JAKARTA, KOMPAS.com — Sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Amal Tomagola mengapresiasi keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada kartu keluarga dan kartu tanda penduduk.
Melalui putusan MK ini, eksistensi penghayat kepercayaan diakui negara.
"Bagus itu. Saya senang sekali sama Arief Hidayat karena kalimatnya bagus sekali. Agama impor kita akui, masa agama leluhur tidak kita akui. Benar itu," kata Thamrin ketika ditemui seusai diskusi di Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (7/11/2017).
Menurut Thamrin, sebenarnya tidak ada kata "pengakuan" dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan.
Tak ada ketentuan dalam UU yang menyatakan bahwa negara mengakui enam agama yang ada di Indonesia. Pengakuan enam agama hanya keterangan yang ada pada salah satu ayat.
Baca juga: MK: Kolom Agama di KTP dan KK Dapat Ditulis Penghayat Kepercayaan
"Jadi, kemudian orang membodohi orang lain, membodohi publik bahwa seakan-akan hanya enam agama itu yang diakui oleh undang-undang. Enggak benar. Jadi, langkah MK itu bagus sekali," ujar Thamrin.
Menurut Thamrin, akan ada perubahan sosial di masyarakat setelah eksistensi penghayat kepercayaan diakui negara.
Perubahan itu terutama tentang status dan hak sipil warga negara penghayat kepercayaan.
"Mereka diakui dan kemudian dia bikin KTP. Selama ini, kan, mereka tidak punya KTP sehingga tidak bisa mengurus kartu pintar, enggak bisa mengurus kartu kesehatan, enggak bisa BPJS," ujar Thamrin.
"Sekarang mereka bisa sama dengan warga lain yang punya KTP. Saya kira itu langkah kemajuan bagus," lanjutnya.
Baca:MK: Negara Wajib Lindungi dan Jamin Hak Penghayat Kepercayaan
Adapun dukungan terhadap pemerintah kemungkinan besar akan bertambah setelah adanya pengakuan hak-hak sipil warga negara penghayat kepercayaan tersebut.
"Mereka pasti akan makin mendukung ke mainstream yang NKRI, dan Pancasila," kata Thamrin.
Thamrin mengatakan, bisa saja ada penolakan masyarakat terhadap putusan MK.
"Penolakan dari masyarakat bisa saja, tetapi negara akan menunjukkan putusan MK. MK tertinggi negeri ini sudah bilang begini, ya semua warga negara harus tunduk karena putusan MK itu mengikat dan tidak bisa ditinjau kembali," katanya.
Jika ada tindakan diskriminatif, penghayat kepercayaan bisa melaporkan hal itu kepada aparatur pemerintahan.
"Setiap kali mereka dikucilkan, mereka bisa lapor bupati, wali kota; Saya warga negara, lho. Punya KTP. Kok saya diperlakukan begini?" ujar Thamrin.
"Selama ini, mereka diam dan tidak bisa protes. Sekarang mereka bisa protes. Mereka sekarang bisa stand up and speak up," katanya.
MK mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP.
Hal itu diatur dalam Pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta Pasal 64 Ayat (1) dan (5) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto UU No 24 Tahun 2013 tentang UU tentang Administrasi Kependudukan.
Uji materi diajukan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016.
Dalam putusannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.
Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.
"Majelis Hakim mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Kedua, menyatakan kata 'agama' dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk aliran kepercayaan," ujar Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusan pada sidang di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2017).
kompas.com
Melalui putusan MK ini, eksistensi penghayat kepercayaan diakui negara.
"Bagus itu. Saya senang sekali sama Arief Hidayat karena kalimatnya bagus sekali. Agama impor kita akui, masa agama leluhur tidak kita akui. Benar itu," kata Thamrin ketika ditemui seusai diskusi di Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (7/11/2017).
Menurut Thamrin, sebenarnya tidak ada kata "pengakuan" dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan.
Tak ada ketentuan dalam UU yang menyatakan bahwa negara mengakui enam agama yang ada di Indonesia. Pengakuan enam agama hanya keterangan yang ada pada salah satu ayat.
Baca juga: MK: Kolom Agama di KTP dan KK Dapat Ditulis Penghayat Kepercayaan
"Jadi, kemudian orang membodohi orang lain, membodohi publik bahwa seakan-akan hanya enam agama itu yang diakui oleh undang-undang. Enggak benar. Jadi, langkah MK itu bagus sekali," ujar Thamrin.
Menurut Thamrin, akan ada perubahan sosial di masyarakat setelah eksistensi penghayat kepercayaan diakui negara.
Perubahan itu terutama tentang status dan hak sipil warga negara penghayat kepercayaan.
"Mereka diakui dan kemudian dia bikin KTP. Selama ini, kan, mereka tidak punya KTP sehingga tidak bisa mengurus kartu pintar, enggak bisa mengurus kartu kesehatan, enggak bisa BPJS," ujar Thamrin.
"Sekarang mereka bisa sama dengan warga lain yang punya KTP. Saya kira itu langkah kemajuan bagus," lanjutnya.
Baca:MK: Negara Wajib Lindungi dan Jamin Hak Penghayat Kepercayaan
Adapun dukungan terhadap pemerintah kemungkinan besar akan bertambah setelah adanya pengakuan hak-hak sipil warga negara penghayat kepercayaan tersebut.
"Mereka pasti akan makin mendukung ke mainstream yang NKRI, dan Pancasila," kata Thamrin.
Thamrin mengatakan, bisa saja ada penolakan masyarakat terhadap putusan MK.
"Penolakan dari masyarakat bisa saja, tetapi negara akan menunjukkan putusan MK. MK tertinggi negeri ini sudah bilang begini, ya semua warga negara harus tunduk karena putusan MK itu mengikat dan tidak bisa ditinjau kembali," katanya.
Jika ada tindakan diskriminatif, penghayat kepercayaan bisa melaporkan hal itu kepada aparatur pemerintahan.
"Setiap kali mereka dikucilkan, mereka bisa lapor bupati, wali kota; Saya warga negara, lho. Punya KTP. Kok saya diperlakukan begini?" ujar Thamrin.
"Selama ini, mereka diam dan tidak bisa protes. Sekarang mereka bisa protes. Mereka sekarang bisa stand up and speak up," katanya.
Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Thamrin Amal Tomagola dalam diskusi di KPU tentang potensi konflik pilkada 2018, Jakarta, Selasa (7/11/2017). |
MK mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP.
Hal itu diatur dalam Pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta Pasal 64 Ayat (1) dan (5) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto UU No 24 Tahun 2013 tentang UU tentang Administrasi Kependudukan.
Uji materi diajukan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016.
Dalam putusannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.
Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.
"Majelis Hakim mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Kedua, menyatakan kata 'agama' dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk aliran kepercayaan," ujar Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusan pada sidang di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2017).
kompas.com
Comments