Kebatinan secara antropologis merupakan sistem
kepercayaan yang dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia khususnya suku Jawa.
Karenanya kebatinan juga sering disebut “ Kejawen” atau “ Javanisme”. Gerakan
kebatinan tampil ke permukaan sebagai sebagian dari gerakan revolusi Indonesia
di bidang moral spiritual. Munculnya berbagai macam aliran kebatinan yang
demikian banyak jumlahnya, namun dalam makalah ini pemakalah akan membahas
salah satu aliran kebatinan yang di didirikan oleh salah satu keturunan pujangga
yang berasal dari Surakarta, yang bernama Ranggawarsita. Untuk lebih jelasnya
mari kita lihat pembahasan tentang Wirid Hidayat Jati dalam makalah kali ini. Bagaimana
Riwayat Hidup Singkat Ranggawarsita? Apa saja ajaran yang dibahas dalam Wirid
Hidayat Jati?
B. PEMBAHASAN
1. Riwayat
Hidup Singkat Ranggawarsita
Raden
Ngabei Ranggawarsita lahir pada tahun 1802 dan wafat pada tahun 1873. Ia masih
keturunan pujangga, didikan Yasadipura II (kakeknya). Nama aslinya adalah Bagus
Burhan. Ibunya berasal dari desa Palar kurang lebih sebelas kilometer sebelah
Timur kota Klanten. Ranggawarsita ketika meninggal juga dimakamkan di desa
Palar.
Pada usia muda
Ranggawarsita dikirim kepesantren yang dipimpin oleh Kiai Kasan Besari di
Tegalsari Ponorogo Jawa Timur. Diceritakan bahwa Bagus Burhan adalah anak yang
nakal, enggan mengaji dan tidak mau belajar, bahkan suka berjudi. Oleh karena
itu Bagus Burhan dimarahi oleh Kasan Besari. Karena ia merasa malu, kemudian
melakukan tapa brata dengan berendam
dalam sungai Watu selama empat puluh malam. Setiap harinya ia hanya makann satu
buah pisang klutuk. Pada hari terakhir, Tanjaya (temannya) memasak nasi untuk
berbukanya Bagus Burhan. Tanjaya terkejet ketika tiba-tiba ia melihat ada
sebuah benda yang sebesar bola bersinar masuk kedalam periuk. Sesudah nasi
masak, ternyata didalam periuk terdapat ikan wader yang telah masak. Seusai
Bagus Burhan makan nasi dan ikan wader, diceritakan bahwa Bagus Burhan menjadi
anak yang pandai, dapat mengaji tanpa belajar, meleihi santri-santri yang lain.
Ia dapat membaca al-Qur’an dengan fasih bahkan pandai menafsirkannya.
Selesai
belajar di pesantern Tegalsari, Bagus
Burhan pergi mengembara untuk memperluas ilmunya, dengan jalan mendatangi guru
yang terkenal. Kemudian ia kembali ke Surakarta dan bekerja sebagai juru tulis
di kantor Kadipaten Anom. Meski telah bekerja ia tetap rajin belajar, terutama
kesusastraan Jawa. Namun akhirnya ia berhenti bekerja, ia kecewa karena keinginannya
untuk naik pangkat tidak terkabul. Ia pergi mengembara lagi. Kemudian ia
kembali lagi ke Surakarta. Pada tahun 1845 Bagus Burhan di angkat menjadi
Kliwon Kepatihan Anom, dan dinobatkan menjadi pujangga Keraton Surakarta oleh
Paku Buwono VII.[1]
2. Wirid
Hidayat Jati
Wirid Hidayat Jati adalah Sebuah kitab
mistik yang dibuat oleh pujangga terkenal R. Ng. Ranggawarsita. Kitab ini
kadangkala disebut secara singkat dengan nama Serat Wirit atau Hidayat Jati.
Wirid Hidayat jati disusun dalam bentuk prosa (Jarwa), berisi ajaran mistik yang lengkap, padat, dan bulat.
Menurut penelitian Simuh dalam bukunya Mistik
Islam Kejawen Raden Ngabei Ranggawarsita (1988), ditemukan 4 judul buku Wirit Hidayat Jati, diantaranya :
1.
Serat
Wirid, diterbitkan oleh Administrasi Jawi Khanda, di
Surakarta pada tahun 1908. Dalam buku itu ia menggunakan nama Kiai Ageng
Muhammad Sirullah.
2.
Hidyat
Jati,
diterbitkan oleh Honggopradoto (Cucu buyut Ranggawarsita) di Surakarta pada
tahun 1941. Sama dengan buku pertama, buku kedua ini juga menggunakan nama Kiai
Ageng Muhammad Sirullah.
3.
Wirid
Hidayat Jati, diterbitkan oleh R. Tanojo di
Surakarta tahun 1954.
4.
Serat
Wirid Hidayat Jati, diterbitkan oleh Tan Khoen Swie di
Kediri pada tahun 1959.
Pada akhir kerajaan Demak sampai
kerajaan Pajang, delapann wali yang mau memberikan ajaran wirid yaitu :
1. Sunan
Parapen, ajarannya tentang bisikan adanya zat,
2. Sunan
Drajat, ajarannya tentang wahana,
3. SunanNgatasangin,
penjelasan tentang keadaan zat,
4. Sunan
Kalijaga, ajarannya tentang susunan singgasana Baitul Makmur,
5. Sunan
Tambayat, ajarannya tentang singgasana Baitul Muharram,
6. Sunan
Padusan, ajarannya tentang singgasana Baitul Muqaddas,
7. Sunan
Kudus, ajarannya tentang peneguh kesentsaan Iman,
8. Sunan
Geseng, ajarannya tentang sasahidan
(persaksian).[2]
Wejangan (ajaran) itu semua memiliki
satu sumber, yaitu ajaran Sunan Ampel di Denta. Kemudian setelah sampai zaman
Mataram, Sultan Agung Anyakrakusuma berkeinginan menghimpun kedelapan tingkat
ajaran tersebut supaya benar isi maksudnya.
Wejangan yang telah disatukan tadi semuanya
bersumber dari kutipan-kutipan kitab tasawuf. Masing-masing bersandar pada dalil
ilmu sebagai petunjuk dalam menjelaskann firman Tuhan Yang Maha Suci, bahwa
manusia itu petampakann diri (Tajalli) Zat Yang Esa. Itulah yang menjadi inti
ilmu makrifat, seperti yang diajarkan para Nabi dan para wali zaman dahulu.
Atas kemauan Sultan Agung di Mataram ajaran wali tersebut dihimpun menjadi
satu, sesuai ilmu makrifat yang diajarkan. Lama kelamaann ajaran itu
terpisah-pisah lagi, sehingga berbeda isinya, karena banyak orang arif yang
menjadi guru dan mengajarkan ilmunya masing-masing. Karena itu Kiai Ageng
Muhammad Sirullah berupaya menyususn tertib urutan amalan ilmu makrifat.
Permulaan wirid ini menerangkan secara
lengkap tata cara mengajarkan ilmu makrifat untuk kesempurnaan hidup, yang
telah diamalkan para wali, secara terperinci seperti dibawah ini : 1. Tata cara yang wajib dilakukan
oleh guru dan murid ialah mengambil air whudu dan
mengucapkan lafaz niat. 2. Guru dan murid berpakaian yang
serba suci, tidak boleh mengenakan pakaian yang ada emas nya, utamanya memakai kuluk (tutup kepala).
Kemudian ruangan untuk member wejangan
diatur, diberi tumbuh-tumbuhan pada empat penjuru serta diletakkan tikar yang
bersih, di atasnya dibentangkan tikar pasir (tikar dari pandan) yang masih
baru, diatasnya lagi diletakkan kain putih (mori) tujuh lembar, setidaknya
rangkap tiga dan ditaburi aneka ragam bunga.
Lalu disiapkan sajian berupa srikawin yang terdiri atas uang perak
seberat satu tahil, diletakkann dalam
satu wadah dengan minyak wangi serta kemenyan seberat satu ringit. Kemudian
ditutup kain putih, disertai pisang raja dua sisir dan daun sirih muda yang
segar, setangkai buah pisang kain putih menjadi dua wadah, serta kembar mayang
sejodoh, disajikan di tempat untuk memberi wejangan.
Selanjutnya ditengah malam ketika orang
telah tidur, pergilah ke tempat wejangan. Orang yang akan diwejang duduk
menghadap ke barat, lalu membakar kemenyan, diasapkan ketelinga kiri, hidung,
dan dada, kemudian barulah mulai diwejang oleh gurunya dengan disaksikan oleh
empat orang yang seilmu. Menurut penulis, pembakaran kemenyan ini tidaklah ada
ajarannya dalam Islam. Pembakaran kemenyan tersebut merupakan tradisi agama
Budha. Yang mana makna membakar kemenyan tersebut yaitu agar do’a mereka sampai
kepada Tuhan mereka ke atas langit dengan melalui asap-asap kemanyan.
Akhirnya orang yang diajari diberi penjelasan
tentang cara mengamalkannyasatu persatu, yang disebutkan dalam petunjuk tentang
kedudukan ilmu makrifat. Setelah itu yang member pelajaran membaca do’a
istighfar dan do’a Kabul.[3]
3. Konsep
Tuhan di dalam Wirid Hidayat Jati
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa
Wirid Hidayat Jati berisi ajaran delapan orang wali dari tanah Jawa, yang telah
dikumpulkan menjadi satu. Ajarannya terbagi menjadi delapan wejangan atau
delapan dalil. Konsep tentang Tuhan terdapat dalam wejangan (dalil) pertama yang disebut “Bisikan adanya zat”, seperti
kutipan sebagai berikut.
Sesungguhnya
tidak ada apa-apa, karena ketika masih dalam keadaan kosong, belum ada sesuatu,
yang pertama ada adalah Aku, tidak ada Tuhan kecuali Aku, hakikat Zat yang
Mahasuci, yang meliputi sifat-Ku, yang menyertai nama-Ku, yang menandai
perbuatan-Ku.
Selanjutnya di daalam Wirid Hidayat Jati
juga terdapat penjelasan tentang maksud ungkapan bisikan tentang Zat, khususnya
“ Zat yang Mahasuci meliputi sifat-Ku, menandai perbuatan-Ku” sebagai beerikut.
Zat
mengandung sifat seumpama madu dengan rasa manisnya, pasti tidak dapat
dipisahkan.
Sifat menyertai nama, seumpama matahari dengan sinarnya, pasti tidak dapat
dibedakan.
Nama menandai peerbuatan, seumpama cermin, orang yang bercermin dengan
bayangannya, pasti bayangannya akan mengikuti segala tingkah laku orang yang
bercermin.
Adapun perbuatan menjadi wahana Zat, seumpama samudera dengan ombaknya, pasti
keadaan ombak mengikuti samuderanya.
Penjelasan tentang hubungan antara Zat
dengan sifat, asma, dan af’al tersebut sekali, merupakan kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan.[4]
Penjelasan tentang hubungan antara Zat
dan sifat bersumberdari rumusan aliran As’ariyah dalam teologi Islam, yang
dikenal mempunyai pandangan bahwa Allah itu memiliki sifat. Menurut Asy’ari,
tidak dapat dipungkiri bahwa Tuhan mempunyai sifat karena
perbuatan-perbuatannya. Ia juga menyatakan bahwa Tuhan mengetahui, menghendakii
berkuasa, dan sebagainya, disamping mempunyai pengetahuan, kemauan dan daya. Ia
lebih jauh berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat dan sifat-sifat
itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh di artikan secara harfiah
melainkan secara simbolis.
Sifat-sifat ini, kata Al-Ghazali,
tidaklah sama dengan esensi Tuhan, malahan lain dari esensi Tuhan, tetapi
berwujud dalam esensi itu sendiri. Untuk mengatasinya, kaum kaum Asy’ariyah
mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari
Tuhan.[5]
4. Ajaran
Martabat Tujuh di dalam Wirid Hidayat Jati
Ajaran martabat tujuh sebenarnya berasal
dari kitabb Tufal al-Mursalal ila Ruh al-Nabi karya Muhammad Ibn Fadlullah
al-Burhanpuri (wafat 1620) seorang sufi dari India.
Ajaran Martabat tujuh di dalam Wirid Hidayat Jati adalah sebagai
berikut :
1.
Sajaratu
Yakin, tumbuh dalam alam hampa yang sunyi, azali abadi,
berarti pohon kehidupan yang berada di alam hampa sunyi selamanya. Itulah
hakikat Zat mutlak yang qadim, hakikatZat yang pasti paling dahulu, yaitu zat
atma yang menjadi wahana alam Ahadiyah.
2. Nur
Muhammad berarti cahaya yang terpuji. Diceritakan dalam
hadis, seperti burung merak, berada dalam permata putih, pada arah sajaratul yakin. Itulah hakikat cahaya
yang diakui sebagai tajalli Zat,
berada dalam nukat gaib, merupakan
sifat atma dan menjadi wahana alam wahdah.
3. Mir’atul
haya’i berarti kaca wira’i. Diceritakan
dalam hadis, Mir’atul haya’i berada
dalam Nur Muhammad. Itulah hakikat
pramana yang diakui rahsanya Zatt
sebagai nama atma. Dan menjadi wahana alam wahidiyah
4. Roh
Idlofi berarti nyawa yang jernih. Diceritakan dalam hadis, roh idlofi berasal dari Nur Muhammad.
Itulah hakikat sukma yang diakui
keadaan Zat, merupakan perbuatan atma,
menjadi wahan alam arwah.
5. Kandil
berarti
lampu tanpa api. Diceritakann dalam hadis, kandil berupa permata yang
berkilauan cahayanya, tergantung tanpa ikatan. Itulah keadaan Nur Muhammad, serta tempat berkumpul
semua roh. Itulah hakikat angan-angan yang diakui sebgai bayangan Zat, sebagai
pemangku atma, menjadi wahana alam mitsal.
6. Dharrah
berarti
permata. Diceritakan dalamm hadis, dharrah memiliki sinar neraneka warna, satu
tempat dengan malaikat. Itulah hakikat budi yang diakui sebagai perhiasan Zat,
pintu atma, menjadi wahana alam ajsam.
7. Hijab,
dinding
jalal, berarti tabir yang agung. Diceritakan dalam hadis, hijab timbul dari
permata beraneka warna, ketika bergerak menimbulkan buih, asap dan air. Itulah
hakikat jasad, merupakan tempat atma, menjadi wahanaalam insan kamil.[6]
5. Konsep
Manusia di dalam Wirid Hidayat Jati
Ajaran martabat tujuh di dalam Tuhfah merupakan penjelasan tentang pola
penampakan diri (tajalli) Tuhan dalam
tujuhh martabat, sehinggga tercipta alam semesta seisinya, termasuk manusia.
Tiga tajalli pertama disebutn martabat batin, yaitu ahadiyah, wahdah, dan wahidiyah.
Dari ketiga martabat ini kemudian muncul martabat lahir, yakni Alam Arwah, Alam Mitsal, dan Alam Ajsam. Tiga martabat batin dan tiga
martabat lahir tersebut berkumpul menjadi satu di dalam martabat ketujuh, yaitu
Insan Kamil.
Penjelasan tentang Pennjelasan manusia
melalui tujuh martabat di dalam Wirid
Hidayat Jati diterangkan sebagai berikut.
Sesungguhnya
Aku Zat Yang Maha Pecipta dan maha Kuasa menciptakan segala sesuatu, terjadi
dalam seketika, sempurna lantaran kodrat-Ku, sebagai pertanda perbuatan-Ku,
merupakan kenyataan kehebndak-Ku. Mula-mula Aku menciptakan hayyu bernama sajaratul yakin. Tumbuh dalam alam makdum yang azali abadi. Setelah itu cahaya bernama Nur Muhammad, kaca bernama mir’atul
haya’i, nyawa bernama roh idlofi, lampu bernama kandil, permata bernama dharrah,
dan dinding-jalal bernama hijab, yang
menjadi penutup hadirat-Ku.
Penciptaan manusi selanjutnya di dalam
wirid Hidayat Jati diterangkan sebagai berikut.
Sesungguhnya Aku menciptakan Adam
berasal dari empat unsure : tanah, api, angin, dan air. Semua menjadi
perwujudan sifat-Ku, di mana Kumasuki mudah lima macam : nur, rahsa, ruh, nafsu, dan budi untuk
menjadi penutup wajah-Ku Yang Mahasuci.
Kutipan
diatas juga menerangkan bahwa jasad manusia dimasuki mudah lima macam, yaitu
nur, rahsa, roh, nafsu, dan budi.
Bagaimana cara masuknya mudah lima macam itu juga diterangkan dalam Wirid
Hidayat Jati seperti berikut.
Diceritakan dalam hadis, masuknya mudah
lima macam mulai dari ubun-ubun berhenti di otak, turun ke mata, turun ke
telinga, turun ke hidung, turun ke mulut, turun ke dada, dan tersebar ke
seluruh tubuh, sepurna sebagai Insan
Kamil.
Kata “mudah” oleh Hadiwijono diartikan
“anasir rohani manusia”. Sementara itu Honggropradoto mengartikan kata mudah
itu praboting urip (peralatan hidup).
Menurut Simuh kata “mudah” merupakan perubahan dari kata muhdats.[7]
Adapun unsur-unsur pokok manusia
diterangkan di dalam Wirid Hidayat Jati terbitan Tanojo sebagai berikut :
Sesunggguhnya
Zat Yang MahaSuci atau Zat Mutlak yang qadim
azali abadi itu berdiri sendiri di dalam nukat gaib. Disana ia bentangkan kodrat dan irodat-Nya menjadi
tujuh keadaan sebagai warana (tabir)
Zat dan merupakan penjelmaan sifat, asma, dan af’al-Nya yaitu :
1. Hayu,
artinya hidup terletak diluar Zat.
2. Nur,
artinya cahaya, terletak di luar hidup
3. Sir,
artinya rahsa, terletak di luar cahaya
4. Ruh,
artinya nyawa (sukma), terletak di luar rahsa
5. Nafsu,
artinya angkara, terletak di luar sukma
6. Akal,
artinya budi, terletak di luar nafsu
7. Jasad,
artinya badan, terletak di luar budi.[8]
6. Pengarauh
Ajaran Ranggawarsita terhadap Masyarakat Jawa
Keadaan sosial-politik yang ada pada
masyarakat Jawa (Surakarta) yang cenderung tidak membaik, membuat masyaratakat
Jawa rindu dengan keadaan damai. Salah satu kemunculan karya Ranggawarsita
yaitu serat khalatidha membuat masyarakat banyak mengagumi sosok beliau, karena
dalam serat khalatidha menceritakan tentang akan datangnya sosok ksatria yang
akan memimpin Jawa dengan bijaksana. Banyaknya aliran kebatinan di Jawa pun,
merupakan suatu pelarian bagi masyarakat yang cedrung merindukan sosok
kepemimpinan yang bijaksana. Masyarakat Jawa melalui aliran kebatinan ini
melakukan suatu bentuk protes sosial teerhadap pemerintahan yang cendrung sibuk
dengan intrik-intrik yang ada dalam istana yang cenderung mengabaikan nasib
rakyatnya, bentuk protes sosial dalam kebatinan ini dikarenakan setelah
melakukan suatu perlawanan tidak kunjung menemui titik terang maka timbulah
gerakan kebatinan. Masyarakat beranggapan dengan kebatinan akan memunculkan
suatu keadilan bagi dirinya yang mengikuti kebatinan dan berharap dengan
kedatangannya ‘ratu adil’.[9]
C. ANALISIS
PEMAKALAH
Wirid Hidayat Jati merupakan suatu
ajaran yang didirikan oleh seorang pujangga dari keturunan pujangga keraton. Menurut
penulis, Wirid Hidayat Jati merupakan ajaran mistik kejawen, selain itu juga
merupakan suatu ajaran yang berasal dari tasawuf Islam. Dan hal ini terlihat
bahwa Ranggawarsita berupaya menyususn amalan makrifat, serta menjelaskan isi
maksudnya menurut 8 tingkatan ajaran yang telah terhimpun menjadi satu yang
terdapat dalam kitab tasawuf. Permulaan dalam wirid diterangkan tata cara
mengajarkan ilmu makrifat diantaranya niat, berpakaian serba suci, diletakkan
sajian dalam satu wadah, kemudian ditengah malam orang yang akan diwejang di
asapkan dengan kemenyan pada telinga kiri, hidung dan dadanya. Hal ini entah
apa artinya, pemakalah juga tidak tahu apa makna dibalik itu semua. Sedangkan
dalam Islam istilah membakar kemenyan itu tidak ada, hanya orang primitiflah
yang melakukannya.
Salah satu konsep keTuhanan dalam Wirid
Hidayat Jati yaitu penjelasan tentang hubungan antara Zat dan sifat Tuhan.
Sebagaimana hubungan antara Zat dan sifat bersumber dari aliran Asy’ariyah yang
menyatakan bahwa Allah memiliki sifat. Golongan Asy’ariyah mengatakan bahwa
sifat-sifat itu bukan Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan. Jadi dalam hal
ini, penjelasan tentang hubungan Zat dan sifat Tuhan bersumber dari aliran
Asy’ariyah dalam teologi Islam.
Dalam Wirid Hidayat Jati ada namanya
ajaran martabat tujuh. Ajaran martabat tujuh dan wujudiyah merupakan suatu
ajaran tasawuf yang dibawakan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani. Bisa
jadi ajaran martabat tujuh dalam Wirid Hidayat Jati dipengaruhi oleh ajaran
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani.
Jadi dari penjabaran diatas, dapat kami
simpulkan bahwa Wirid Hidayat Jati yang didirikan oleh Ranggawarsita bercampur
antara ajaran mistik Jawa, Tasawuf Islam, aliran Asy’ariah (Teologi Islam).
Kenapa dikatakan demikian, karna Ranggawarsita berasal dari keturunan keraton,
maka dia harus melestarikan budaya Jawanya, dan di lain pihakpun Ranggawarsita
juga mendapat pendidikan agama dari Pondok Pesantren. Alhasil, itulah yang
menyebabkan ajaran Ranggawarsita bercampur antara mistik Kejawen, Tasawuf, dan
Teologi Islam.
D. KESIMPULAN
Ranggawarsita merupan seorang pujangga dari
keturunan pujangga keraton. Ranggawarsita menulis sebuah kitab mistik yang
disebut dengan Wirid Hidayat Jati yang disusun dalam bentuk porsa, berisi
ajaran mistik yang lengkap, padat dan bulat. Pada akhir kerajaan Demak sampai
kerajaan Pajang , ada 8 wali yang mau memberikan ajaran wirid. Ajaran itu semua
memiliki satu sumber, yaitu ajaran Sunan Ampel di Denta. Kemudian setelah
sampai ke zaman Mataram, Sultan Agung berkeinginan menhimpun delapan ajaran
tersebut. Wejangan (ajaran) yang telah disatukan tadi semuanya bersumber dari
kitab tasawuf yang kemudian disusun menurut urutan amal makrifat oleh
Ranggawarsita.
Martabat tujuh sebagaimana ajaran yang ada dalam
Wirid Hidayat Jati kemungkinan dipengaruhi oleh ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri
dan martabat tujuh Syamsuddin Sumatrani.
[1] Suwarmo Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam berbagai
Kebatinan Jawa, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 163-164.
[2] Ibid, h. 165-166.
[3] Ibid, h. 167-168.
[4] Ibid, h. 175.
[5] Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka Setia,
2007), h. 174.
[6] Suwarno Imam. Ibid,
h. 179-180.
[7] Ibid, h. 182-183
[8] Ibid, h. 184.
[9]
http://a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_0704493_chapter5.pdf/17 April
2014/15.40.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Rozak,
Abdul. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka
Setia. 2007.
S,
Suwarmo Imam. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan Jawa. Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada. 2005.
http://a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_0704493_chapter5.pdf/17 April 2014/15.40.(fatimahalthafunnisa)
Comments