Sunda wiwitan merupakan sebuah agama
yang lahir di tanah air dan Nagara Sunda. Namun pemeluk agama ini
mengalami diskriminasi layaknya penganut agama-agama lain yang tidak
�diakui� di Indonesia. Para penganut ajaran ini mengaku kesulitan
mendapatkan identitas diri dan kerap dikucilkan dari masyarakat.
Hingga kini, tak satu pun agama-agama dan kepercayaan asli nusantara yang diakui di Indonesia sebagai agama dengan hak-hak untuk dicantumkan di KTP, Akta Kelahiran, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil.
Apa Sebenarnya Sunda wiwitan itu?
Salah satu yang menganut ajaran Sunda Wiwitan adalah Dewi Kanthi Setyaningsih. Ia menjelaskan lebih jauh soal latar belakang paham yang dianutnya. Menurutnya Sunda Wiwitan adalah sebuah agama yang memang diyakini oleh sejumlah orang di daerah Sunda. Salah satu daerah yang menganut ajaran agama ini adalah Suku Baduy. �Wiwitan mengandung arti sebagai permulaan awal. Pemahaman Sunda Wiwitan sendiri adalah sebagai sistem keyakinan yang merupakan tradisi nenek moyang dari masyarakat Sunda kuno. Itu jauh sebelum ada agama-agama dari luar nusantara masuk,� papar Dewi.
Namun lebih jauh ia juga menjelaskan, pemeluk agama ini tidak hanya berasal dari etnis Sunda saja. Filosofi Sunda mengandung makna damai atau cahaya. �Nah. Cahaya awal kehidupan itulah yang kami maknai lebih dalam,� jelas Dewi singkat. Pemaknaan kata �Wiwitan� itu sendiri lanjutnya, masih dilandasi oleh kesadaran tetap menjunjung nilai-nilai kodrati dari pencipta kehidupan. Intinya kata dia, penganut ajaran itu ingin membangun kesadaran untuk membangun tradisi spiritual.
Praktik Diskriminasi Akrab Dengan Penganut Paham Minoritas
Selain mengalami kekerasan, penganut agama Sunda Wiwitan rentan terhadap diskriminasi. Mendapatkan dokumen kependudukan seperti KTP bukan hal yang mudah. Juga kartu keluarga sampai surat nikah. Persoalannya terpaku pada kepercayaan yang dianut Dewi Kanti yang belum diakui negara. Saat ini baru 6 agama yang mendapat pengakuan, Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. �Negara belum mengakui kami,� keluh Dewi Kanti.
Sekretaris Jenderal Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), Nia Syaifuddin menyayangkan dengan apa yang terjadi terhadap para pemeluk paham minoritas, termasuk Sunda Wiwitan ini. Menurutnya, negara dalam konstitusinya memang menjamin kebebasan setiap warganya untuk memeluk dan beribadah sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. �Tapi itu hanya berlaku bagi bagi agama yang diakui oleh pemerintah saja, yakni Kristen, Protestan, Budha, Hindu, Konghucu, dan Islam. Sementara bagi sekian banyak penganut ajaran lain, itu tak berlaku,� sesalnya.
Pemerintah Harus Mengakui
Pemerintah kata Nia, seharusnya melihat fakta yang ada di masyarakat bahwa masih banyak orang-orang yang belum bebas menjalankan dan meyakini ajaran yang mereka ingin yakini. �Pemerintah membuat aturan seolah ingin membunuh banyak kepercayaan lokal. Seharusnya bila mengacu pada Pasal 29 soal kebebasan beragama, seharusnya negara menjamin setiap warganya untuk memeluk serta beribadah sesuai dengan apa yang ia yakini. Tak perlu mengkotak-kotakkan pada situasi �ajaran lokal� dan �ajaran impor�,� harapnya.
Ia juga berasumsi bahwa banyaknya diskriminasi terhadap kaum-kaum minoritas yang terjadi belakangan ini sangat dipengaruhi oleh stigma semacam itu. �Jadi bagi mereka yang menganut ajaran di luar yang enam itu, dianggap sesat,� kata Nia. Padahal seharusnya Pemerintah justru menjamin kerukunan umat beragama sesuai dengan semboyan bangsa ini, yakni Bhineka Tunggal Ika.
*Mohon maaf jika SARA atau kurang berkenan dihati agan karena saya membuat Thread seperti ini, mohon maaf juga karena kebodohan saya sehingga thread ini kurang bagus dan mohon dibaca dengan hati terbuka
Hingga kini, tak satu pun agama-agama dan kepercayaan asli nusantara yang diakui di Indonesia sebagai agama dengan hak-hak untuk dicantumkan di KTP, Akta Kelahiran, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil.
Apa Sebenarnya Sunda wiwitan itu?
Salah satu yang menganut ajaran Sunda Wiwitan adalah Dewi Kanthi Setyaningsih. Ia menjelaskan lebih jauh soal latar belakang paham yang dianutnya. Menurutnya Sunda Wiwitan adalah sebuah agama yang memang diyakini oleh sejumlah orang di daerah Sunda. Salah satu daerah yang menganut ajaran agama ini adalah Suku Baduy. �Wiwitan mengandung arti sebagai permulaan awal. Pemahaman Sunda Wiwitan sendiri adalah sebagai sistem keyakinan yang merupakan tradisi nenek moyang dari masyarakat Sunda kuno. Itu jauh sebelum ada agama-agama dari luar nusantara masuk,� papar Dewi.
Namun lebih jauh ia juga menjelaskan, pemeluk agama ini tidak hanya berasal dari etnis Sunda saja. Filosofi Sunda mengandung makna damai atau cahaya. �Nah. Cahaya awal kehidupan itulah yang kami maknai lebih dalam,� jelas Dewi singkat. Pemaknaan kata �Wiwitan� itu sendiri lanjutnya, masih dilandasi oleh kesadaran tetap menjunjung nilai-nilai kodrati dari pencipta kehidupan. Intinya kata dia, penganut ajaran itu ingin membangun kesadaran untuk membangun tradisi spiritual.
Praktik Diskriminasi Akrab Dengan Penganut Paham Minoritas
Selain mengalami kekerasan, penganut agama Sunda Wiwitan rentan terhadap diskriminasi. Mendapatkan dokumen kependudukan seperti KTP bukan hal yang mudah. Juga kartu keluarga sampai surat nikah. Persoalannya terpaku pada kepercayaan yang dianut Dewi Kanti yang belum diakui negara. Saat ini baru 6 agama yang mendapat pengakuan, Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. �Negara belum mengakui kami,� keluh Dewi Kanti.
Sekretaris Jenderal Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), Nia Syaifuddin menyayangkan dengan apa yang terjadi terhadap para pemeluk paham minoritas, termasuk Sunda Wiwitan ini. Menurutnya, negara dalam konstitusinya memang menjamin kebebasan setiap warganya untuk memeluk dan beribadah sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. �Tapi itu hanya berlaku bagi bagi agama yang diakui oleh pemerintah saja, yakni Kristen, Protestan, Budha, Hindu, Konghucu, dan Islam. Sementara bagi sekian banyak penganut ajaran lain, itu tak berlaku,� sesalnya.
Pemerintah Harus Mengakui
Pemerintah kata Nia, seharusnya melihat fakta yang ada di masyarakat bahwa masih banyak orang-orang yang belum bebas menjalankan dan meyakini ajaran yang mereka ingin yakini. �Pemerintah membuat aturan seolah ingin membunuh banyak kepercayaan lokal. Seharusnya bila mengacu pada Pasal 29 soal kebebasan beragama, seharusnya negara menjamin setiap warganya untuk memeluk serta beribadah sesuai dengan apa yang ia yakini. Tak perlu mengkotak-kotakkan pada situasi �ajaran lokal� dan �ajaran impor�,� harapnya.
Ia juga berasumsi bahwa banyaknya diskriminasi terhadap kaum-kaum minoritas yang terjadi belakangan ini sangat dipengaruhi oleh stigma semacam itu. �Jadi bagi mereka yang menganut ajaran di luar yang enam itu, dianggap sesat,� kata Nia. Padahal seharusnya Pemerintah justru menjamin kerukunan umat beragama sesuai dengan semboyan bangsa ini, yakni Bhineka Tunggal Ika.
*Mohon maaf jika SARA atau kurang berkenan dihati agan karena saya membuat Thread seperti ini, mohon maaf juga karena kebodohan saya sehingga thread ini kurang bagus dan mohon dibaca dengan hati terbuka
http://forum.detik.com/sunda-wiwitan-kami-pun-ingin-diakui-t476331.html
Comments