JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi II DPR Zainuddin
Amali menuturkan, diperlukan perubahan regulasi menyusul putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) soal kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk
(KTP) dan Kartu Keluarga (KK).
Regulasi tersebut adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.
"Harus ada panduan undang-undangnya, undang-undang sekarang kan tidak memungkinkan," ujar Amali saat dihubungi, Rabu (8/11/2017).
(baca: MK: Kolom Agama di KTP dan KK Dapat Ditulis "Penghayat Kepercayaan")
Usai masa reses pada 14 November 2017, Komisi II akan melaksanakan rapat dengan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk menindaklanjuti putusan MK itu. Terutama untuk membicarakan teknis pelaksanaannya.
Hal yang terpenting, kata dia, putusan MK yang bersifat final dan mengikat harus dilaksanakan.
"Nah teknisnya kami belum tahu. Tentu pihak Kemendagri harus mempersiapkan itu. Nanti kami akan tanya," tuturnya.
Dalam putusannya, Majelis Hakim MK berpendapat bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.
(baca: Perjuangan Panjang Warga Penghayat Kepercayaan atas Pengakuan Negara)
Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang diakui pemerintah, dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.
Selain itu, MK memutuskan pasal 61 Ayat (2) dan pasal 64 ayat (5) UU Adminduk bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
MK menyatakan bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkam dalam kolom agama di KK dan e-KTP tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianutnya.
Hal tersebut diperlukan untuk mewujukan tertib administrasi kependudukan mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam.
kompas
Regulasi tersebut adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.
"Harus ada panduan undang-undangnya, undang-undang sekarang kan tidak memungkinkan," ujar Amali saat dihubungi, Rabu (8/11/2017).
Ketua Komisi II DPR Zainuddin Amali di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/7/2017). |
(baca: MK: Kolom Agama di KTP dan KK Dapat Ditulis "Penghayat Kepercayaan")
Usai masa reses pada 14 November 2017, Komisi II akan melaksanakan rapat dengan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk menindaklanjuti putusan MK itu. Terutama untuk membicarakan teknis pelaksanaannya.
Hal yang terpenting, kata dia, putusan MK yang bersifat final dan mengikat harus dilaksanakan.
"Nah teknisnya kami belum tahu. Tentu pihak Kemendagri harus mempersiapkan itu. Nanti kami akan tanya," tuturnya.
Dalam putusannya, Majelis Hakim MK berpendapat bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.
(baca: Perjuangan Panjang Warga Penghayat Kepercayaan atas Pengakuan Negara)
Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang diakui pemerintah, dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.
Selain itu, MK memutuskan pasal 61 Ayat (2) dan pasal 64 ayat (5) UU Adminduk bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
MK menyatakan bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkam dalam kolom agama di KK dan e-KTP tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianutnya.
Hal tersebut diperlukan untuk mewujukan tertib administrasi kependudukan mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam.
kompas
Comments