”Waktu itu pengikut NK (Ngesti Kasampurnaan-red) ada sekitar 30
orang. Beberapa hari setelah sanggarnya dirobohkan mereka dipanggil ke
kelurahan dan dusuruh memeluk agama (agama resmi negara-red),” tutur
Pengurus Ngesti Kasampurnaan pusat, Heri Mujiono saat mengikuti Focus Group Discussion (FGD) Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA), (6/10/14) di Hotel Puri Garden, Semarang.
Seperti diketahui, kasus ini bermula pada awal Maret 2012 lalu. Waktu
itu, sanggar ritual milik aliran Ngesti Kasampurnan yang berada di
tengah hutan Desa Candigaron, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang,
Jawa Tengah, terpaksa dibongkar pada Rabu (7/3/12).
Selama prosesi pembongkaran itu, sejumlah petugas keamanan dari
kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjaganya. Penjagaan
dilakukan aparat dengan dalih untuk menghindari kejadian yang tidak
diinginkan. Aliran yang dipimpin Edi Sarwanto ini sejatinya telah
berkembang sejak 2001 silam.
Saat itu pengikutnya lebih dari 100 orang. Pusat aliran kepercayaan
Ngesti Kasampurnaan ini berpusat di Magelang, Jawa Tengah. Karena itu,
paguyuban yang ada di Sumowono ini merupakan cabang dari Magelang yang
baru berkembang awal-awal tahun 2001.
Heri bercerita, awal Maret 2012 itu keadaan di desa itu mulai tidak
kondusif. Dia menduga, ada sekelompok orang yang tidak senang dengan
perkembangan penghayat kepercayaan Ngesti Kasampurnaan yang mulai banyak
pengikutnya. Kemudian kelompok ini menghasut warga dengan isu aliran
sesat.
”Waktu itu, isunya sanggar akan dihancurkan oleh masyarakat. Pak Edi
(Edi Sarwanto-red) sebagai pimpinan mencoba mencegah. Namun karena
tertekan akhirnya mereka (para penganut Ngesti Kasampurnaan-red)
menghancurkannya sendiri,” tuturnya.
Tak sampai disitu, setelah sanggarnya lebur dengan tanah kemudian
para pengikut dipanggil ke kelurahan. Di kelurahan mereka disuguhi
berbagai pertanyaan. Salah satu pertanyaannya adalah agama apa yang
mereka anut sebelum mengikuti kepercayaan Ngesti Kasampurnaan.
”Kemudian yang awalnya memeluk “agama resmi” mereka diberikan surat
pernyataan dari kelurahan supaya kembali ke agamanya masing-masing.
Namun Pak Edi Sarwanto kemudian menolak keras. Sekarang yang masih
mengikuti Ngesti Kasampurnaan hanya Pak Edi sendiri,” tuturnya.
Sebagai informasi, di Desa Candigaron, Kecamatan Sumowono penduduknya
terbilang cukup beragam. Meskipun berada di pedesaan dalam masyarakat
itu terdapat penganut agama Islam, Kristen, Katolik, Buddha, dan Hindu.
Mereka hidup damai secara berdampingan.
”Untuk sekarang ini secara sosial di sana baik-baik saja sesama
mereka. Sebelum ada hembusan isu bahwa Ngesti Kasampurnaan itu sesat,
sesama masyarakat sangat rukun. Hidup damai dengan berdampingan. Sejak
awal keberadaannya (2001-red) hingga sebelum ada isu itu, mereka sangat
damai,” tambahnya.
Usut punya usut, pembongkaran sanggar itu dengan alasan Ngesti
Kasampurnaan (NK) belum punya Surat Keterangan Terdaftar (SKT) di Kepala
Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol). Kabupaten Semarang.
Kesbangpol pada waktu itu menyatakan bahwa NK belum memiliki izin
terdaftar dan hanya mengantongi akta pendirian yang ada di wilayah
Magelang (pusat).
Dipersulit
Atas tanggapan dari Kesbangpol itu, kemudian pihak Ngesti Kasampurnaan dari Magelang bermaksud membantu mengurus supaya memiliki surat keterangan terdaftar di pemerintahan. Karena di Magelang sudah terdaftar, asumsinya dengan mekanisme yang sama, mereka akan diberi surat keterangan terdaftar.
Atas tanggapan dari Kesbangpol itu, kemudian pihak Ngesti Kasampurnaan dari Magelang bermaksud membantu mengurus supaya memiliki surat keterangan terdaftar di pemerintahan. Karena di Magelang sudah terdaftar, asumsinya dengan mekanisme yang sama, mereka akan diberi surat keterangan terdaftar.
Akhirnya pada tahun 2013 Ngesti Kasampurnaan Magelang membantu
mengurus izin tersebut. Terlebih dahulu, mereka mencoba menanyakan
kepada penganutnya, apakah masih ingin tetap melanjutkan sebagai
penghayat atau sampai disitu, setelah ada pembongkaran.
”Dan ternyata warga masih mau ikuti NK (Ngesti Kasampurnan-red).
Waktu itu ditanya oleh pak Edi, apakah masih mau, ternyata mereka masih
mau mengaku sebagai NK. Selanjutnya, mereka meminta izin ke kelurahan,
dan pihak kelurahan mau mengizinkan,” paparnya.
Usai dari kelurahan mereka kemudian ke Kesbangpol karena merasak
sudah ada izin dari lurah. Namun oleh Kesbangpol diberikan saran supaya
terlebih dahulu membuat surat domisili. Untuk membuat surat domisili
kemudian mereka berusaha membuat surat keterangan domisili ke kelurahan.
”Ternyata kelurahan tidak memberikan surat domisili karena menunggu
surat dari camat. Camat juga tidak berani memberika surat domisili
dengan alasan belum ada Perda dan juga baru saja kejadian
(pembongkaran-red). Selanjutnya oleh camat pengurus NK disuruh menghadap
ke FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama),” paparnya.
Setelah berputar dari Kesbangpol, lurah, camat dan FKUB ternyata
mereka belum jua mendapat izin untuk mendaftar ke Kesbangpol. Padahal
tujuan mereka supaya resmi terdaftar sebagai penghayat di pemerinatan.
”Ternyata yang menolak adalah FKUB. Selain fkub yang dulu juga
menolak ada juga paguyuban juga yang menolak selain. Paguyibannya apa
saya lupa, namun jelasnya mereka menolak keberadaan Ngesti Kasampurnaan
begitu,” keluhnya.
Karena semua unsur pemerintahan sudah ditemui dan mengalami
kegagalan, akhirnya Pengurus Ngesti Kasampuraan meminta supaya ada
solusi dari kecamatan. Mereka meminta supaya camat mempasilitasi
pertemuan dengan semua unsur masyarakat supaya mereka tak
diombang-ambingkan.
Sesepuh Ngesti Kasampuraan Pusat Kahono menambahkan, kesulitan yang
mereka alami dalam mengurus SKT di Kabupaten Semarang karena adanya isu
tak benar. Menurutnya, isu yang beredar waktu itu warga mereka
mempersoalkan bahwa Ngesti Kasampuraan akan merebut umat yang beragama.
”Padahal kami tidak melakukan dakwah, tidak menawarkan supaya ikut
ngesti kasampuraan. Tapi mereka ikut atas dasar kesadaran atau keinginan
mereka sendiri. Namun persepsi masyarakat yang sudah termakan itu kami
dikiran akan merebut umat beragama,” tukasnya.
Jadi, lanjutnya, sekarang Ngesti Kasampuraan cabang Kabupaten
Semarang belum punya SKT. Karena kesulitan mengurus izin tersebut.
Padahal Ngesti Kasampurnaan Kabupaten Semarang sudah berjalan selama 11
tahun lebih.
”Surat keterangan terdaftar di Kesbangpol baru tahu setelah adanya
kejadian di Sumowono. Itu memang keasalahan kami yang tidak sejak awal
mengurus SKT, karena kami baru tahu kalau harus di daftarkan. Namun di
Magelang, meskipun baru mengurus setelah ada kejadian akhirnya dapat
SKT, Ya meskipun sulit dan lambat, akhirnya bisa juga NK Magelang bisa
mendapatkan SKT juga,” tandasnya. [elsa-ol/Cep-@ceprudin] (elsaonline)
Comments