"Namun komentar ini disanggah oleh para cucu
Madrais sendiri. Dewi Kanthi menegaskan, kakek buyutnya bukan seorang
muslim." DEWI KANTHI
Kiai Madrais
Sadewa Alibasa Kusumah Wijaya Ningrat (m. 1939) dari Cigugur, Kuningan
merupakan nasionalis. Namun karena sejarah ia pernah dipahami secara
keliru dan dimusuhi oleh komunitasnya sendiri.
Awal September
2012 lalu penulis mendengar sosok Madrais melalui penuturan para
penganutnya. Adalah tokoh pendiri sekaligus penyebar ajaran—untuk tidak
menyebutnya ‘agama’—Sunda Wiwitan (Sunda permulaan; lama).
Menurut cerita,
Madrais masih memiliki hubungan darah dengan Kepangeranan (keraton)
Gebang. Seorang putera kandung raja Gebang yang bangunan keratonnya
dibumihanguskan kolonial Belanda. Oleh ibunya, anak yang belum genap
satu tahun itu kemuian diselamatkan dan disembunyikan di Cigugur supaya
luput dari kejaran Belanda.
Madrais
menjelma menjadi pribadi yang memiliki kepekaan rasa, kehalusan budi,
kepedulian sosial, memiliki cinta yang tinggi terhadap budaya dan
menjunjung tinggi kedaulatan bangsa. Madrais dewasa sangat prihatin
dengan nasib bangsanya yang berada dalam cengkeraman kaum penjajah. Ia
kemuian membuat semacam komunitas atau jamaah untuk selanjutnya ia didik
dengan cara pandang yang memiliki kepedulian dan anti penjajahan.
Komunitas itu ia wadahi dalam satu lembaga bernama perguruan (paguron),
ada juga yang menyebutnya dengan pesantren.
Selama
hidupnya, pangeran keturunan Kepangeranan Gebang Kinatar (sekarang
lokasinya di Losari, Cirebon, Jawa Barat) itu pernah dibuang penjajah
Belanda ke Tanah Merah, Maluku (1901-1908). Belanda menuduh Madrais
telah menyebarkan ajaran sesat. Namun tokoh ini berhasil pulang ke
kampung halaman, di Cigugur, dan kembali mengajarkan kepada rakyat
pentingnya hidup sebagai orang yang mandiri dan mencintai sesama.
Salah satu
ajaran Madrais yang popular di kalangan penganut Sunda Wiwitan adalah
makan dan minumlah dari hasil keringat sendiri. Satu pesan yang
menganjurkan untuk tidak mudah menerima uluran belas kasihan orang lain
kecuali dari kerja keras. Orang yang tidak senang dengan Madrais, ajaran
ini dipelintir sehingga berkesan tokoh ini mengharuskan para
pengikutnya untuk menghisap keringat sang guru.
Sadar Kebangsaan
Madrais hidup
sekitar tahun 1832 sampai 1939, ketika seluruh kekayaan bangsa
Indonesia: sumber daya alam, ilmu pengetahuan, agama, budaya, hingga
akal sehat sudah hilang dari manusianya.
Dalam kondisi
yang demikian, Madrais tampil sebagai putera pribumi yang sadar dan
merasa harus bangkit dari kehancuran sebagai bangsa. Kritik yang
disampaikan Madrais, yang selanjutnya menjadi ajaran yang ia tanamkan
kepada para pengikutnya adalah: tidak adanya tatanan sosial untuk
menciptakan keadilan di masyarakat, tidak berfungsinya agama-agama dalam
melahirkan manusia yang saling menghargai kedaulatan sebagai bangsa,
dan hilangnya kepercayaan diri sebagai bangsa yang berdaulat di muka
bumi.
Tiga hal ini,
menurut saya, menjadi saka guru ajaran Kiai Madrais. Pangeran Madrais
mengajarkan pentingnya kesadaran sebagai manusia dan bangsa yang
mengenal cara dan ciri manusia, antara lain, welas asih (cinta) kepada
sesama, tata kerama, berbudaya, berbahasa, beraksara dan wiwaha danaraga
(mempertimbangkan segala keputusan dan perilaku dalam hidup). Sebagai
manusia harus sadar atas keberadaannya sebagai ciptaan Sang Maha Kuasa.
Cara-ciri ini, rupa, bahasa dan budaya tidak bisa dihindari. Karena
merupakan karunia Tuhan, maka harus disyukuri, dijaga dan dilestarikan.
Eksistensi Ajaran Madrais
Para penganut
ajaran Sunda Wiwitan tersebar di beberapa kota dan kabupaten di Jawa
Barat, dan tidak menutup kemungkinan juga di Jawa Tengah dan Jawa Timur
serta D.I. Yogyakarta. Namun kegiatan ritual budaya dan keagamaan
komunitas ini berpusat di Cigugur. Di tempat ini juga terdapat gedung
Paseban Tri Panca Tunggal (TPT), semacam keraton yang berfungsi sebagai
sentra kegiatan keagamaan, budaya, hingga berfungsi sebagai tempat
belajar dalam menjalani kehidupan. Di gedung Paseban tinggal keluarga
keturunan Madrais yang sekaligus menjadi pimpinan warga adat. Pangeran
Jatikusuma adalah ketua warga adat dan penganut kepercayaan Sunda
Wiwitan saat ini.
Keberadaan
Paseban Tri Panca Tunggal ini menjadi penting untuk melestarikan
ajaran-ajaran yang telah ditanamkan para pendahulu. Ritual-ritual
penting ajaran komunitas ini berlangsung di komplek paseban. Salah satu
kegiatan tahunan yang digelar dengan cukup meriah dan melibatkan
berbagai komunitas adalah upacara Seren Taun. Perhelatan ini dilakukan
setahun sekali, dalam rangka menyongsong datangnya tahun baru Saka dalam
hitungan kalender Jawa-Sunda. Motivasi pagelaran ini adalah mensyukuri
nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh Tuhan kepada kita semua. Di
event ini sebagian masyarakat Cigugur bergotong-royong membawa hasil
bumi mereka untuk iarak dalam satu episode pawai yang meriah.
Di komplek
gedung Paseban TPT juga tinggal para penganut ajaran Sunda Wiwitan yang
terdiri dari remaja, dewasa hingga orang tua. Mereka biasa disebut
sebagai warga atau sawarga, yang berarti keluarga. Ini merupakan
ekspresi dari pemahaman ajaran yang mereka yakini: setiap manusia
bersaudara. Mereka yang tinggal di Paseban menjadi satu kesatuan dalam
keluarga. Pangeran Jatikusuma, pimpinan ajaran Sunda Wiwitan saat ini
juga membangun sekolah menengah pertama (SMP) Trimulya sejak tahun 1958,
sebagai tempat belajar warga Paseban TPT, yang juga dibuka umum.
Perjalanan para
penganut ajaran Sunda Wiwitan tidak selamanya mulus. Ada
lembaran-lembaran kelam yang meninggalkan trauma tersendiri bagi warga
adat dan penganut ajaran Kiai Madrais. Salah seorang anak Jatikusuma,
Gumirat Barna Alam harus berurusan dengan pengadilan Jakarta Timur pada
1997. Gumirat ingin menikah dengan cara adat dan ajaran yang mereka
yakini. Namun saat itu kantor catatan sipil tidak mengizinkan, sampai
akhirnya harus diselesaikan di meja hijau.
Sejarah yang Kabur
Perjalanan
sejarah terkadang bisa memutar-balik fakta. Pada satu waktu seseorang
diproklamirkan sejarah sebagai sosok agung, dan pada masa berikutnya
orang yang sama dijatuhkan—juga oleh sejarah itu sendiri—ke derajat
pecundang.
Demikian yang
terjadi pada Pangeran (Kiai) Madrais saat ini. Citra yang menempel pada
sosok bangsawan keturunan keraton Gebang lama ini adalah seorang
pemberontak, penyebar aliran sesat, orang yang tidak beragama, sampai
anak haram. Selain itu juga ada masyarakat yang meyakininya sebagai
bangsawan, kiai (agamawan), cendekia, tokoh pembela rakyat dalam
menghadapi penjajah, sampai orang sakti yang rendah hati.
Menurut
pendapat rektor Institut Studi Islam Fahmina Cirebon, Khozin Nasuha,
misalnya, Madrais sejatinya seorang pimpinan pesantren. Bahkan nama
Madrais, menurut salah seorang warga Cigugur, merupakan pengucapan dari
nama muslim, Ahmad Rais. Namun komentar ini disanggah oleh para cucu
Madrais sendiri. Dewi Kanthi menegaskan, kakek buyutnya bukan seorang
muslim. Memang ia pernah belajar keislaman di pesantren, tetapi itu
karena minatnya yang besar dalam hal ajaran keagamaan dan kemanusiaan
yang universal.
Kita patut bangga memiliki pendahulu seperti Pangeran Madrais. Wallahu a’lam bis-shawab.
-Sumber : Ali Romdhoni MA, Peneliti dan dosen di STAI Mathali’ul Falah Pati, Jawa Tengah.
Comments