religius tapi tidak serius”, yang
berbanding terbalik dengan kaum laki-lakinya.
Gagasan Kartini mengenai emansipasi wanita kemudian lahir dan
berkembang di Indonesia. Wanita Jepara yang banyak terinspirasi oleh
ajaran Buddha ini menjadi satu lagi bukti bahwa keberagaman dan
perbedaan menimbulkan banyak dampak positif dan bahwa keberagaman adalah
napas bangsa yang harus kembali berembus di usia ke-70 ini.
http://buddhazine.com/pahlawan-nasional-indonesia-yang-beragama-buddha/
Comments