- Selasa, 18 Agustus 2015
- Dilihat: 36
“Penganut
agama Sapta Darma di Kabupaten Brebes sangat terdiskriminasi. Kekerasan
yang dialami penganut Sapta Darma tak hanya dialami saat masih hidup,
tapi sudah mati pun masih mengalami hal serupa,” ujar penganut Sapta
Darma asal Kabupaten Brebes Jawa Tengah, Carlim.
Ia menyampaikan, warganya yang meninggal pernah dibongkar makamnya karena tidak memeluk agama yang diakui negara.
“Pernah
ada warga kami sudah dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU).
Gara-gara diketahui menganut Sapta Darma, makamnya dibongkar. Jenazahnya
disuruh dipindah di tanah milik sendiri,” tutur Carlim sembari menahan
isak tangis.
Sementara
penganut agama lokal lainnya asal Jawa Tengah, Budi Santoso,
menyampaikan, diskriminasi yang dialami penganut agama yang lahir di
Indonesia atau yang diistilahkan pemerintah dengan penghayat
kepercayaan, lebih berat ketimbang yang dialami penganut agama resmi.
“Jika yang agamanya diakui pemerintah saja mengalami diskriminasi, apalagi agama kami (Samin-red) lebih menyakitkan,” tuturnya.
Sesepuh
penganut agama Samin Kabupaten Kudus itu, selain menceritakan segala
persoalan yang dialami, juga mengajak kepada semua anggota Sobat KBB
supaya ikut serta membantu warga Samin yang sedang meminta kepada
pemerintah supaya mengakui keberadaan Samin sebagai agama.
“Kami
sudah mengirimkan surat ke pemerintah provinsi, pusat, kepada Komnas
HAM, dan lain-lain, supaya mereka membantu kami, Samin diakui sebagai
agama. Memang ini hal sulit, tapi kalau kami tidak memperjuangkannya,
kami khawatir anak cucu kami tidak tahu kalau Samin itu sebenarnya ya
agama,” paparnya
Gerakan Samin
Ajaran Samin, disebut juga Pergerakan Samin atau Saminisme adalah salah satu suku yang ada di Indonesia. Masyarakat ini adalah keturunan para pengikut Samin Surosentiko yang mengajarkan sedulur sikep, yang mengobarkan semangat perlawanan tanpa kekerasan terhadap Belanda.
Perlawana berupa menolak membayar pajak dan menolak segala peraturan
yang dibuat pemerintah kolonial. Masyarakat ini acap memusingkan
pemerintah Belanda maupun penjajahan Jepang karena sikap itu, sikap yang
hingga sekarang dianggap menjengkelkan oleh kelompok di luarnya.
Masyarakat
Samin sendiri juga mengisolasi diri hingga baru pada tahun 1970-an,
mereka baru tahu Indonesia telah merdeka. Kelompok Samin ini tersebar di
Jawa Tengah, namun konsentrasi terbesarnya berada di kawasan Blora, Jawa Tengah dan Bojonegoro, Jawa Timur
yang masing-masing bermukim di perbatasan kedua wilayah. Jumlah mereka
tidak banyak dan tinggal di kawasan pegunungan Kendeng di perbatasan dua
provinsi.
Kelompok Samin lebih suka disebut wong sikep, karena kata samin
bagi mereka mengandung makna negatif. Orang luar Samin sering
menganggap mereka sebagai kelompok yang lugu, tidak suka mencuri,
menolak membayar pajak, dan acap menjadi bahan lelucon terutama di
kalangan masyarakat Bojonegoro. Pokok ajaran Samin Surosentiko, yang
nama aslinya Raden Kohar, kelahiran Desa Ploso Kedhiren, Randublatung,
tahun 1859, dan meninggal saat diasingkan ke Padang, 1914.
Orang Samin juga memiliki kitab suci bernama Serat Jamus Kalimasada yang terdiri atas beberapa buku, antara lain Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, Serat Lampahing Urip, dan merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan dimuliakan oleh orang Samin.
Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten (pengukuhan kehidupan sejati) ditulis dalam bentuk puisi tembang, kesusasteraan Jawa. Dengan kitab itulah, orang Samin membangun sebuah negara batin yang jauh dari sikap drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Sebaliknya, mereka hendak mewujudkan perintah "Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokali dilakoni." (Parto)
http://www.bergelora.com/nasional/kesra/2255-samin-tuntut-pengakuan-sebagai-agama.html
Comments