Skip to main content

Posts

Showing posts with the label Sunda Wiwitan Cireundeu

MK: Penghayat kepercayaan masuk kolom agama di KTP dan KK

Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa "negara harus menjamin setiap penghayat kepercayaan dapat mengisi kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK)". "Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," tegas Ketua MK Arief Hidayat, dalam sidang di Gedung MK, Selasa (07/11). Melalui putusan tersebut, para penggugat yang terdiri dari Komunitas Marapu di Pulau Sumba, penganut kepercayaan Parmalim di Sumatera Utara, penganut kepercayaan Ugamo Bangsa Batak di Sumatera Utara, serta penganut kepercayaan Sapto Darmo di Pulau Jawa, berhak untuk mengisi kolom agama pada KTP dan KK sesuai dengan kepercayaan mereka masing-masing. "Di KTP itu kami mohonkan agar dituliskan kepercayaan. Jadi kami mohonkan kesetaraan atau secara umum dari Sabang dan Merauke untuk kepercayaan. Di dalam kepercayaan itu tercakup semua mau Sapto Dharmo dan segala macam. (Dari) Sabang (sampai) Merauke sama," kata Arnol Purba, penganut kepercayaan Ug

Dedi Mulyadi Minta Wali Kota Cimahi Urus KTP Penganut Sunda Wiwitan

BANDUNG, KOMPAS.com - Ketua DPD Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi menginstruksikan Golkar Cimahi mengurus administrasi kependudukan Kampung Adat Cireundeu, Cimahi, Jawa Barat. Pasalnya sampai hari ini masih ada warga yang belum memiliki KTP, surat nikah, maupun akta kelahiran. "Pak Itoch yang beristrikan wali kota Cimahi, jika jadi sesepuh Beringin ( Golkar ) segera urus warga sendiri," ujar Dedi di Cireundeu Cimahi, Minggu (7/8/2016). Itoch Tochija merupakan ketua DPD Golkar Cimahi. Ia pernah menjabat wali kota Cimahi yang saat ini dijabat oleh istrinya. Dedi menjelaskan, orang yang lebih mencintai lingkungan, mencintai adat adalah orang-orang seperti di Cireundeu ini. Kalaupun agama yang mereka anut di luar yang diakui negara, mereka tetap warga Indonesia. Seperti diketahui, warga Kampung Adat Cireundeu merupakan penghayat Sunda Wiwitan. Sama halnya dengan Cigugur Kuningan, mereka bertahan mempertahankan keyakinannya meskipun dipersulit

Sunda Wiwitan Cireundeu, Kepercayaan Baduy Versi Lain

Jatinangor (ANTARA News) - Kepercayaan Sunda Wiwitan yang dianut masyarakat Cireundeu di Cimahi, Jawa Barat merupakan pengembangan dari Sunda Wiwitan yang dianut masyarakat Baduy di wilayah Banten, walaupun ada perbedaan cukup besar yang ditemukan diantara kedua kepercayaan tersebut. Perbedaan yang mendasar antara Sunda Wiwitan Cireundeu dan Baduy adalah dari kebiasaan mereka dimana orang Baduy sangat menghargai dan menyembah beras sebagai Dewa Sri, sedangkan di Cireundeu malah menghindari beras, kata Undang Ahmad Darsa, seorang Filolog terkemuka Indonesia kepada ANTARA News, Jumat. Undang yang juga dosen Jurusan Sastra Sunda Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung itu menyebut masyarakat Baduy juga tidak mau mengekspos kepercayaan mereka karena hal itu adalah sakral. Berbeda dengan di Cireundeu dimana siapapun boleh keluar masuk desa tersebut, dan pemuka adat memperbolehkan siapapun ikut menganut kepercayaan ini jika telah yakin. Selain itu masyarakat Cireundeu men

Nasib penganut aliran kepercayaan di Cireundeu

Konstitusi jelas menyatakan, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing. Namun ini ternyata tak berlaku di kampung Cireundeu, Cimahi, Jawa Barat. Para penganut kepercayaan Sunda Wiwitan di kampung ini tak dijamin kemerdekaannya untuk menjalankan keyakinan. Anak-anak yang terlahir dari penganut kepercayaan, bahkan tak diakui oleh negara. Di sekolah, mereka terpaksa mengakui dan mempelajari agama lain, supaya nilai pelajaran agama tak kosong di rapor. Reporter KBR68H Suryawijayanti berbincang dengan remaja Sunda Wiwitan yang tak sudi jadi pengkhianat kepercayaan mereka. Takut FPI Setahun lalu gerombolan beratribut Front Pembela Islam menyerbu Aliansi Keberagaman di Tugu Monas Jakarta. Deis, Irma, Rini dan Enci saat itu ada di sana. Di kepala mereka, masih terekam jelas peristiwa beringas di hari jadi Pancasila itu. Anak-anak: "Takut, kayak dilempar-lempar batu, takut saja ... Ya tegang terus, pokoknya