Bahwa Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam kenyataannya memang merupakan bagian dari kebudayaan nasional kita. Budaya spiritual yang hidup dan dihayati oleh sebagian Bangsa kita itu sebagai “warisan” dan kekayaan” rochaniah Nenek Moyang Bangsa Indonesia.
Perikehidupan Kepercayaan dan Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, merupakan hak setiap pribadi manusia, serta dapat dihayati dengan bebas tanpa paksaan. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Ngesthi Kasampurnaan” yang jelas bukan Agama yang baru, adalah salah satu Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di antara kepercayaan-kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang lain tersebar di seluruh wilayah bumi nusantara ini. Merupakan perwujudan sila pertama dari pancasila sebagai Dasar, Pandangan dan Falsafah Hidup bagi Bangsa Indonesia. Karenanya, para Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Ngesthi Kasampurnan” khususnya dan umumnya merasa ikut bertanggungjawab serta berkewajiban : menghayati, mengamalkan, melaksanakan, melestarikan, serta mengamankan kemurniannya Dasar Negara Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Pemaparan Budaya Spiritual yang dengan bimbingan dan pembinaan Pemerintah yang berwenang, dalam hal ini Direktorat Binyat Dirjen Kebudayaan, merupakan “kelanjutan” dari Proyek Investarisasi yang didahului dengan Pengisian daftar Formulir A-A1. – A.2. dan akhirnya mendapatkan Tanda Investarisasi.
Langkah-langkah
ini merupakan kebijaksanaan yang benar-benar diharapkan dan sangat
terpuji oleh setiap Warga Penghayat baik Penghayat Perseorangan,
Kelompok maupun Organisasi demi menunjang semakin mantapnya Penghayatan
Budaya Spiritual, menambah pengertian dan pengalaman serta memperkokoh
persatuan dan kesatuan para Penghayat khususnya, persatuan Bangsa
Indonesia pada umumnya.
Kiranya
tak ada lain yang dapat Penyusun berikan selain ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Direktur Direktorat Binyat
beserta stafnya yang telah memberikan kesempatan kepada para Organisasi
Penghayat/ Perorangan termasuk “Ngesthi Kasampurnan” untuk memaparkan
Budaya Spiritual yang dihayatinya.
Kepada
Bapak-bapak/ Ibu-ibu dari Cendekiawan, Budayawan, Rochaniawan (Jw. para
Sujana lan Sarjana) serta Bapak-bapak Pejabat pemerintah Instansi
terkait yang telah berperanserta dalam menyaksikan “Pemaparan Budaya Spiritual” ini, kami sambut dengan rasa hati terbuka serta ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya.
Dalam
penyusunan “Ajaran Ketuhan Yang Maha Esa Ngesthi Kasampurnan” serta
peragaan-peragaan yang kami sajikan, telah kami usahakan sedapat mungkin
memenuhi kriteria yang telah ditentukan dalam Pedoman Pemaparan. Namun
karena keterbatasan kemampuan kami di samping tidak adanya buku-buku
Ajaran peninggalan Guru Panutan kami, sehingga karenanya kami menyadari
atas kekurangan-kekurangan kejelasan baik pendalaman dan penjabaran Ilmu
maupun rangkaian penyusunan kata-kata. Untuk itu kami mohon maaf.
Sebagai penutup kami ucapkan salam :
MERDEKA dan RAHAYU !!!
sumber segala Hidup, Keselamatan, Ketentraman dan Kesejahteraan,
hanyalah bersumber pada Tuhan Yang Maha Esa. Semoha selalu dikaruniakan
kepada semua Hadirin beserta semua keluarganya pada khususnya, Bangsa Indonesia dan Umat Manusia seluruh dunia pada umumnya.
A m i n !!!
Dengan
menundukkan kepala, menghaturkan sembah/ sujud kehadap Tuhan Yang Maha
Esa, serta selalu ingat lahir dan batin atas Maha Kuasa dan
KeagunganNya, maka kami haturkan Pemapatan Budaya
Spiritual dari Kelompok atau Organisasi Penghayat Kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa “Ngesthi Kasampurnan”.
Tanda inventarisasi dari Direktorat Binyet Dirjen Kebudayaan Depdikbud RI
Nomor : I.177/F.3/N.1.1/1981
Tanggal : 31 Maret 1981
Piagam Keanggotaan dari Himpunan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME. (HPK) Pusat.
Nomor : 139/WARGA/HPK-P/VIII/1981
Tanggal : 17 Agustus 1981
Surat Keterangan Kejaksaan Negeri Kodia Magelang
Nomor : SKET.03/K.3.Mg.3/I/1982
Tanggal : 28 Januari 1982
Pemaparan
Budaya Spiritual yang kami sajikan ini, bukanlah bermaksud untuk
menunjukkan kelebihan maupun kemampuan “penghayatan batin”, dan bukan
pula untuk menarik-narik keingianan Saudara-saudara yang lain, juga
bukan untuk mempengaruhi siapa saja yang kebetulan bukan Warga Penghayat
kepercayaan terhadap Tuhan YME. (Jw. Dudu kanggo pamer kaluwihan sarta
kawegigan, dudu kanggo pangiming-iming lan dudu kanggo pamilut marang
sapa wae kang kapanujon dudu warganing Kapercayan marang Gusti Ingkang
Maha Tunggal). Namun
hanyalah semata-mata menetapi kewajiban yang diperlukan oleh Pemerintah
Pembinanya, ialah Bapak Direktor Binyet beserta stafnya yang
bersangkutan, guna komunikasi sentuh rasa dalam menjalin tata hubungan
lahir dan batin, antar Keluarga Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa se-Indonesia dengan pemerintah dan Masyarakat, di samping
dalam menambah ke-Bhinneka Tunggal Ika-an Budaya Spiritual milik kita
semuanya. Pemaparan
Budaya Spiritual ini, kami lengkapi dengan sejarah singkat sumber
Ajaran, sebagian perkembangannya laku lahir yang mengarah budi luhur,
gambaran perumpamaan sebagai pelengkap penjelasan dan beberapa peragaan
dan gambar-gambar untuk lebih menambah kejaslaan dari Pemaparan.Perlu
diketahui, bahwa yang dipaparkan ini berdasarkan “pengalaman”
penghayatan batin, dari para Pinisepuh yang telah menghayati sejak tahun
1890 sampai dengan sekarang ini. Juga harus dimaklumi, bahwa ada
beberapa Ajaran yang tidak dapat dipaparkan (merupakan pantangan). Pantangan ini dikandung maksud : Pertama : untuk dapat disaksikan sendiri oleh peminat dalam netra batinnya, jadi bukan kata buku atau ceritanyaKedua : tidak boleh mendahului takdir Tuhan Yang Maha Esa, hanya boleh dengan “kata sandi” (Jw. Sinamudono) Demikianlah kata PENDAHULUAN kami, semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan Pepandhang dan PerkenanNya.
R A HA Y U !!!
PENGERTIAN UMUM
A. TINJAUAN SEJARAH SINGKAT SUMBER AJARAN
“NGESTHI KASAMPURNAN”, adalah merupakan salah satu Budaya Spiritual Bangsa Indonesia
yang berupa KEJIWAAN, KEROCHANIAN dan KEBATHINAN (KESUKSMAN) yang pada
waktu ini disebut ‘KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA.’
Kerpercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa “NGESTHI KASAMPURNAN” ini, suatu kepercayaan yang garis besarnya mendambakan Ajaran “Ngelmu Kasampurnan”
dengan sumber ajaran dari Rama Resi Pran-Soeh (RPS) Sastrosoewignjo
almarhum dari Desa Jagalan, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Dati II
Magelang, Propinsi Jawa Tengah.
Ajaran ‘Ngelmu Kasampurnan’ ini pertama-tama diterima oleh RPS Sastrosoewignjo berupa ‘WANGSIT/WAHYU’
dalam semedinya sewaktu beliau telah berprihatin 15 (lima belas) tahun,
dan akhirnya pada tanggal 29 Agustus 1890 di Gunung Syeh Maulana Parang
Tritis, Yogyakarta menerima Wahyu Ilmu Ketuhanan tersebut yang pertama.
Kemudian beliau melanjutkan ‘tata brata’ atau ‘prihatin’,
merangkum dan mendalami ilmu seraya menyebarluaskan ilmu yang
diterimanya dalam ilham, selama 31 (tiga puluh satu) tahun lagi sesuai
dengan petunjuk Tuhan Yang Maha Esa yang diterima dalam ilhamnya.
Pada tanggal 29 Maret 1918, beliau mendapat ilham (petunjuk) Tuhan Yang Maha Esa yang kedua berupa “Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat” secara
lengkap, dan akhirnya setelah ilmu Tuhan itu diperdalam, diteliti dan
daya gunanya selama 3 (tiga) tahun, mulailah RPS. Sastrosoewignjo dengan
mantap memberikan ajarannya.
Sejak tahun 1921 sampai dengan beliau wafat tanggal 24 Oktober 1957, beliau mengajarkan ilmu Tuhan Yang Maha Esa berupa “Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat” kepada
siswa-siswa beliau yang terdiri dari para petani, pedagang baik
pedagang kecil maupun pedagang besar, bangsa pribumi, bangsa Tiong Hoa
dan termasuk beberapa pejabat tingkat atas maupun bangsawan dan
cendekiawan.
Warga
penghayat kelompok/ organisasi “Ngesthi Kasampurnan” merupakan salah
satu penerus dari ajaran Ngelmu Kasampurnan yang bersumber di Desa
Jagalan, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah
tersebut di atas.
B. PENGERTIAN TENTANG NAMA, ASAS DAN DASAR KEPERCAYAAN
1. N A M A
Nama Kelompok/ Organisasi Penghayat ialah “NGESTHI KASAMPURNAN”
NGESTHI, berarti mengarah (Jawa : meleng, mempen, ngesthu padha, nyawijikake).
KASAMPURNAN, berarti segalanya sempurna.
Sempurna lahiriah dan bathiniah di Dunia Fana sampai pada di alam Baqa.
NGESTHI KASAMPURNAN : bermaksud mengarah agar sempurna lahiriah dan bathiniah/rochianiah di Dunia Fana sampai Alam Baqa.
2. ASAS DAN TUJUAN
1. Kepercayaan “Ngesthi Kasampurnan” berasaskan PANCASILA
2. Kepercayaan “Ngesthi Kasampurnan” bertujuan :
a. Hidup dengan budi luhur
b. Ketentraman lahir dan batin
c. Kesempurnaan hidup di Dunia dan Akherat
d. Purwa Madya Wasana/ Sangkan Paraning Dumadi
e. Manunggal dalam kenyataan Tuhan
Dengan
cara : menghayati dalam Alam Halus (Kasuksman) sampai mengetahui
sendiri, mengerti sendiri dan merasakan sendiri di dalam kenyataan serta
dalam kondisi Eling.
3. DASAR KEPERCAYAAN
Dasar Kepercayaan dari “Ngesthi Kasampurnan” adalah sebagai berikut :
1. Ketuhanan
Yang Maha Esa (MONOTHEISME), hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa-lah
satu-satunya yang harus disembah lahir dan batin, tiada KECUALINYA.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan dalam semua “Hak dan Kewajiban”, serta pemikiran, perkataan dan perbuatan (tingkah laku) harus beradap (sopan santun, budi luhur).
3. Kepribadian
seutuhnya (warga Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
“Ngesthi Kasampurnan” dibimbing dan diarahkan berkepribadian bangsa Indonesia).
4. Percaya adanya ‘Hidup Tumimbal’ / ‘Manitis’ / ‘Reinkarnasi’.
5. Percaya adanya ‘Hukum Karma’ (takdir
Tuhan kepada setiap Suksman di Alam Halus, akan mengambil dari perilaku
dan amal perbuatan di Alam Wadag masing-masing pribadi manusia itu
sendiri.
BAB II
POLA DASAR AJARAN
A. KONSEPSI TENTANG TUHAN YANG MAHA ESA
Ajaran kepercayaan terhadpa Tuhan Yang Maha Esa “Ngesthi Kasampurnaan” tentang konsepsi Tuhan Yang Maha Esa :
1. Tuhan adalah ROCH SUCI
Telah ada sebelum dunia beserta sisinya terbentang. (Jw. Wis ana sadurunge jagad gumelar dalah saisine kabeh)
2. Tuhan Yang Maha Esa adalah ‘langgeng’ adanya.
3. Tuhan besifat Maha Besar (Agung), maha Luhur, Maha Mulia, Maha Kuasa, Maha Suci.
Dan masih banyak Maha-maha yang lain.
4. Menjadi ‘Bibit” segala yang ada.
(Jw. Bibiting sakabehing Lir)
5. Roch Suci mempunyai Dzat, Sifat, Asma dan Afngal.
(Jw. Dzat, Sifat, Jeneng lan Pakarti)
6. Manusia tidak dapat mengetahui dengan penglihatan lahiriah dengan mata jasmani. (Jw. Mripat wadhag)
7. Bisa
membuktikan untuk mengetahu dengan mata bathin, dengan Suksmannya/
dengan Hidupnya/ dengan Rochaniahnya. Jadi, karena yang ingin dicari
berupa Roch Suci, maka mencarinya harus dengan Roch Kita.
8. Tuhan adalah Sang Pencipta Alam Semesta seisinya. (Jw. Gusti Kang maha Tunggal Ingkang Hanitahaken Jagad saisine kabeh)
B. KONSEPSI ALAM SEMESTA
1. Tuhan menciptakan Alam Semesta beserta semua isinya
2. Tuhan menciptakan segala Alam : Alam Dunia Wadag dan Alam Halus (Alam Dunia Antara/ Alam Nafsu dan Alam Akhir)
3. Alam
Wadag beserta isinya dapat disaksikan dengan netra wadag sedang Alam
Halus yang berupa Alam Antara dan Alam Akhir hanya dapat disaksikan oleh
Roch kita/ Suksma kita.
4. Dari Alam Semesta baik Wadag maupun Halus berisikan makhluk Tuhan beraneka macam/ ragam.
Menurut
ajaran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Ngesthi Kasampurnaan”,
makhluk Tuhan itu dalam garis besarnya dibedakan menjadi 5 (lima)
golongan, yaitu sebagai berikut :
a. Golongan barang, tanah, air dan batu
b. Golongan tumbuh-tumbuhan
c. Golongan binatang (di lautan, daratan, dan udara)
d. Golongan jin/ setan (makhluk halus)
e. Golongan
manusia (merupakan makhluk Tuhan yang paling mulia), karena makhluk
manusia yang paling tinggi derajatnya. Untuk itu, manusia tidak benar
bila bersembah kepada makhluk-makhluk yang lain yang nilai kodratnya di
bawah manusia.
f. Jadi, manusia harus bersembah kepada Sang Pencipta ialah Tuhan Yang Maha Esa
C. KONSEPSI ALAM MANUSIA
Konsepsi tentang manusia, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Ngesthi Kasampurnaan” mengajarkan sebagai berikut :
1. Manusia
adalah salah satu makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang titahnya atau
dikodratkan lebih sempurna dari pada makhluk-makhluk yang lain.
2. Manusia
dikatakan “makhluk sempurna’, karena diberikan sifat yang lengkap serta
dikaruniai akal budi yan sempurna, berpanca-indera, dan mempunyai Cipta, Rasa dan Karsa.
3. Manusia
diperkenankan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk mempergunakan
makhluk-makhluk yang lain demi dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.
4. Manusia
oleh kodrat Tuhan dijadikan makhluk/ titah yang paling sempurna,
menurut penghayatan bathin dengan Ilmu Kasuksman manusia sebagai makhluk
yang terdiri dari ‘DAT TRI TINALI’, yaitu terdiri dari : Raga – Nyawa dan Suksma. Ketiga komponen itu ‘luluh’ menjadi satu dalam satu pribadi yang disebut Manusia.
Ketiga
komponen itu, selama manusia masih hidup di Dunia, tak bisa berpisah
yang satu dengan yang lain kecuali dalam situasi khusus.
Misalnya : dalam semedi, dalam rasa mimpi, dalam menghayati Ilmu Batin. (Diperagakan dengan Gambar !).
5. RAGA : Asal dan Sifatnya
Raga
adalah Badan Jasmani yang berasal dari Dunia Wadag, dan dalam struktur
pribadi manusia menjadi komponen pertama dalam sosok yang terdiri dari
DAT TRI TINALI itu. Bisa dikatakan bahwa Raga adalah komponen
satu-satunya yang dapat dilihat dengan indera lahiriah karena Raga hanya
bersifat duniawi dan juga karena asalnya memang dari bumi (Jagad Wadag)
yang ditempatinya itu, yaitu dari sari-sari tanah, air, api dan angin.
Karena hal itu pula dan karena kodrat kefanaannya, Raga dapat ‘rusak’ dan bahkan ‘mati’. Jika hal ini (mati) terjadi, Raga akan kembali ke asalnya yaitu BUMI.
6. NYAWA : Asal dan Sifatnya
Nyawa
berupa Badan Halus yang berasal dari Alam Antara/ Alam Nafsu, dan
sebagai komponen kedua dari manusia, serta mempunyai sifat yang berbeda
dengan Raga. Raga bersifat ‘fana’,
sedang Nyawa ‘menempati’ Raga. Raga dapat dilihat dengan indera lahir.
Sedangkan Nyawa atau Nafsu berupa Badan Halus yang telah luluh dengan
Raga (Jasmani). Nyawa ini berasal dari Alam Antara/ Alam Kubur atau Alam
Nafsu. Karena asalnya ini pulalah Nyawa dalam pribadi manusia adalah ‘kenyataan’ dari nafsu.
Adapun sifat dari pada Nyawa adalah kena/ bisa sakit, tetapi tidak bisa mati.
Nyawa, karena merupakan kenyataan dari Nafsu, bisa disebut SETAN/ JIN
yang lengket pada pribadi manusia masing-masing. Di Dunia Wadag/ Fana
ini nafsu umumnya disebut SAUDARA, sebab dengan Nafsunya sendiri manusia
akan mampu mengejar kebutuhan-kebutuhan hidupnya atau mengejar
cita-cita lahirnya. Karena sifat-sifat yang menjurus ke corak lahiriah
ini. Nyawa setelah manusia meninggal akan menjadi ‘perintang’
perjalanan Suksma yang akan kembali kepangkuan Tuhan Yang Maha Esa, dan
karena inilah Nyawa mempunyai sebuatan lain MUSUH atau SETERU.
7. Suksma : Asal dan Sifatnya
Suksma
berasal dari Alam Akhir, dan pangkuan Tuhan Yang Maha Esa (Sumber
Hidup). Sebagai kornponen ketiga dari pribadi manusia, Suksma dijelaskan
sebagai Roch Halus yang suci, dan yang bersifat ‘tidak dapat sakit / merasa sakit’ serta ‘tidak dapat mati’ atau ‘langgeng’.
Dengan kehalusannya itu jika manusia meninggal, Suksma akan kembali ke
Bibitnya yang berada di Alam Akhir. Ini hanya dapat terlaksana jika
manusia sewaktu hidup di Dunia Wadag ini patuh dan taat kepada Tuhan
Yang Maha Esa, selalu berbudi luhur, dan mengetahui Ilmu Tuhan dengan
jelas.
D. KONSEPSI TENTANG KESEMPURNAAN
Kesempurnaan
(Jw. Kasampurnan) menjadi tujuan pokok dari Warga Penghayat “Ngesthi
Kasampurnan” pada khususnya dan mungkin dari penghayat-penghayat
kepercayaan yang lain pun banyak yang mengarah pada ‘kesempurnaan’ itu.
Pada
keterangan masalah “Pengertian Tentang Nama” dalam angka 1 Sub B pada
Bab I tentang “PENGERTIAN UMUM” di atas, kami jelaskan bahwa; “NGESTHI
KASAMPURNAN” bermaksud mengarah agar sempurna lahiriah dan bathiniah di
Dunia Fana sampai Alam Baqa.
Adapun penjelasannya adalah sebagal berikut :
1. Sempurna dalam arti lahiriah dan bathiniah di Dunia Wadag ini
1) Tuhan Maha Sempurna menciptakan Alam Semesta beserta semua isinya dengan lengkap.
Misalnya : Jagad
Wadag / Dunia Wadag, Matahari, Bulan, Bintang, Lautan, Gunung-gunung
dan Makhluk yang beraneka ragam / warna termasuk didalamnya Manusia.
2) Manusia
sempurna dalam anti lahir, mempunyai sifat yang lengkap, akal yang
sempurna, cipta rasa karsa, yang sebagai ‘pelengkap’ untuk menimbulkan
ideologi atau cita-cita (dari Cipta), untuk menimbang-nimbang /
merasakan (dari Rasa), dan sebagai penggerak dan pada semua kemauan (dan
Karsa). Disamping itu indera manusia yang menyerap segala sesuatu
menurut fungsinya (penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan dan
perasaan ujung lidah) membuat semakin sempurnanya makhluk ciptaan Tuhan
yang berujud Manusia ini.
3) Sempurna dalam hidup manusia di Dunia Wadag sebagai makhluk pribadi maupun makhluk sosial dalam arti lahiriah
a) Badan
Jasmani sehat, cukup pangan (makanan), cukup sandang (pakaian), tempat
tinggal, jodoh, pekerjaan yang menentu dan prasarana yang lain menurut
ukuran pnibadi masing-masing.
b) Yang menyangkut kepentingan bathin dalam Dunia Wadag:
(1) Mengerti dan selalu ingat kepada Sang Pencipta (percaya kepada semua ke-Agungan-Nya).
(2) Menenima dengan ikhlas atas kodrat dan kurnia yang dikaruniakan-Nya.
(3) Selalu setia dan mituhu atas segala Perintah-Nya dan menjauhkan din dan semua larangan atau pantangan-Nya.
(4) bilamana
manusia dapat melaksanakan hal-hal Tersebut angka (1), (2) dan (3) di
atas maka akan mendapatkan hidup bermasyarakat dengan tenteram/ bahagia.
2. Sempurna dalam hidup halus setelah manusia meninggal
Sempurna di dalam hidup Halus menurut ajaran “Ngesthi Kasampurnan” garis besarnya, adalah sebagai berikut :
1) Kembali Sangkan Paraning Dumadi.
2) Raga (Badan jasmani) kembali ke asalnya pada Dunia Wadag.
3) Nyawa / wujud walaka dan segala Nafsu kembali di Alam Antara atau Alam kubur.
4) Suksma kembali ke Alam Akherat, “Manunggal dalam kenyataan Tuhan”.
K e t e r a n g a n
Penjelasan
tentang ‘HIDUP SEMPURNA DI ALAM BATIN” akan dijelaskan dalam buku
Ajaran ini pada BAB VI PENGHAYATAN DAN PENGALAMAN BATIN dalam Sub
Bahasan Huruf G tentang “Hukum Karma berakibat/ berkelanjutan Suksma
Sesat dan Suksma Sempurna.”
BAB III
POLA DASAR PENGHAYATAN LAHIR
PENGHAYATAN LAHIR DAN PENGAMALANNYA MENUJU BUDI LUHUR (BERUJUD: ANGGER-ANGGER SEBELAS)
A. TUJUH (7) KEWAJIBAN
1. Percaya dan mituhu (patuh dan taat) kepada Tuhan Yang Maha Esa dan percaya kepada semua Utusan-Nya
Para Penghayat harus ‘setia dan mituhu’ kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kepada semua Utusan-Nya.
Arti dan pada ‘setia dan mituhu’ yaitu:
a) Percaya dan mengindahkan perintah-Nya lahir batin. (Tiada lamis, tiada membantah dan merendahkan, serta tidak mengingkarinya).
b) Setia dan mituhu itu suatu pekerti yang dilaksanakan dengan ‘ikhlas’, keluar dan kehendak hati suci yang timbul dan pribadinya.
c) Dengan
kesadaran yang tinggi yakin bahwa pekerti ini akan menimbulkan
keberuntungan lahir dan batin, ketentraman, dan kebahagiaan.
d) Sebaliknya
selalu ingat, tanpa setia dan mituhu kepada Tuhan Yang Maha Esa akan
berakibat ‘tidak’ tenteramnya hidup lahir dan batin.
Suksma
Utusan Tuhan merupakan “wakil” Tuhan satu-satunya. Jadi, bila kita
setia dan mituhu pada Sang Pencipta haruslah setia dan mituhu kepada
UtusanNya.
2. Berbakti
kepada Pemerintoh Negora Kesatuan Republik Indonesia, Undang-Undang
Dasar 1945, Poncasila, don semua Pejabat yang melaksanakon.
Pemerintah
merupakan “pelaksana” perundang-undangan serta semua
peraturan-peraturan lainnya. Dalam suatu masyarakat, akan dapat tentram,
tertib, dan aman bila pejabat yang melaksanakan kepemerintahan
benar-benar mengemban tugasnya sesui dengan ketentuan-ketentuan yang
berlaku.
Untuk
itu para Penghayat wajib patuh dan taat kepada Perundang-undangan dan
hukum yang berlaku serta pejabat penegak hukum yang melaksanakannya.
3. Cinta kasih kepada Ayah, Ibu dan semua Orang Tetuanya
Cinta
kasih kepada Ayah dan Ibu (Orang tua), serta para Tetuanya (Jw. : para
Ngasepuh ). Karena Ayah/ Bapak dan Ibu menjadi “Penyebab’ (lantaran)
kita dititahkan lahir di Dunia Wadag ini, besar sekali jasa-jasa Ibu dan
Ayah pada kita, susah payah, dan sering juga seorang Ibu berkorban jiwa
demi putera-puterinya. Demikian juga jasa dan pengorbanan para Tetua
(para sesepuh) kita.
4. Cinta kasih kepada Suami / Istri, Anak dan semua keluarga yang jadi tanggungannya
a) Suami / Isteri menjadi senasib-sepenanggungan, suka dan duka diderita bersama.
b) Anak
menjadi “penyambung” (penerus) sejarah kita nanti, sedangkan keluarga
atau brayat menjadi “pembantu-pembantu” kita dalam bekerja sehari-hari
memikul beban hidup kita.
5. Cinta kasih kepada sesama manusia, dan makhluk Tuhan lainnya
Kita
semua menyadari bahwa kita dan makhluk Tuhan lainnya adalah ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa. Untuk itu meskipun lain Bangsa, lain Negara dan
lain Agama serta Kepercayaannya harus saling tolong-menolong,
harga-menghargai, tenggang rasa, hidup berdampingan secara damai, dan
guyub rukun hidup bermasyarakat bernegara dan berbangsa. Demikian pula
kepada makhluk yang lain menanamkan rasa cinta kasih, karena
makhluk-makhluk itu pun membantu di dalam hidup kita.
6. Berbudi luhur, adil dan betas kasih
a) Berbudi
luhur baik budi pekertinya, besar rasa kemanusiaannya serta besar rasa
tanggungjawabnya, selalu bersikap perwira, tidak mengharapkan
pertolongan orang lain.
b) Adil;
melakukan peraturan / pertimbangan dengan tegak, tiada berat sebelah,
tidak pilih kasih, tiada memihak, dan penuh kebijaksanaan.
c) Betas
kasih; berhati mulia, suka menolong kepada siapapun yang perlu di
tolong, sepi ing pamrih rame ing gawe, senang turun tangan kepada orang
yang menderita.
7. Rajin bekerja serta menepati janji
a) bagi
tiap orang yang ‘rajin bekerja umumnya akan mendapatkan hasil materi
yang relatif banyak, sehingga dapat mencukupi kebutuhan hidupnya
sehari-hari. Hal ini akan menjauhkan perbuatan yang tidak benar
(penyimpangan).
b) orang yang selalu ‘menepati’
janji, akan menjauhkan percekcokan (pertengkaran) dengan sesama
manusia. Sehingga hidupnya tenteram lahir dan batin. Dan menepati janji
menjadi ukuran “kejujuran” daripada seseorang.
B. EMPAT (4) LARANGAN/PANTANGAN
1. Berzina
Warga Penghayat Kepercayaan” NGESIHI KASAMPURNAN tidak diperbolehkan berbuat “zina”.
Hal
ini dilarang karena menghamburkan biji hidup dimana tempat, merusak
rumah tangga, membuat tidak tenteramnya hidup berkeluarga.
2. Bersuami / beristeri lebih dari seorang
(POLIGAMI/ POLIANDRI)
Seorang
isteri tidak diperkenankan mempunyai suami lebih dan seorang
(poliandri); begitu pula seorang suami pun juga tidak diperbolehkan
mempunyai isteri lebih dari seorang (poligami) karena itu membagi cinta
kepada beberapa orang; dapat berakibat pertengkaran, tidak tenteram
rumah tangganya, dan kurang menghargai harkat serta martabat manusia.
3. Berbuat nakal dan hina
a) yang
termasuk berbudi nakal adalah berbudi yang jahat, tidak wajar bila
dibanding dengan ukuran manusia yang kebanyakan Diantaranya : (Jw. :
drengki, srei, jail methakil, dahwen, panasthen, open, silib / slingkuh,
lamis, cidra, dusta, fitnah, dsb).
b) sedangkan yang termasuk dalam berbudi hina (Jw. nistha) adalah kebalikan dari berbudi luhur.
Adapun
manusia yang berbudi rendah atau berbudi hina I nistha adalah
diantaranya : pemalas, penggumam, kikir, beradab rendah, loba atau
tamak, serakah, suka ditolong, dsb.
4. Berbuat sebaliknya dengan Tujuh ( 7) KEWAJIBAN di atas
Semua perbuatan yang bertentangan dengan KEWAJIBAN yang TUJUH (7).
Sebagai contoh, misalnya :
a) seharusnya
setia dan mituhu kepada Tuhan, tetapi bahkan tak ber-Tuhan (Atheis),
mencemooh nama Tuhan, memutarbalikkan ketentuan-ketentuan sabda Tuhan.
b) seharusnya
bakti dan patuh kepada Pemerintah, tetapi bahkan tidak mau tunduk pada
Pemerintah, tak mau mengerti pada per-Undang-undangan yang berlaku
bahkan justru menentangnya.
c) seharusnya
cinta kasih kepada Bapak dan Ibu, tetapi bahkan berani, tidak
menghormati dan menghargai, melupakan dan tidak mengakui, dan
sebagainya.
BAB IV
PENGHAYATAN BUDAYA SPIRITUAL
DENGAN NETRA BATIN
A. ILMU TUHAN YANG MAHA ESA YANG BERUPA ILMU KASUKSMAN TIGA PERANGKAT SEBAGAI KUNCI PENGHAYATAN
Penghayatan
Budaya spiritual dengan netra batin adalah suatu penghayatan yang
dilaksanakan dengan batin kita, dengan Roch kita serta dengan kata lain
dengan suksma kita.
Jadi,
penghayatan ini bukan hanya dilaksanakan dengan memahami suatu ajaran
seperti misalnya penghayatan Pancasila (dengan membaca, menghafal,
mendalami, maksudnya dan akhirnya melaksanakan dengan keinsyafan dan
kesadaran yang tinggi). Penghayatan batin tidak hanya dilaksanakan di
Alam Wadag, tetapi penghayatan ini bahkan tidak menggunakan indriya
lahir kita. Cara-cara penghayatan batin digunakan dengan SEMADI
MALADINING, bhs. Jawa (bersemedi sampai indriya lahir tidak makarti,
namun indriya batin tetap ingat dan merasa hidup di Alam Halus). Untuk
melaksanakan ini para Penghayat dengan membiasakan diri dengan sikap
“tidur telentang”. Bisa juga dengan menggunakan sikap “duduk”, namun
biasanya sikap duduk ini membuat tidak mudah melupakan indriya lahir,
yang berarti pula tidak dapat segera menggunakan indriya batinnya.
Penghayat
“NGESTHI KASAMPURNAN” dalam penghayatan batin dimulai dengan ingin
mengetahui Ilmu Tuhan Yang Maha Esa yang berupa ilmu kasuksman Tiga
Perangkat, sebagal “kunci dan penghayatan dan semua pengetahuan batin”.
Ilmu ini semula oleh Tuhan Yang Maha Kuasa di-Wahyu-kan (di-llham-kan )
kepada Guru Agung Ilmu ketuhanan Yang Maha Esa Rama RPS.
Sastrosoewignjo. Pertama diilhamkan pada tanggal 29 Agustus 1890 di
Gunung Syeh Maulana, Parang Tritis, Yogyakarta dan yang kedua pada
tanggal 29 Maret 1918 di daerah Muntilan, Magelang.
B. ILMU KASUKSMAN ADALAH BERSIFAT GAIB
ILmu
Tuhan Yang Maha Esa yang berupa Ilmu Kasuksman, artinya yang hanya
dapat diketahui oleh Suksman dan berada pada Alam Suksma. Jadi, bukan di
Dunia Wadag ini. Sering juga dikatakan Ilmu Gaib, Ilmu Kasunyatan dan
Ilmu Kasampurnaan.
1. Dikatakan ILMU GAIB, karena keadaannya serba gaib (tak dapat dilihat oleh indera lahir kita dan hanya Tuhan-lah yang dapat memberikan hal yang serba gaib).
2. Dikatakan ILMU KASUNYATAN, karena ilmu ini di Alam Halus bisa dinyatakan dan benar-benar berujud nyata (konkret), ada kenyataannya dan besar daya gunanya.
3. Dikatakan ILMU KASAMPURNAN, karena kegunaannya yang paling pokok untuk mencapai kasampurnan hidup di Dunia Wadag dan terlebih pula di Dunia Akhir.
4. Inti dari Ilmu yang diwahyukan oleh Tuhan Yang Maha Esa itu kenyatannya Ilmu Kasuksman yang bersifat “gaib”,
dan dapat dinyatakan kenyatannya untuk meraih (Jw. Dadi, ngelmu
paringaning Gusti Ingkang Maha Tunggal sanyatane Ngelmu Kasuksman kang
hasipat goib sarta bisa kanyatakake kanggo nggayuh Kasampurnaning Urip).
Kunci Penghayatan batin yang berupa Ilmu Kasuksman Tiga Pangkat itu adalah :
1. Cahaya Tuhan Yang Maha Esa
2. Suksman Sang Guru Sejati (Suksman Utusan Tuhan)
3. Nyawa Pribadi Manusia masing-masing
C. PENJELASAN NAMA DAN PAKERTI MASING-MASING ILMU
Disebut
Ilmu kasuksman Tiga Perangkat karena dalam penghayatan ketemunya bisa
satu persatu, bisa kedua ilmu bersamaan dan bila Tuhan memberi anugerah/
mengizinkan bisa ketiga ilmu sekaligus ketemu bersamaan.
Ilmu
Kasuksman Tiga Perangkat ini harus dihayati dengan netra batin di Alam
Kasuksman (Alam Halus) sampai mengetahui sendiri, mengerti sendiri, dan
merasakan sendiri.
1. CAHAYA TUHAN YANG MAHA ESA
1) Cahaya
Tuhan Yang Maha Esa sering disebut juga Sinar Tuhan Pusaka Hidup,
Bintang/ Lintang Panjer enjang (Panjer Rina), Pepadhang, dan sebagainya.
2) Cahaya Tuhan Yang Maha Esa, hanyalah Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai (Jw. Mengkoni).
3) Cahaya Tuhan Yang Maha Esa, mempunyai pekerti : membuat puas (Jw. Lego), terang, tenang dan tentram dalam rasa hati.
4) Cahaya
Tuhan Yang Maha Esa, menjadi petunjuk jalan, perjalanan Suksman yang
akan menghadap Sang Juru Selamat Utusan Tuhan Yang Maha Esa.
2. SUKSMA SANG GURU SEJATI (SUKSMA UTUSAN TUHAN)
1) Suksma
Sang Guru Sejati, juga disebut Sang Juru Penolong, Sang Juru Selamat,
Sang Penebus, Pamomongin Suksma, Suksma Utusan Tuhan, dan sebagainya.
2) Suksma Sang Guru Sejati, berpekerti : cinta kasih, budi luhur memberi pengayoman, memberi pertolongan.
3) Menjadi tujuan dari perjalanan Suksma yang akan kembali Kepangkuan Tuhan Yang Maha Esa.
4) Menjadi “hakim” dalam mengadili semua Suksma.
5) Mengatur Manunggal dan Tumimbal/ Manitis dari Suksma kita.
3. NYAWA PRIBADI MANUNGGAL MASING-MASING
1) Nyawa/ nafsu, sering disebut Setan / Jin yang melekat (Jw. Lengket) pada pribadi setiap manusia.
2) Di
dalam Alam Kewadagan (Dunia Fana) umumnya disebut SAUDARA (Jw.
SADHULUR), karena dalam kenyataan nafsu ini yang membuat pribadi manusia
mengejar kebutuhan/ cita-cita lahiriah.
3) Setelah
manusia meninggal, Suksma dan Nyawa/ Nafsu, lepas/ rucat dari Raga.
Nafsu/ Nyawa ini kita sebut sebagai “musuh” atau “sateru”, karena Nafsu
ini umumnya menjadi perintang perjalanan Suksma yang akan kembali ke
Pangkuan Tuhan YME.
4) Asal
Nafsu/ Nyawa dari Alama Antara, maka jika telah tidak merintangi
(melekat) kepada Suksma, Nafsu tersebut kembali di Alam Antara (Alam
Antara juga disebut Alam Nafsu, Alam Kubur).
5) Pekerti
dari Nafsu tidak baik, di antaranya: tamak/ loba atau serakah, benci,
sombong, nakal, hina, menganggu, menggoda, menakut-nakuti, membegal
perjalanan Suksma.
Untuk itu, Nafsu harus diketahui Ujudnya, dikendalikan niatnya dan kelak ditinggalkan.
D. KEGUNAAN ILMU KASUKSMAN TIGA PERANGKAT
Kegunaan Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat, adalah sebagai berikut :
1) Untuk menerima “dhawuh” (petunjuk, ilham) Tuhan Yang Maha Kuasa secara langsung lewat Suksma Sang Guru Sejati.
2) Untuk memohon “petunjuk” mengenai hal-hal yang diperlukan secara langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3) Untuk memberikan “pertolongan” kepada orang lain, pertolongan lahir maupun batin.
4) Untuk kepentingan pribadi masing-masing bila “takdir” Tuhan telah tiba (kembali Sangkan Paraning Dumadi).
E. PESAN-PESAN
1) Benar-benar
besar sekali faedahnya, bila kita para umat manusia ini dapat
“menghayati” dengan jelas dan menyaksikan sendiri di Alam Halus (alam
Kasuksman) tentang “KUNCI PANGESTHI”. (Ilmu Tuhan Yang Maha Esa Tiga
Pangkat)
2) Yang
dimaksud dengan “jelas dan menyaksikan sendiri” Suksma kita di Alam
Semedi, Alam Halus/ Alam Kasuksman, dapat : mengerti sendiri, mengetahui
sendiri, dan merasakan sendiri ujud, sifat, nama dan pekerti dari Tiga
Perangkat Ilmu Gaib tersebut sehingga bukan saja menjadi percaya akan
tetapi percaya dan yakin seyakin-yakinnya.
BAB V
TATA CARA PELAKSANAAN RITUAL
A. UMUM
Dalam
melaksanakan tata cara ritual Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa “Ngesti Kasampurnan” melaksanakan dengan SEMBAH RAGA (dengan
Badan Jasmani) dan dengan SEMBAH HWYANG YANG BERUPA ROCHANI (Sembah
Cipta/ Kalbu, Sembah Suksma dan Sembah Rasa).
Adapun
arti dari pada SEMBAH HWYANG adalah merupakan proses yang mengarah ke
persatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa sebagai perwujudan dari percaya dan
yakin terhadap Penciptanya. Juga sebagai perwujudan dari percaya dan
mituhu serta penyerahan total pribadinya (HIDUP dan PATI-nya) kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
B. SEMBAH HWYANG RAGA (BADAN JASMANI)
Yang
melaksanakan Sembah Hwyang Badan Jasmani/ Sembah Hwyang Raga seraya
mengucapkan ucapan-ucapan, dengan berbisik atau hanya dalam batin.
Sembah
Hwyang Raga ini berisikan pengakuan atas adanya Tuhan Yang Maha Esa,
percaya dan yakin semua ciptaanya, pengakuan sifat wadag tentu akhirnya
rusak dan manusia akhirnya tentu mati/ meninggal. Selain itu juga
mengakui bahwa setelah manusia mati masih ada “kelanjutan” hidupnya
berupa Hidup Halus, yang berada di Alam Halus/ Kasuksman. Juga percaya
dan yakin adanya HUKUM KARMA (Jw. Hukum ngundhuh wohing pakarti), dan
sebagainya.
(dijelaskan pada Ucapan Sembah Hwyang !!!)
C. SEMBAH HWYANG CIPTA (KALBU)
Sembah
Hwyang ini merupakan “kelanjutan” dari Sembah Hwyang Raga dan dilakukan
dengan SEMEDI. Melaksanakan Sembah Hwyang dengan Kalbu/ Cipta
sebelumnya harus dimulai dengan “laku” (tarak brata) agar dapat
mengendalikan hawa nafsu (semua dari nafsu). Sembah Hwyang Cipta atau
Kalbu ini memohon petunuk kepada Tuhan yang maha Esa di Alam Batin
dengan Kasuksman untuk kepentingan-kepentingan yang masih bersifat
lahiriah.
D. SEMBAH HWYANG SUKSMA
Sembah
Hwyang Suksma ini sering juga dikatakan sembah Hwyang JIWA. Di dalam
melaksanakannya sama dengan Sembah Hwyang Cipta/ Kalbu.
Jadi, dengan Sembah Hwyang Batin, dengan Semedi.
Perbedaan
yang pokok bila disbanding dengan Sembah Hwyang Cipta (Kalbu), Sembah
Hwyang Suksma dengan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa segala
sesuatu yang bukan kepentingan lahiriah.
Misalnya :
- Mohon Suksma si Suta bisa racut
- Mohon bertemu dengan suksma almarhum Bapak Dadap
- Dan sebagainya
E. SEMBAH HWYANG RASA
Sembah
Hwyang Rasa ini merupakan “kelanjutan” dari sembah Hwyang Suksma. Hanya
penghayat yang melaksanakan harus benar-benar sudah dewasa ilmu
batinnya. Sembah Hwyang rasa ini ditujukan untuk kepentingan pribadi
hubungannya dengan KASIDAN JATI atau MANUNGGAL DALAM KENYATAAN TUHAN
YANG MAHA ESA. Sudah barang tentu, “keprihatinan” dan “kasutapaan” dari pelaksana merupakan syarat utama dalam Sembah Hwyang ini.
F. SARANA UNTUK MELAKSANAKAN PANEMBAH/ SEMBAH HWYANG
Dalam
melaksanakan Panembah hampir tidak memerlukan sarana apa-apa. Misalnya :
bunga-bungaan, atau makanan yang berupa sajen, dan lain-lain. Sama
sekali tidak memerlukan.
Adapun sarana yang diperlukan :
1. Niat yang suci untuk melaksanakan Panembah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Tempat yang bersih, syukur tempat itu tetap atau menentukan (Sanggar, Balai Suci, Tempat Pemaparan Budaya Spiritual, dan sebagainya).
3. Sebelum melaksanakan Sembah Hwyang harus sesuci terlebih dahulu, bila waktu memungkinkan sangat utama mandi.
4. Pakaian
yang dipakai pada waktu ber-Sembah/ ber-Sujud, pakaian boleh dengan
pakaian adat atau kebiasaan, asal harus bersih, rapi, dan sopan.
5. Waktu Sembah Hwyang, sore sebelum tidur, dan pagi hari setelah bangun tidur dan waktu-waktu/ saat-saat yang lain dimana dianggap perlu untuk mengadakan Sembah Hwyang.
Keterangan
di atas merupakan SEMBAH HWYANG RAGA adapun SEMBAH HWYANG CIPTA, SUKSMA
dan RASA diadakan pada saat atau waktu akan tidur, siang maupun malam
hari dan waktu-waktu lain yang diperlukan. Hendaknya tempat untuk Sembah
Hwyang ini sebaiknya dengan tempat yang khusus untuk bersemedi, namun
bisa juga dilakukan dimana tempat asalkan bersih dan tenang.
6. Arah
Sembah Hwyang dapat menghadap ke segela arah penjuru (bebas serasi).
Hanya untuk Sembah Hwyang Raga yang bersama-sama orang banyak menghadap
dalam satu arah dibelakang Pimpinan Sembah Hwyang.
Khusus
untuk Sembah Hwyang GUBAH, RUWAT atau BANJUT, Pimpinan sembah Hwyang
mengenakan pakaian jubah warna putih dengan kudung warna putih pula,
serta dengan tiga (3) lilin yang dinyalakan di depan/ di muka Pimpinan
Sembah Hwyang tersebut.
7. Sikap Sembah Hwyang dengan duduk bersila untuk kaum pria dan bersimpun untuk kaum wanita dimana dilaksanakan pada lantai beralas. Dengan duduk di kursi dan bisa dengan berdiri menurut situasi dan kondisi tempat.
Pada waktu melaksanakan Sembah Hwyang, sikap kepala atau muka menunduk, sambil memejamkan mata, begitu pula dengan badan dan seluruh anggota tubuh dalam keadaan “kendor” dengan telapak
tangan ditumpuk. Bagi kaum pria, telapak tangan kiri di atas tangan
telapak tangan kanan, sedangkan bagi kaum wanita, telapak tangan kanan
di atas telapak tangan kiri.
(DIPERAGAKAN !!!)
8. Sikap
untuk Sembah Hwyang Cipta, Suksma dan rasa “tidur telentang” (Jw. “turu
mlumah”); kedua kaki membujur lurus, kedua tangan di atas perut (di
bawah pusar), telapak tangan menumpang satu dengan yang lain (kaum pria,
telapak tangan kanan, sedangkan untuk kaum wanita, telapak tangan kanan
di atas telapak tangan kiri).
Adapun tempat dapat pada lainat beralas atau di atas balai-balai/ tempat tidur asal saja tersebut harus bersih.
(DIPERAGAKAN !!!)
BAB VI
PENGHAYATAN DAN PENGALAMAN BATIN
A. TINGKAT PENGHAYATAN BATIN
Untuk
berlatih penghayatan batin, tingkat-tingkat penghayatannya dibuat tahap
demi tahap. Untuk memudahkan cara pembinaan dari penghayatan belum
berhasil maupun yang sudah menguasai Ilmu Batinnya.
Adapun urut-urutannya adalah sebagai berikut :
a. Pribadi seseorang menyatakan menjadi Penghayat
Dalam
tingkatan pertama ini Sesepuh meneliti kepada peminat tersebut. Apakah
kemauan ini benar-benar dari kehendak pribadinya sendiri atau mungkin
karena bujukan orang lain? Apakah sanggup menetapi dalam Pedoman Dasar
dan Pedoman Pelaksanaan seperti yang telah ditentukan? Sanggupkah
mereka/ peminat menetapi ANGGER-ANGGER SEBELAS yang merupakan bimbingan
budi yang luhur? Dan sebagainya.
Bila
peminat telah memberikan pernyataan dan kesanggupan-kesanggupan, maka
peminat tersebut di daftar dan diterima menjadi anggota Warga Penghayat
sebagai PENGHAYAT TINGKAT SATU.
Penghayat
ini di dalam berlatih Ilmu Batin diberi tuntutan ber-Semedi untuk
mencari salah satu di antara Tiga Perangkat Ilmu Kasuksman, seraya
selalu melaksanakan sembah Hwyang Raga dan ajaran-ajaran lahiriah yang
lain seperti yang telah diutarakan dimuka.
b. Penghayat berhasil menyaksikan satu Ilmu Tuhan
Seorang
Penghayat melaksanakan ajaran lahir tersebut di atas sambil berlatih
Semedi untuk mencari di Alam Halus salah satu Ilmu Kasuksman Tiga
Perangkat sebagai “kunci” segala pengetahuan penghayatan, maka biasanya
akan berhasil bertemu Ilmu yang ingin diyakininya tersebut sehingga
dalam penghayat ini Penghayat telah berhasil menyaksikan satu Ilmu Tuhan
di antaranya tiga Ilmu Tuhan Tiga Perangkat.
Dan
penghayat ini dikatakan PENGHAYAT TINGKAT DUA. Waktu mulai berlatih
Semedi sampai dapat menyaksikan salah satu Ilmu masing-masing Penghayat
tidak sama tergantung dari : ketekunana, ketaatan dan kesucian serta
keprihatinan pribadi Penghayat masing-masing.
c. Penghayat berhasil menyaksikan dua Ilmu Tuhan
Bilamana
seseorang Penghayat telah dinyatakan Tingkat Tiga, maka sebagai
kelanjutan penghayatan tersebut, Penghayat diberikan tuntutan untuk
dalam Semedinya telah berhasil menyaksikan yang dicarinya di Alam Batin,
hasil penghayat telah menyaksikan dua Ilmu Tuhan Tiga Perangkat, maka
dinyatakan PENGHAYAT TINGKAT TIGA.
d. Penghayatan berhasil menyaksikan tiga Ilmu Tuhan
Bilamana
seoang Penghayat telah dinyatakan Tingkat Tiga, maka sebagai kelanjutan
penghayatan tersebut, Penghayat diberikan tuntutan untuk dalam
Semedinya mencai Ilmu Tuhan yang ketiga. Bila di dalam Semedinya telah
berhasil menyaksikan yang dicarinya di Alam Batin, maka dinyatakan
PENGHAYAT TINGKAT EMPAT.
e. Penghayat melaksanakan “Pendadaran Batin”
Penghayat
telah menyaksikan Tiga Ilmu Kasuksman sebagai “kunci” penghayatan.
Untuk dapat meyakini dari hasil penghayatan tersebut, maka Sesepuh
memberikan ‘pendadaran’ (Jw. : coban). Pendadaran/ cobaan ini diberikan
kepada setiap peminat menurut tinggi rendahnya dan cepat lambatnya
Penghayat melaksanakan batin tersebut huruf a, b, c, dan d di atas.
1) Untuk yang rendah penghayatannya
Mohon
bertemu dengan yang memberikan Pengadilan semua Suksma. (Jw. Nyuwun
pinanggih ingkang Ngadili Suksmanipun tiyang sajagad).
2) Untuk yang tingkat tengah penghayatannya
Mohon
bertemu yang Mengayomi semua Suksma di Dunia dan Akherat. (Jw. Nyuwun
pinanggih ingkang Momong Suksmanipun sedaya tiyang ing nDonya dumugi
Akherat).
3) Bagi yang penghayatannya tinggi
Mohon
bertemu Roch Suci, yang ada sebelum Dunia dan semua isinya terbentang.
(Jw. Nyuwun pinanggih Roch Suci ingkang sampun wonten saderengipun Jagad
gumelar).
Penghayat ini semua dinyatakan PENGHAYAT TINGKAT LIMA.
f. Penghayat mendapatkan “Kataman” / “Dunungan” / “Wiridan” atau “Dunungan”
Setelah
Penghayat melaksanakan pendadaran/ cobaan batin dan berhasil, maka
Penghayat tersebut dinyatakan “KATAM” (selesai penghayatan ilmu
batinnya); selanjutnya upacara KATAMAN/ DUNUNGAN/ WIRIDAN/ WISIKAN.
Dengan cara :
1) Diumumkan kepada Penghayat yang lain
2) Diadakan penjelasan-penjelasan Ilmu Batin yang telah disaksikan selama penghayatannya
3) Diadakan Wisikan tentang rahasia hidup dan rahasia pati. (Jw. Wewadining Gesang lan wewadining Pejah)
4) Diajarkan cara-cara melepas Pusaka Batin
Setelah
ini purna (selesai) dikatakan PENGHAYAT TINGKAT ENAM atau telah selesai
penghayatan Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat sebagai kunci penghayatan
dari semua pengetahuan batin.
g. Penghayat “Pana Kasuksman”
Setelah
seorang Penghayat dapat mengetahui sendiri, mengerti sendiri dan
merasakan sendiri ujud dari Ilmu Tuhan Yang Maha Esa Tiga Perangkat
sebagai kunci pangesthi;
maka Penghayat ini dianjurkan untuk memperdalam/ memperluas penghayatan
batin (menyaksikan Alam Halus seluruhnya, siapa-siapa yang berada di
Alam-alam tersebut, mencari Suksma seseorang yang telah lama/
berpuluh-puluh tahun meninggal dunia, meneliti tentang Suksma Menghadap,
Suksma Disisi, dan Suksma Manunggal, dan sebagainya). Penghayat ini
setelah banyak pengalaman penghayatan batinnya disebut “KATAM PANA” atau
dikatakan PENGHAYAT TINGKAT TUJUH. (dijelaskan dengan Gambar)
B. PERINGATAN PENTING
a. Untuk
dapat tercapai/ terlaksana menghayati Ilmu Tuhan Yang Maha Esa yang
menuju kesempurnaan hidup lahir dan batin di Dunia dan Akherat,
kenyataannya tidak demikian mudah.
b. Seseorang menginginkan mencapai hal tersebut, mempunyai syarat-syarat lahir maupun syarat-syarat Ilmu Batin.
Syarat-syarat kelahiran yang diperlukan diantaranya:
1) Berlaku suci dan lahir.
2) Berlatih keprihatinan/ tarak brata dan tapa brata (mengurangi kesenangan-kesenangan mengendalikan hawa nafsu).
3) Senang berbuat kebaktian (pengorbanan) untuk kepentingan Ketuhanan atau kesucian.
4) Senang memberikan dharma/ menolong (berupa apapun) kepada yang perlu ditolong.
5) Setia, percaya dan mituhu serta yakin kepada Tuhan YME.
Syarat Ilmu Batin yang harus dihayati:
1) Ilmu TUhan Tiga Perangkat (Kuncining Pangesthi).
2) Setelah
“KATAM” (menghayati dan sampai paham atau mengerti) jelas Ilmu Tuhan
Tiga Perangkat di Alam Halus; menyaksikan semua Alam dan isinya.
3) Menyaksikan
dan mengetahui Keagungan Tuhan dalam “Mengatur dan Menguasai” (Jw.
Murba lan Misesa); Hmabanya/ Makhluknya, di Alam Dunia Wadag, Alam
Antara dan Alam Akhir.
c. Sebagai
tanda bahwa seorang manusia telah jelas dan menyaksikan Ilmu Tuhan Tiga
Perangkat tersebut dan selalu ingat lahir dan batin serta selalu
berbudi pekerti luhur, maka bila manusia tersebut sampai waktunya
dipanggil ke-Pangkuan Tuhan Yang Maha Kuasa (meninggal dunia) :
1) Suksma dan Nyawa akan gampang “Rucat” dari Badan Wadag/ Badan Jasmani (Raga)
2) Nafsu akan mudah dikalahkan/ ditinggalkan oleh Suksma.
3) Perjalanan Suksmanya akan lepas/ lancar
4) Dengan
berpedoman (berpetunjuk) Cahaya Tuhan Yang Maha Esa, akan kembali
kePangkuan Tuhan Yang Maha Esa di Alam Akhir (kembali ke Asal Hidup
Kita).
C. PENGALAMAN DALAM PENGHAYATAN BATIN
1. Alam Halus yang dijumpai dalam Penghayatan Batin (Diterangkan dengan Gambar)
Dalam
penghayatan batin yang telah disaksikan beratus-ratus Penghayat bahkan
ribuan Penghayat (termasuk penyusun sendiri) demikian :
1. menemui Alam yang Gelap
2. menemui Alam yang Setengah Terang (Jw. Remang-remang)
3. menemui Alam yang Terang
4. menemui Alam yang Kuning
5. menemui Alam yang Putih
6. menemui Alam yang Putih Bersih
7. menemui Alam yang Putih Terang Benderang
2. Suksma dan Nyawa (Hidup Halus) dan Makhluk lain yang dijumpai di Alam Halus atau Alam Kasuksman
1) Pada Alam yang Gelap
Di
Ala mini ditemui manusia-manusia yang berdiam diri, seperti patung, dan
juga manusia-manusia yang mendapatkan bermacam-macam siksa, di sini
juga bertemu sejumlah besar binatang yang bermacam-macam, bertemu juga
makhluk hidup beraneka rupanya (di Alam Setan/ Jin) dan juga dijumpai
kelompok besar makhluk yang besar-besar berlipat ganda dibandingkan
tubuh manusia.
2) Pada Alam yang Setengah Terang (Jw. Remang-remang)
Di
Ala mini diketemukan sejumlah manusia yang masih mempunyai kegiatan
seperti di Dunia Wadag (misalnya: bercocok tanam, mencangkul, berdagang,
makan minum, bekerja di kantor, menjadi prajurit, menjadi tukang kayu/
batu, berolah raga, dan sebagainya). Juga dijumpai orang-orang yang
berjalan terus-menerus hanya berhenti kalau sedang mengaso
(beristirahat) dan melaksanakan Sembah Hwyang.
3) Pada Alam yang Terang Kemerahan
Pada
Alam ini diketemukan orang-orang yang sedang bertengkar, berkelahi, ada
yang satu melawan satu, satu melawan dua, satu lawan tiga. Ada pula orang-orang yang berkerumun dua atau tiga orang. Ada pula yang berjalan meninggalkan tempat ini dan ke tempat yang lain.
4) Pada Alam yang Kuning
5) Pada Alam yang Putih
6) Pada Alam yang Putih Bersih
7) Pada Alam yang Putih
Terang Benderang
Akan
dijelaskaan pada BAB VI PENGHAYATAN DAN PENGALAMAN BATIN dalam Sub
Bahasan Huruf G tersebut angka 2 tentang “Perjalanan Suksma Benar Suksma
Sempurna”. Halaman : 36 Buku Ajaran ini.
D. MENYEMBAH-HWYANGKAN SUKSMA MANUSIA YANG TELAH MENINGGAL
1. SEMBAH HWYANG RAGA
Bilamana
ada salah seorang keluarga Penghayat yang meninggal dunia, maka selain
diSembahHwyangkan dengan Sembah Hwyang Raga (Sembah Hwyang Badan
Jasmani) harus diSembahHwyangkan dengan Sembah Hwyang Batin pada Sembah
Hwyang Suksma/ Sembah Hwyang Rasa.
Sembah
Hwyang ini dimulai Sembah Hwyang GUBAH, Sembah Hwyang RUWAT dan
akhirnya Sembah Hwyang BANJUT. Yang boleh melaksanakan Sembah Hwyang ini
hanyalah anggota Warga Penghayat yang sudah “KATAM” (yang telah
mendapatkan Dunungan/ Wisikan).
Adapun
waktunya Sembah Hwyang dimulai dari hari pertama, 11 (sebelas) hari
setelah meninggal, 33 (tiga puluh tiga) hari setelah meninggal, 110
(seratus sepuluh) hari setelah meninggal, dan akhirnya 330 (tiga ratus
tiga puluh) hari setelah meninggal. Mengapa hari-hari tersebut
ditentukan demikian?
(Akan dijelaskan di bawah !)
2. SEMBAH HWYANG GUBAH
Sembah
Hwyang Gubah artinya Sembah Hwyang memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa
agar dapat bertemu/ menyaksikan di Alam mana tempatnya Suksma yang baru
saja meninggal dunia tersebut. Ini agar mendapatkan petunjuk Tuhan Yang
Maha Esa dengan bertemu Suksma yang dicari tersebut di Alam Antara
maupun di Alam Akhir. Bilamana bertemuanya di Alam Antara, maka Sembah
Hwyang pada lain kesempatan diteruskan dengan SEMBAH HWYANG RUWAT.
3. SEMBAH HWYANG RUWAT
Arti
daripada Sembah Hwyang Ruwat adalah Sembah Hwyang yang memohon kepada
Tuhan Yang Maha Esa agar Suksma yang masih dicengkeram oleh Nafsu
(Nyawa) pribadinya di Alam Nafsu segera dapat berpisah (dapat “racut”).
Dan Suksma dimohon agar dapat meninggalkan Nafsu-nafsunya di Alam
Antara (Alam Nafsu) bagian teratas (Alam Terang Kemerahan). Bilamana
permohonannya dapat dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, maka Suksma
akan dapat berpisah atau racut meninggalkan Nafsu-nafsunya dan menuju ke
Alam yang lebih atas ialah Alam Kuning (Alam Menang) menghadap Sang
Guru Sejati (Sang Pamomongan Suksma).
4. SEMBAH HWYANG BANJUT
Sembah
Hwyang Banjut artinya Sembah Hwyang yang dilakukan para Kadang Pana
dengan Sembah Hwyang Suksma/ Rasa yang memohon kepada Tuhan Yang Maha
Esa pada Alam Kasuksman, agar Suksma yang telah menghadap Sang Guru
Sejati (Sang Pamomong) dikaruniai segera “manunggal”
kepada Tuhan YME. Kembali SANGKAN PARANING DUMADI. Sembah Hwyang ini
hanya cukup dilaksanakan sekali saja karena berhasil dan tidaknya
tergantung “Purba Wisesa”
Tuhan Yang Maha Esa. Lain halnya dengan Sembah Hwyang Ruwat di atas,
bila satu kali belum berhasil, dapat pada lain kesempatan diulang dua
atau tiga kali dan seterusnya sampai berhasil dengan batas lima kali. Andai kata sampai lima kali belum berhasil, ini karena perbuatan dari Suksma dan Nafsu yang di-“ruwat”
pada waktu di Dunia Wadag terlalu banyak penyimpangan (besar dosanya).
Dalam hal ini Sembah Hwyang seterusnya dilaksanakan oleh keluarga mereka
(misalnya: Anak, Cucu, Ayah, Ibu, Nenek).
E. KETERANGAN MASALAH HARI-HARI MENYEMBAH-HWYANGKAN SUKSMA YANG BELUM BENAR (SESAT)
Dimuka
sudah dijelaskan bahwa hari-hari untuk menyembah-Hwyangkan Suksma yang
telah pisah dengan badan jasmaninya (meninggal dunia) diterangkan : Hari
Pertama setelah meninggal, Hari Kesebelas setelah meninggal, Hari
Ketigapuluh Tiga, Hari Keseratus Sepaluh dan akhirnya Hari Ketigaratus
Tigapuluh.
Hari-hari
tersebut digunakan untuk menyembah-Hwyangkan kembalinya Badan Halus
kita (yang berupa Suksma dan Nyawa) karena menurut penghayatan batin
hari-hari itu pulalah hari bersejarah karunia Tuhan Yang Maha Esa “datang dan sempurna”-nya Sang Hidup (Sukma Suci), Nyawa dan Raga (Badan Jasmani).
1. HARI PERTAMA (Hari ke-1)
Kodrat
Tuhan Yang Maha Esa memberikan bibit/ bahan Hidup yang berupa Suksma
turun dair Alam Akhir, di Alam Antara disertai Nafsu-nafsunya (Nyawa)
untuk turun ke Dunia Wadag tertarik kasih saying sang Ayah dan sang Ibu,
yang sedang memadu kasih (bersetubuh), masuk pada Panon Ayah, mengikuti
sumsum, akhirnya masuk dalam kandungan (gua garba) Ibu berupa “Nut” / “Keteg” (Wiji Hidup). Di sini Suksma dan Nafsu belum melekat (Jw. Durung nempel).
2. HERI KESEBELAS (Hari ke-11)
Pada
Hari Kesebelas (11), Bibit atau Bahan Hidup yang masih belum menyatu
dengan Nafsunya mulai memberikan tanda-tanda yang lebih jelas berupa
Keteg atau Nut yang berkali-kali. Biasanya di dalam kelahiran yang
nampak sang Ibu kelihatan lesu, mengibakan hati (Jw. Marlupa, memelas).
3. HARI KETIGAPULUH TIGA (Hari ke-33)
Setelah
Bibit atau Bahan Hidup yang berupa Suksma sampai tiga puluh dua (32)
hari dikandungan (gua garba) sang Ibu, hari ketigapuluh tiganya (ke-33)
Nafsu-nafsu atau Nyawa memulai melekat (Jw. Nempel).
Pada
waktu ini Biji Hidup yang berupa Suksma telah mulai menjadi satu dengan
Nafsu/ Nyawa. Sang Ibu keadaannya mulai berubah dari hari-hari yang
kemarin (mulai ngidam). Untuk hari-hari selanjutnya Suksma yang telah
menyatu (melekat) dengan Nafsu, atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa
dilengkapi pula dengan unsur-unsur yang bersifat “wadag” (misalnya :
sari-sari tanah, sari-sari air, sari-sari api, dan sari-sari angin) dan
membentuk calon bayi.
4. HARI KESERATUS SEPULUH DAN SELANJUTNYA SAMPAI HARI KETIGARAPUS TIGAPULUH (Hari ke-110 s/d 330)
Pada
hari keseratus sepuluh (110), menurut penghayatan batin, bayi yang
dikandungan Ibu sudah mempunyai “sifat” yang lengkap, bentuk-bentuk
anggota badan semua sudah berujud.
Sampai
dengan sembilan bulan sepuluh hari (9 bulan 10 hari) dan paling lama
tiga ratus tiga puluh (330) haari atau sebelas (11) bulan bayi lahir.
Menurut
kenyataan, bayi yang lahir dua ratus delapan puluh (280) hari tulang
bagian ubun-ubuhn belum rapat (nampak tertutup pada kulit kepala), namun
bila bayi lahir pada usia dalam kandungan 330 hari benar-benar
mendekati lengkap, tulang kepada seluruhnya telah berhubungan satu
dengan yang lain. Tulang bagian ubun-ubun telah rapat pula. Itu sebabnya
Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Ngesti Kasampurnan”
mengadakan sembah Hwyang/ Sujud untuk Suksma orang yang telah meninggal
hari-harinya ditentukan : Hari ke-1, Hari ke-11, Hari ke-33, Hari
ke-110, dan Hari ke-330.
Ini
dimaksudkan kembalinya Suksma Suci ke Asal Dumadinya disesuaikan dengan
hari-hari waktu datangnya Suksma Suci tersebut dititahkan Hidup di
Dunia Wadag.
5. KETENTUAN LAIN
1) Bila
seseorang meninggal dunia, kemudian hari pertama dari meninggalnya
diadakan Sembah Hwyang Gubah, disaksikan dalam Alam Batin (Kasuksman).
Suksma yang meninggal sudah menghadap Sang Pamomong di Alam Akhir
pertama atau Alam-alam di atasnya, maka untuk Sembah Hwyang hari
kesebelas (11), diteruskan Sembah Hwyang Banjut (tanpa
diadakan Sembah Hwyang Ruwat) dan dengan “syukuran” (mengucap syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa, bahwa kembalinya Suksma Suci si A telah
mendapatkan karuniaNya). Dan selanjutnya hari-hari yang lain tidak perlu
diadakan Sembah Hwyang lagi untuk Suksma tersebut.
2) Sebaliknya
seseorang meninggal dunia, Suksmanya diadakan Sembah Hwyang Gubah
ternyata “belum benar”, hari kesebelas (11) diadakan Sembah Hwyang Ruwat
juga ternyata belum benar, hari ke-33, hari ke-110, hari ke-330, juga
belum benar; sampai dengan dua tahun, tiga tahun, delapan tahun dan
seterusnya belum benar juga keluarga dekatnya mempunyai kewajiban untuk
berSembahHwyang Ruwat, memohonkan “Ampun kepada Tuhan Yang Maha Esa agar
Suksma Orang Tuanya (Jw. Leluhurnya) dapat kembali ke Sangkan Paraning
Dumadi.
3) Jelasnya
hari untuk menyembahHwyangkan Suksma, satu dengan yang lain belum tentu
sama, menurut keadaan di Alam Halus, Suksma-suksma itu sendiri (sudah
benar dengan cepat, belum benar, benar dengan lambat, telah tumimbal/
manitis, dapat siksa yang berat, dan sebagainya).
F. KEMBALINYA SUKSMA SUCI
Manusia
meninggal adalah suatu peristiwa yang merupakan kepastian, dan tidak
dapat manusia menolak atau menunda waktu, sepenuhnya dalam Kekuasaan
Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dalam
penghayatan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa dengan batin (Kasuksman)
penghayatan masalah ini sangat diutamakan karena masalah ini benar-benar
menyangkut kepentingan setiap pribadi manusia berhubungan dengan
“kodrat: Tuhan Yang Maha Kuasa Penciptanya.
1. Bagaimana arti manusia meninggal itu?
2. Apakah yang terjadi bagi pribadi manusia yang meninggal tersebut?
3. Apakah bekal lahir dan batin sebelum manusia sampai waktunya ditakdirkan meninggal?
4. Dan kemanakah perjalanan Suksma manusia setelah meninggal?
Jawabannya, adalah sebagai berikut :
1) Manusia
meninggal dunia, artinya pribadi manusia ini telah “dipanggil” kembali
oleh Tuhan Yang Maha Kuasa; maka manusia ini semula hidup, dan kemudian
mati (tidak bernafas).
2) Yang
terjadi dalam peristiwa manusia meninggal, adalah Raga (Badan Jasmani/
Badan Wadag), yang semula waktu masih hidup menjadi satu/ tinggalan
Suksma dan Nyawa meninggalkan Raga (Badan Wadag), manusia ini disebut
“mati” atau “meninggal”.
3) Adapun bekal lahir dan batin sebelum manusia meninggal dunia adalah sebagai berikut :
v Bekal lahir
a) Pelajari
dan laksanakan tersebut BAB III tentang “POLA DASAR PENGHAYATAN LAHIR”
(Penghayatan Lahir dan Pengalamannya Menuju Budi Luhur, berujud :
Angger-angger Sebelas). Halaman 9-12 buku ini.
b) BAB
VI “PENGHAYATAN DAN PENGALAMAN BATIN” tercantum dalam Sub Bahasan Huruf
B, tentang ‘Peringatan Penting’ tersebut huruf b angka 1) s/d 5)). Hal.
24 buku ini.
v Bekal Batin
a) Setia,
patuh, taat, percaya dan mituhu kepada Tuhan Yang Maha Esa, menurut
Ajaran Agama/ Kepercayaan yang dianutnya masing-masing.
b) Mendalami
Ilmu Ketuhanan Yang Maha Esa dilatih pada Alam Batin (Kasuksman) sampai
menyaksikan sendiri (tidak cukup hanya dengan mendengarkan
cerita-cerita atau menghafal ajaran).
Adapun Ilmu yang harus dihayati dengan jelas dan menyaksikan sendiri, ialah :
(1) CAHAYA TUHAN
Sinar Tuhan, Pepadhang, Lintang Panjeng Enjang, Pusaka Hidup, dan sebagainya.
(2) SUKSMA SANG GURU SEJATI
Sang Panebus, Sang Juru Selamat, Sang Penolong, Pamomong Suksma, Suksma Utusan Tuhan, dan sebagainya.
(3) NAFSU MASING-MASING
Nyawa, Setan yang melekat pada Pribadi, dan sebagainya.
4) Adapun perjalanan Suksma setelah meninggal, adalah sebagai berikut :
Semua
Suksma bagi manbusia yang telah meninggal termasuk juga idalam manusia
hidup yang ber-Ketuhanan ingin kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa
Penciptanya. Tujuan/ idaman ini tercapai atau tidak tergantung dari
ke-Purba Wisesa-an Tuhan di samping hasil amak perbuatan pribadi
masing-masing, sewaktu hidup di Dunia Wadag.
Setelah
Suksma dengan Nyawa bersama-sama rucat meninggalkan Badan Jasmani
(Raga) manusia dikatakan “MENINGGAL”. Untuk meyakinkan Badan Jasmani
benar-benar telah ditinggalkan Badan Rochani (yang berupa Suksma dan
Nyawa) dari detik rucat sampai dengan enam (6) jam benar-benar sudah
tidak bernafas..
Badan
jasmani yang sudah jelas meninggal, selanjutnya diadakan tata laksana
(Jw. : pangrukti) menurut ketentuan. Suksma dan Nyawa yang masih satu
ujud Badan Halus berpindah ke Alam Halus (di mulai dari Alam yang
terbawah sampai dengan Alam yang atas). Namun perlu disadari bahwa untuk
kembali ke Alam atas (Alam Akhir) tidak demikian “mudah” seperti
diceritakan banyak orang, karena peradilan
Tuhan Yang Maha Esa dan pathokan (Jw. Wewaton) pada HUKUM KARMA (Jw. :
Hukum Ngundhuh Wohing Pakarti). Sejak Roch/ Suksma lepas dari Badan
Jasmani segera berlaku (tidak menunggu berhari-hari, berbulan-bulan
maupun puluhan sampai ribuan tahun).
Menurut
penghayatan batin dengan Ilmu Kasuksman \, Suksma dan Nyawa lepas dari
Badan Jasmani segera mendapat Peradilan dari Tuhan Yang Maha Esa dengan
ketentuan “ngundhuh wohing pakarti”.
Inilah sebabnya Badan Halus yang berupa Suksma yang masih lengket dengan
Nafsu-nafsunya, (nyawa) berhenti (Jw. : kandheng) di Alam Pasiksan,
maupun di Alam Penasaran.
Bila
perjalanan sukma yang masih melekat dengan Nyawa bisa sampai di Alam
Pertarungan (Alam yang Terang Kemerahan) maka Suksma dan Nyawa dapat
berujud sendiri-diri (Tidak lengket lagi). Disinilah kebanyakan ada
pertarungan atau perkelahian Sang Suksma dengan Nafsu-nafsunya, atau
dengan Seterunya (ada yang mengatakan Suadara-saudaranya). Bilamana
Suksma dapat mengalahkan kepada Nyawa (Nafsu-nafsunya) maka dengan
berpedoman Sinar Tuhan Yang Maha Esa,
meneruskan tujuannya menghadap Sang guru sejati di alam kuning (Alam
Akhir Lapisan/ tingkatan pertama), sedangkan Nyawa (Nafsu) tinggal di
Alam Nafsu kembali ke bibit Asalnya.
Peristiwa di atas menggambarkan “KEMBALINYA SUKSMA SUCI” dengan keterangan sebagai berikut :
1) Pertama : RUCAT DI DUNIA WADAG
Di Dunia Wadag, Suksma dan Nyawa lepas secara bersama meninggalkan Badan Jasmani (Badan Wagad atau Raga).
Peristiwa ini yang dinamakan :”RUCAT”
2) Kedua : RACUT DI ALAM ANTARA
Setelah Suksma dan Nyawa “rucat”
dari badan Jasmani (Raga), kedua roch ini berpindah dari Dunia Wadag
(Tempat luluh dengan Raga); akhirnya Roch yang berujud Badan Halus
(Sukma dan Nyawa) masih tetap berujud satu, datang pada Alam Antara
bagian bawah. Bilamana di tempat ini tidak mendapatkan siksaan / hukuman
Tuhan Yang Maha Esa sesuai dari pada “karmanya” maka Roch ini terus ke Alam Antara bagian tengah (Alam Penasaran).
Dan apabila di Alam Penasaran sang Suksma tidak “dicengkeram” (Jw: ora kalendhih) oleh nafsunya, maka teruslah sampai ke Alam Antara Bagian Atas (Alam Terang Kemerahan).
Di
Alam Antara bagian atas ini Suksma berniat meninggalkan Nyawa atau
Nafsu; bila kehendak ini berhasil, selanjutnya menuju ke Alam Akhir
tingkat pertama (Alam Kuning). Peristiwa ini dikatakan : “RACUT”.
3) Ketiga : KUKUT DI ALAM AKHIR
Di
Alam Akhir pertama ( Alam Kuning / Alam Kemenangan ) Suksma Suci ini
menghadap Sang Pamomong atau Sang Guru Sejati, di sini oleh Kekuasaan
Tuhan Yang Maha Esa yang wewenangnya dilaksanakan oleh Sang Guru Sejati.
Suksma Suci ( yang sudah tiada mempunyai kehendak apapun ) dapat untuk
dititahkan Tumimbal / Manitis (Reinkarnasi),
atau dapat juga oleh kurnia Tuhan yang dilimpahkan kepada Suksma Suci
diperintahkan menuju ke Alam yang Iebih atas kembali ke asal
keberadaannya ( kembali Sangkan Paraning Dumadi / Manunggal dalam
Kenyataan Tuhan).
Peristiwa ini yang dinamakan “KUKUT”,
G. HUKUM KARMA BERAKIBAT/ BERKELANJUTAN SUKSMA SESAT DAN SUKSMA SEMPURNA
Dalam
keterangan di depan telah dijelaskan bahwa “KUNCI PANGESTHI” yang
berujud Ilmu Tuhan Tiga Perangkat sangat penting dihayati sampai taraf
‘menyaksikan’ di Alam Batin oleh setiap pribadi manusia yang berniat
menghayatinya ( khususnya Warga Penghayat).
Kegunaan dari Ilmu
Ketuhanan ini, yang paling penting untuk “keperluan” bila manusia telah
meninggat, agar Suksma Sucinya dapat kembali ke Pangkuan Tuhan Yang
Maha Esa tidak sesat (Jw.: kandheg) pada perjalanan.
Dibawah ini diutarakan pengalaman penghayatan batin oleh sejumlah Warga Penghayat yang telah Katam dengan Pana.
1. Perjalanan Suksma Sesat
Yang
dimaksud dengan Mati Sesat atau Mati Kesasar menurut Keyakinan “Ngesthi
Kasampurnan”, adalah Suksma tidak kembali ke Pangkuan Tuhan Yang Maha
Esa, dicengkeram oleh Nafsu (Nyawa) di Alam Antara, ada yang disiksa di
Alam yang Gelap, ada yang bekerja seperti di Dunia Wadag ini, makan, minum, bersenang-senang, dan sebagainya, dan ada pula yang tengab berkelahi melawan Nafsu-nafsunya.
1) Di Alam Pasiksan
Suksma yang masih lengket dengan Nafsu mendapat siksaan yang bermacam-macam atau berkumpul dengan makhluk lain. Misalnya :
Binatang, Jin / Setan, Makhluk yang bertubuh besar seperti raksasa.
Binatang, Jin / Setan, Makhluk yang bertubuh besar seperti raksasa.
Ditempat ini kebanyakan ticiak lesatari (Jw. ora langgeng).
2) Di Alam Penasaran
Suksma
yang masih lengket dengan Nyawa masih melakukan kegiatan-kegiatan
seperti di Dunia Wadag ( bekerja pertanian, menjadi tukang, berdagang,
olahraga, makan / minum, bersenang-senang, menjadi prajurit atau
pegawai, dan sebagainya).
Ada pula yang berjalan terus, seakan-akan tidak mempunyal tujuan.
3) Di Alam Pertarungan
Pada Alam Pertarungan atau Alam Terang Kemerahan ini, Suksma
dan Nyawa berujud lebih dan satu ( Jw. : pecah ) ada yang tidak
berkelahi, dan ada yang perkelahian. Suksma Suci akan menuju ke Alam
Kesucian, Saudara-saudaranya / Sateru-saterunya menghalang.
Tempat ini merupakan tempat “penentuan” perjalanan
Suksma. Apakah tetap perkelahian, apakah kembali ke tarik ke Alam
bawah, atau bisa melanjutkan ke Alam Akhir yang lapis pertama.
4) Sebab-sebab Suksma Sesar.
a. Mempunyai dosa.
b. Tidak ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa / Penciptanya, dan tidak mengerti kebutuhan jasmaninya ( kelahiran ).
c. Hanya mengetahui kebutuhan jasmani saja.
d. Ingat kebutuhan jasmani, juga ingat pada tuhan, tetapi hanya untuk kepentingan lahiriah.
e. Ingat kebutuhan lahir, ingat kebutuhan Ketuhanan belum jelas Ilmu Tuhan.
f. Kebutuhan lahir, dan kebutuhan Ketuhanan serta Ilmu Tuhan sudah jelas, tetapi masih kalah dengan Nyawa ( Natsu-nafsunya).
g. Kebutuhan
lahir dan kebutuhan Ketuhanan serta Ilmu Tuhan sudah jelas, juga sudah
mengalahkan / murba Nafsu-nafsunya, hanya belum dekat dengan Cahaya
Tuhan Yang Maha Esa (masih dalam perjalanan ).
2. Perjalanan Suksma Benar I Suksma Sempurna
Yang disebut dengan mati sempurna adalah manusia meninggal dunia, Suksma telah Suci (telah berpisah dengan Nafsu I Nyawa), sedangkan Suksma Suci tersebut sudah di Alam Akhir dan manunggal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Di Alam Akhir ini Suksma juga tidak demikian mudah untuk segera “manunggal”, tetapi mengalami tingkatan-tingkatan seperti di Alam Antara.
Perlu
diterangkan bahwa tingkatan ini adalah menurut Kuasa dan Keagungan
Tuhan; disamping Keadilan, Kemurahan, dan Pahala-Nya; namun juga tidak
luput dari HUKUM KARMA pribadi masing-masing (Jw : Ngundhuh Wohing Pakarti ).
Menurut
kesaksian dalam penghayatan batin, dari beratus-ratus Kadang Pana, yang
kesemuanya ini hasil bimbingan Panutan kita, Rama RPS. Sastrasoewignjo,
almarhum, maka tingkat-tingkat di Alam Akhir di mana Suksma Suci
Ngesthi Manunggal, adalah sebagai berikut :
1) Tingkat Pertama :
Bila Suksma Suci, disaksikan di Alam Akhir telah berada di rumah sendiri, serta tanpa berbuat sesuatu, berpakaian lengkap; ini berarti kedudukan Suksma tersebut telah benar, maka disebut “SUKSMA BENAR”.
2) Tingkat Kedua :
Bila Suksma Suci disaksikan di Alam Akhir telah dekat dengan
Cahaya Tuhan, Iebih utama lagi bila Suksma Suci tersebut berdiam di
rumah sendiri, atau di tempat-tempat suci (seperti Mesjid, Gereja,
Klentheng, Pura, Sanggar, Balai Suci, Vihara,
dan sebagainya); pada keadaan yang berdekatan dengan Cahaya Tuhan. Tingkat ini disebut dengan “SUKSMA TELAH MENDAPATKAN KARUNIA” atau “SUKSMA BEGJA”.
dan sebagainya); pada keadaan yang berdekatan dengan Cahaya Tuhan. Tingkat ini disebut dengan “SUKSMA TELAH MENDAPATKAN KARUNIA” atau “SUKSMA BEGJA”.
3) Tingkat Ketiga :
Bila Suksma Suci disaksikan di Alam Akhir telah menghadap Suksma
Utusan Tuhan, dan berdiam di rumah sendiri, di rumah Tuntunan, atau di
tempat suci (misalnya: Mesjid, Gereja, Pura, Klentheng, Balal Suci,
Sanggar, Vihara, dan sebagainya). Tingkat ini disebut dengan SUKSMA SEMBADA’.
4) Tingkat Keempat :
Bila Suksma Suci disaksikan di Alam Akhir, telah menjadi satu atau manunggal dengan Cahaya Tuhan Yang Maha Esa, pada tempat tertentu, maka tingkat ini disebut “SUKSMA DITERIMA’ atau (Jw. ‘Suksma Katrima”).
5) Tingkat Kelima :
Bila
Suksma Suci disaksikan di Alam Akhir, hanya Sang Guru pada Jagad Tuhan,
tenang, tenteram. Pada tingkat ini disebut “SUKSMA SEMPURNA” (Jw:
“Suksma Sempurna”).
H. PETUNJUK GAIB DI WAKTU SEMEDI / DALAM MIMPI
(PETUNJUK GAIB YANG DITERIMA DALAM SEMEDI
TIDUR
(PETUNJUK GAIB YANG DITERIMA DALAM SEMEDI
TIDUR
Pada Ajaran BAB IV, PENGHAYATAN
BUDAYA SPIRITUAL DENGAN NETRA BATIN, Sub Bahasan huruf D, tentang
“Kegunaan Ilmu Tuhan Tiga Perangkat” tersebut angka 1), 2), 3) di muka
(halaman 16); telah dijelaskan bahwa penghayatan batin selalu
dilaksanakan dengan Semedi atau Semedi Tidur dan
kepentingannya untuk menerima dhawuh / petunjuk gaib, memohon dhawuh
gaib, dan sebagainya. Jadi jelas, bahwa dhawuh gaib itu kebanyakan
diterima dalam waktu “Semedi” dan terutama dalam Alam Mimpi.
1. Macam-macam Impian (Jw. Sumpenan)
Adapun pembagian dari macam-macamnya impian (Jw. sumpenan), adalah diterangkan sebagai berikut :
1) Sumpenan I impian yang terbayang kepada peristiwa-peristiwa yang telah dialami atau hal-hal yang sangat dipikirkan.
Misalnya :
a. Sebelum bersemedi melihat pertandingan sepak bola. Setelah tidur bermimpi menjadi pemain sepak bola.
b. Sebelum tidur memikirkan tidak punya uang.
Setelah tidur bermimpi mendapatkan undian besar, sehingga mempunyai / mendapatkan uang yang banyak sekali. Mimpi seperti contoh tersebut di atas ini, tidak ada artinya apa-apa, nilainya nol (0), artinya impian atau sumpenan yang tanpa faedah.
Setelah tidur bermimpi mendapatkan undian besar, sehingga mempunyai / mendapatkan uang yang banyak sekali. Mimpi seperti contoh tersebut di atas ini, tidak ada artinya apa-apa, nilainya nol (0), artinya impian atau sumpenan yang tanpa faedah.
2) Sumpenan
/ impian yang bukan karena terbayang peristiwa atau pemikiran
sebelumnya, tetapi juga tidak dimohon kepada Tuhan Yang Maha Esa namun
orang mendapatkan kurnia isyarat-isyarat tertentu yang bisa terjadi atau
dapat tidak terjadi apa-apa.
Contoh :
a. Seseorang
tidak memikirkan apa-apa sebelumnya, juga tidak melihat pada Alam lahir
peristiwa-peristiwa / kejadian-kejadian apa pun. Setelah tidur bermimpi
terbang ke langit menghitung bintang-bintang dan mengantonginya
beberapa buah.
b. Tidak
memikirkan suatu apa, juga tidak melihat kejadian-kejadian di Dunia
Wadag yang luar biasa. Setelah tidur bermimpi merasa giginya ada yang
tanggal ( Jw. ompong ). Atau mimpi seperti buang air besar sampai merasa
perutnya kosong sama sekali.
Contoh
impian (Jw. : sumpenan ) di atas yang pertama [angka 1)] tidak ada
artinya apa-apa, tetapi pada contoh impian atau sumpenan yang kedua ini
[angka 2)] merupakan sasmita gaib dan
Tuhan Yang Maha Esa, kepada umat manusia untuk memberikan berita
tertentu yang biasanya dengan arti yang positif. Nilai impian dan contoh
tersebut angka 2) di atas ini adalah setengah-setengah, artinya bisa benar, dan bisa tidak benar.
3) Sumpenan / impian yang berupa dhawuh gaib
sebagai kurnia Tuhan untuk memberikan petunjuk kepada manusia yang
memohonNya. Peristiwa ini yang biasa dilakukan oleh para Penghayat
dengan urut-urutan cara, sebagai berikut :
a. Sebelum memohon sesuatu kepada Tuhan Yang Maha Esa melaksanakan tarak brata (keprihatinan).
b. Sambil melakukan keprihatinan, memohon dengan Semedi atau Semedi Tidur apa yang dikehendakinya.
c. Keprihatinan ini baru berhenti bila permohonannya telah mendapatkan sabda Gaib yang berupa liham / Wangsit / Sumpenan / Impian.
d. Hasil impian / sumpenan ini biasanya dapat di baca dengan terang (rneskipun sering juqa saniar - samar).
e. Sumpenan
/ impian semacam ini bernilai impian benar (karena memang dimohon,
dengan keprihatinan sampai mendapatkan keterangan gaib di Alam
Kasuksman).
Jelasnya impian atau sumpenan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:
1) Impian yang karena terbayang peristiwa / kejadian sebelumnya (Jw. ketentho ). Impian ini bernilai nol (0).
2) Impian bukan karena terbayang keadaan dan tidak dimohon oleh manusia. Impian ini nilainya setengah-setengah, artinya dapat benar. dan dapat tidak benar.
3) Impian yang benar (kenyataan). Impian yang digunakan sebagal “alot” komunikasi kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Cara membaca sabda / impian (dalam garis besarnya)
Dalam
membaca suatu impian setiap Pamong / Pinisepuh mempunyai cara
masing-masing. Untuk Penghayat “Ngesthi Kasampurnan” cara membaca Sabda
Gaib yang berupa impian itu ditentukan sebagai berikut :
1) Apakah permohonan yang diajukan kepada Tuhan Yang Maha Esa?
Ini dapat memohon tertentu atau menerima apa saja dan Sang Pencipta (Jw. : nyuwun dhawuh, utawa nyadhong dhawuh).
2) Jawaban dari permohonan, dibaca sebagai berikut
a. Waktu (waktu yang dirasakan di Alam Halus).
b. Tempat (tempat yang disaksikan di Alam Halus).
c. Melihat apa atau siapa (ini juga yang disaksikan di Alam Halus).
d. Sedang apa, mengapa / bagaimana (ini hubungannya dengan angka 2) hurut c. di atas).
e. Rasa hati Si pemohon bagaimana?
Misalnya : takut, khawatir, curiga atau sanksi, senang, puas, tenteram, dan sebagainya.
3) Dalam
melaporkan sasmita gaib (Ilham, Wangsit, Tayuh, Wisik atau Sumpenan)
dan seorang Penghayat kepada Penghayat lain yang telah lebih dalam Ilmu
Batinnya, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Sasmita Gaib / Ilmu harus dilaporkan secara “apa adanya”, tidak boleh ditambah-tambah, tidak boleh dikurangi, dikarang untuk lebih menarik, dan sebagainya.
b. Tidak boleh dibaca/diartikan sendiri.
Jadi harus disaksikan kepada Penghayat lain yang lebih tinggi Penghayatan Batinnya.
c. Tidak
perlu diceritakan kepada beberapa orang, cukup satu atau dua orang
Penghayat saja yang lebih tinggi penghayatan Ilmu Batinnya.
d. Bilamana segala Sabda Gaib dilaporkan dengan “utub don teliti” maka akan memudahkan cara mengartikannya serta tidak akan mengubah maksud dari Sabda Gaib tersebut.
4) Membaca Sabda Gaib / liham harus memperhatikan hal-hal sebagal berikut :
a. Waktu
Waktu yang dirasakan di Alam Halus oleh Penghayat yang lapor. Ini akan menentukan benar dan tidaknya liham / Sasmita Gaib tersebut. Bila benar akan memberi petunjuk saat akan terjadinya peristiwa itu.
b. Tempat
Tempat
yang disaksikan di Alam Halus. Ini memberikan petunjuk masalah-masalah
yang akan terjadi (misalnya : urusan pribadi, urusan masyarakat, urusan
negara, dan sebagainya).
c. Melihat apa / siapa
Ini memberikan petunjuk / gambaran, Pribadi atau umum yang dilihat dalam Alam Gaib.
d. Sedang mengapa / bagaimana
Ini memberikan kejelasan segala yang akan terjadi yang berhubungan dengan angka 4) huruf c. di atas ini.
e. Rasa hati si pemohon bagaimana
Hal ini memberikan petunjuk peristiwa yang terjadi itu sudah kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa atau dan begalan (pakarti dari Nafsu atau bahkan pusat dan segala Nafsu).
5) Lain-lain yang berkaitan dengan Sabda Gaib dalam Semedi Tidur (dalam Mimpi).
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
a. Membaca
arti Sabda Gaib yang tanpa permohonan (Jw. nyadhong dhawuh) lebih sukar
dibanding dan membaca arti Sabda Gaib yang dengan permohonan (Jw. :
nyuwun dhawuh).
b. Seberapa impian / sabda gaib yang tidak boleh dibaca atau dijelaskan, ialah:
(1) Wujud dan Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat.
(2) Akan adanya hari atau saat kematian seseorang.
(3) Akan adanya kelahiran, saat atau jenis kelamin yang akan lahir.
(4) Akan adanya bencana alam, bencana perang, dan bencana keruwetan.
(5) Akan adanya bencana wabah penyakit menular/ penyakit menjalar, pada sesuatu daerah.
c. Untuk menanggapi hal-hal tersebut angka 5) huruf b. di atas, adalah sebagai berikut :
(1) Wujud dan Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat sama sekali tidak boleh dijelaskan kepada siapa saja yang belum menyaksikan sendiri.
(2) Saat kematian seseorang hanya boleh diberikan kepada seseorang keluarga dekatnya dengan kata “sandi” (Jw. sinamu dono).
(3) Saat akan adanya kelahiran, sama dengan akan adanya saat kematian. (Jw. sinamu dono).
(4) Akan adanya bermacam-macam bencana, hanya boleh dianjurkan untuk mendapatkan “tumbat keselamatan” atau sarana-sarana tertentu yang berdasarkan dan DHAWUH
SATIN.
SATIN.
(5) Akan adanya wabah penyakit yang menular atau penyakit yang menjalar, dianjurkan untuk keprihatinan, dan diberikan “tumbal” yang berdasarkan dhawuh batin agar terhindar (Jw. kalis) dan bahaya wabah penyakit tersebut.
BAB VII
HIDUP TUMIMBAL ATAU MANITIS
(REINKARNASI)
(REINKARNASI)
Bilamana
seseorang telah meninggal dunia, dengan keterangan lain Badan Wadag
telah ditinggalkan Badan Halus yang berujud Nyawa dan Suksma. Nyawa dan
Suksma ini tetap hidup kekat di Alam Halus. Dan kuasa Tuhan Yang Maha Esa, Badan Halus tersebut dapat dititahkan kembali ke Dunia Wadag, dan ini yang disebut “HIDUP TUMIMBAL” atau ‘URIP TUMIMBAL”, Jawa, atau “HIDUP MANITIS” (REINKARNASI).
Hidup Manitis (Tumimbal ) dapat berkali-kali, dan Alam yang satu ke Alam yang lain, dari ujud yang satu ke ujud yang lain / berganti ujud.
Kita dapat mengetahui (menghayati dalam batin), bahwa
Suksma dan Nyawa itu kekal / abadi (Jw. langgeng); sedangkan Raga (Badan Jasmani) tidak kekal rusak, musr,ah, dan mati.
Suksma dan Nyawa itu kekal / abadi (Jw. langgeng); sedangkan Raga (Badan Jasmani) tidak kekal rusak, musr,ah, dan mati.
Pada waktu di Dunia Wadag, Suksma dan Nyawa berujud satu, bersenyawa ( luluh, Jw. ) dengan Raga. Bilamana manusia meninggal, Suksma dan Nyawa meninggalkan Raga. Raga yang ditinggalkan rusak di Alam Wadag.
Suksma
dan Nyawa masih berujud satu, hidup di Alam Antara (Alam Kubur). Bila
Suksma dapat memisahkan Pribadinya dengan nyawa, dan akhirnya dapat
meninggalkan, maka Suksma Suci dapat kembali ke Alam Akhir. Tetapi bilamana Tuhan Yang Maha Esa “menibtahkan” untuk kembali hidup di Dunia Wadag, Suksma juga timbul kembali hidup di Dunia Wadag.
Atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa, Suksma kembali ke Dunia Wadag melewati Alam Antara, dengan perantaraan Ayah dan terus gua garba (kandungan) Ibu. Dikandungan / di gua garba sang Ibu, Suksma dilekati Nyawa, dan dilekati unsur-unsur wadag, akhirnya berujud sempurna. Pada waktu yang telah ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Kasih dan Penyayang, maka bayi lahir di Dunia Wadag.
Suksma dan Nyawa yang telah jadi satu ujud dengan Raga si Bayi ini, sudah berganti wadag. Peristiwa semacam inilah yang disebut “HIDUP TUMIMBAL” / “MANITIS” atau ”REINKARNASI”. Suksma dan Nyawa kembali “timbur” di Dunia Wadag, berganti Raga atau Badan Jasmani.
Jelas kiranya bahwa HIDUP MANITIS tidak manunggal kepada manusia yang telah hidup lengkap dengan tiga (3) DZAT (jadi bukan ketempelan, kesurupan atau kepanjingan Roch Halus yang lain), melainkan timbul dengan perantaraan Ayah dan Ibu yang memadu cinta kemudian mengandung. Suksma timbul kembali di Dunia, atas Purba Wisesa atau Kekuasaan Tuhan.
Manitis
tidak terjadi kepada umat manusia selalu, dapat juga oleh kehendak
Tuhan Yang Maha Esa, bertempat pada benda, pada tumbuh-tumbuhan, pada
binatang, pada Jin atau Setan. Dan Suksma kita ini nasing-masing mempunyai peristiwa sendiri-sendiri, ada yang sudah berkali-kali timbul, ada pula yang baru sekali / timbul.
Suksma Utusan Tuhan, oleh kehendak Tuhan Yang Maha Esa juga timbul berkali-kali di Dunia Wadag ini merupakan suatu Suksma yang mempunyai kelebihan (Jw. pinunjul, ilnuwih) dan Tunggal serta di dunia Wadag berganti Badan Jasmani sejak jaman dahulu, sampai sekarang dan selanjutnya. (Untuk meneliti kenyataan ini hanya dapat disaksikan di Alam Satin dengan keprihatinan atau kesutapaan. Dan sertai tindak kejujuran, kesucian serta bud! luhur).
Kita semua mempunyai Nafsu yang besar berpusat di tiga tempat, yaitu :
Pertama : pada mulut / lidah
Kedua : pada hati
Ketiga : pada perji (kemaluan)
Nafsu-nafsu
tersebut dapat pecah menjadi jumlah yang banyak, hampir tak dapat
dihitung. Sama halnya dengan Bibit Hidup kita, Tuhan Yang Maha Esa sumber hidup segala yang ada, merupakan Bibit Hidup yang tiada dapat dihitung jumlahnya ( di Alam Wadag, Alam Antara semua isinya).
Sebenarnya Suksma yang telah bersenyawa dengan Nafsu itu masing-masing mempunya sifat pembawaan dari
kodratnya. Sifat kodrat ini mendasari pribadi masing-masing; diantara
sifat-sifat tersebut hina, suci, ksatria, budi luhur, budi rendah,
selingkuh, jujur, dusta, pendiam, pemarah, dan sebagainya. Bila Hidup
Tumimbal I Manitis, kembah hidup di Dunia Wadag, sifat I watak
pembawaan dari kodratnya akan tetap, ieskipun berkali-kali timbul di
Dunia Wadag. Karena hasil pendidikan dan pengaruh lingkungan sifat akan
dapat berubah sedikit namun sifat pembawaan kodratnya hampir tiada
berubah (menonjol).
Masalah
kedudukan, kepandaian, harta benda dapat berubah meningkat atau
menurun. Meningkat dan menurunnya kedudukan atau benda tergantung pada
waktu hidup sebelum timbul yang sekarang. Patokan ( dalil ) ini dalam
Kepercayaan “Ngesthi Kasampurnan” disebut “COKRO MANGGILINGAN” dan memetik buah dari perbuatan masing-masing I “HUKUM KARMA” ( Jw. Cokro Manggilingan Ngundhuh Wohing Makarti).
Semua
peristiwa, perbuatan / perilaku setiap pribadi manusia di Dunia Wadag
ini menjadi patokan tersesat dan sempurnanya perjalanan atau kembalinya
Suksma nanti bila waktu telah tiba dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Esa
(meninggal dunia). Juga menentukan di tempat mana kembalinya nanti.
Berhenti di Alam Antara atau di Alam Akhir.
Pada
Alam Antara atau Alam Akhir juga masih ada tingkat-tingkat tertentu
(baca mati tersesat dan mati sempurna). Suksma Sesat dan Suksma Sempurna
di Alam Halus pada tingkat-tingkat yang telah ditentukan oleh Tuhan
Yang Maha Esa sesuai amal perbuatan pribadi sewaktu masih hidup masa
laIu, ini juga menjadi patokan bila manusia tersebut dititahkan hidup
manitis kembali di Alam Wadag. Kembali hidup di Dunia Wadag, dapat
dititahkan menjadi manusia rendah, tengahan / madya, utama, kaya, cukup,
miskin dan sebagainya. Ini semua menurut kodrat Tuhan Yang Maha Kuasa,
juga berhubungan dengan pribadi Sang Suksma waktu di Alam Halus. Jadi,
manusia yang telah meninggal bila Tuhan Yang Maha Esa menghendaki untuk
hidup tumimbal selalu menentu sesuai tempat kediaman Suksma di Alam
Halus. Apakah di Alam Akherat bagian bawah, bagian tengah, bagian paling
atas atau akhir. Letak kediaman Suksma ini menjadi patokan, namun
demikian Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang yang selalu
memberikan PURBA dan WISESA kepada kita umatnya.
v Bilamana
suatu Suksma disaksikan dalam penghayatan batin dicengkeram Nafsu di
Alam Kubur lapisan bawah bersifat diam, lupa, seperti : “benda mati’, maka jika dititahkan tumimbal / manitis di Dunia Wadag menempat pada benda dan tumbuh-tumbuhan.
v Bilamana Suksma disaksikan dalam penghayatan batin bertempat pada Alam Nafsu berujud binatang, maka bila tumimbal manitis juga kepada BINATANG.
v Bilamana Suksma disaksikan dalam penghayatan batin pada Alam Kubur lapisan tengah berujud manusia berwatak Jin / Setan, maka bila dititahkan timbul di Dunia Wadag, akan menjadi manusia yang mempunyai jiwa Jin atau Setan, nakal, pemarah, jahat, fitnah, suka dengki, jahil dan sebagainya.
v Bilamana
Suksma disaksikan dalam penghayatan batin berada pada Alam Kubur
lapisan atas, Suksma belum dapat meninggalkan Nafsu, sudah ingat
perbuatan-perbuatan yang baik, bila Suksma tersebut dititahkan timbul
manitis di Dunia Wadag, maka akan menjadi MANUSIA YANG BERPENGERTIAN, mempunyai jiwa kemanusiaan yang baik, namun kadang-kadang masih kalah dengan Nafsu.
v Suksma yang telah berada di Alam Akhir berarti sudah dapat meninggalkan Nafsu ini disebut “SUKSMA SUC1”
Bilamana Suksma Suci ini dititahkan kembali manitis oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, tingkat-tingkat kodratnya sesuai juga dengan tempat waktu di Alam Halus.
v Suksma yang telah berpisah dengan Nafsunya bila tumimbal di Alam Dunia berujud SEORANG MANUSIA YANG BAlK, artinya segala tindakan dan tingkah laku manusia tersebut terbimbing oleh budi pekerti yang luhur dan kemanusiaan yang beradab.
Manusia ini jauh dengan perbuatan-perbuatan tercela dan kehendak Nafsunya dapat selalu terkendalikan oleh hati nuraninya.
Manusia ini jauh dengan perbuatan-perbuatan tercela dan kehendak Nafsunya dapat selalu terkendalikan oleh hati nuraninya.
v Suksma
yang telah berdekatan dengan Cahaya Tuhan Yang Maha Esa bila Tuhan
menitahkan tumimbal manitis di Alam Wadag; maka akan menjadi MANUSIA YANG MEMPUNYAI KELEBIHAN-KELEBIHAN.
Kelebihan
yang dimaksudkan dapat berupa kecakapan yang tinggi, kedudukan /
pangkat yang tinggi, pengaruh terhadap masyarakat yang besar (Jw. :
sinuyudan ing sesami), harta benda yang berlimpah-limpah.
Kelebihan tersebut tergantung cahaya Tuhan yang berdekatan dengan Suksma Suci tersebut.
v Suksma di Alam Akhir menghadap Utusan Tuhan namun belum
“walaka” / belum berujud yang tetap tetapi sudah berpakarti Sang Guru Sejati; maka bila Suksma tersebut tumimbal, akan menjadi MANUSIA YANG BERPERIKEMANUSIAAN YANG TINGGI dan BERBUDI YANG LUHUR.
“walaka” / belum berujud yang tetap tetapi sudah berpakarti Sang Guru Sejati; maka bila Suksma tersebut tumimbal, akan menjadi MANUSIA YANG BERPERIKEMANUSIAAN YANG TINGGI dan BERBUDI YANG LUHUR.
Tetapi
penghidupan dari orang tersebut belum dapat terpenuhi dengan baik harta
benda tidak berlebih, pangkat / kedudukan juga tidak tinggi.
v Namun bila Suksma Suci di Alam Akhir menghadap Utusan Tuhan dengan jelas (Jw. : walaka); bilamana Suksma tersebut dititahkan tumimbal / timbul di Alam Dunia Wadag akan menjadi MANUSIA YANG BERBUDI LUHUR, BERPERIKEMANUSIAAN YANG AGUNG.
Disamping itu kepandaian, pangkat, harta benda dan pengaruh terhadap masyarakat akan lebih dan menusia-manusia lainnya.
v Suksma yang telah manunggal dengan Cahaya Tuhan bila Suksma ini timbul manitis, maka manusia tersebut akan menjadi MANUSIA YANG AGUNG ( Jw. : Iinuwih, pinunjul ) tenteram lahir batin, berpandangan terang kepada kodrat Tuhan (Jw. waskitha).
v Demikian
juga bila Suksma Suci telah manunggal dalam kenyataan Tuhan Yang Maha
Esa, bilamana timbul manitis di Dunia Wadag akan mempunyai KELEBIHAN DALAM SEGALA-GALANYA (Jw.: agung, tenteram lahir batin, waskihta, ngayomi, anjangkung, lan sapiturute).
Demikian masalah-masalah keyakinan Hidup Tumimbal / manitis atau Reinkaransi.
Garis
besar dari Hidup Tumimbal ini atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa dan
berdasarkan tempat kediaman Suksma pribadi manusia itu di Alam Halus (
di Alam Antara atau di Alam Akhir). Sedangkan tempat/ kediaman Suksma di
Alam Halus ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan “HUKUM KARMA” (Jw. : Hukum Ngundhuh Wohing Makarti ) sewaktu manusia itu hidup di Dunia Wadag sebelumnya.
Selain
keterangan di atas perlu juga dimengerti, bahwa tiap tumimbal atau
manitis pada suatu makhluk (benda mati, tumbuh-tumbuhan, binatang, Jin,
Setan, dan manusia) ini semua ada tingkat-tingkatan tertentu, yaitu
tingkatan rendah, tingkatan menengah dan tingkatan tinggi ( Jw. :
golongan asor, golongan madya, Ian golongan luhur).
Perlu
diingat bahwa penghayatan masalah batin atau Kasuksman ini, hendaknya
dengan menyaksikan dan sampai sempurna ( Jw. bontos ); artinya tidak
akan percaya dan puas dalam dongengan melulu. Bila demikian Ilmu itu
hanya menjadi pengertian yang tidak mengerti kenyataan.
Masalah
Hidup Tumimbal haruslah disaksikan setiap pribadi, karena manitis ini
luhur atau rendah pada umat manusia atau makhluk yang lain menyangkut
pribadi masing-masing untuk seterus-terusnya.
Hidup
Tumimbal/Manitis, hanya dibicarakan kepada para kadang yang sepaham
disertai niat yang suci, bukan atau tidak untuk pertengkaran; dan harus
mempergunakan kata-kata yang halus bernada rendah namun mengesankan.
Selain itu ajaran manitis bukan bermaksud untuk menakut-nakuti dan juga
tidak untuk mempengaruhi keinginan orang lain.
Jelasnya,
terbatas kepada orang-orang yang telah “katam” Ilmu Batinnya dengan
jelas dan untuk yang benar-benar berminat meyakininya.
BAB VIII
JAGAD PRIBADI MANUSIA DAN
JAGADTUHAN YANG MAHA ESA
(Jw. : JAGAD CILIK DAN JAGAD GEDE)
A. JAGAD TUHAN YANG MAHA ESA (Jw. : JAGAD GEDE)
1. Yang
dimaksud dengan JAGAD TUHAN YANG MAHA ESA adalah Tuhan beserta Alam
dengan segala isinya, Alam Kewadagan (Dunia Wadag) dengan segala macam
isinya, Alam Halus (yang terdiri dari Alam Antara dan Alam Akhir) dengan
semua isinya pula, yang dapat dilihat atau yang tidak dapat terlihat,
yang dapat dirasa oleh indera lahir maupun yang hanya dapat dirasa oleh
indera batin. Ini semua termasuk Jagad Tuhan Yang Maha Esa.
2. JAGAD PRIBADI MANUSIA (Jw. : Jagad Cilik ), adaah merupakan “bagian” dan Jagad Tuhan Yang Maha Esa (Jagad Gede), dipengaruhi serta dikuasai, bahkan terciptanya (asalnya) dan Jagad Tuhan Yang Maha Esa.
Jadi dengan demikian Jagad Pribadi Manusia, dengan Jagad Tuhan Yang Maha Esa, selalu berpengaruh satu dengan yang lain, saling mendapatkan manfaat, saling berhubungan, berkesinambungan dan tidak dapat terpisahkan satu dengan lain serta dengan semua isinya.
Jadi dengan demikian Jagad Pribadi Manusia, dengan Jagad Tuhan Yang Maha Esa, selalu berpengaruh satu dengan yang lain, saling mendapatkan manfaat, saling berhubungan, berkesinambungan dan tidak dapat terpisahkan satu dengan lain serta dengan semua isinya.
3. Jagad Tuhan Yang Maha Esa / Jagad Gede berujud:
1) Jagad Wadag (Jw. : Alam nDonya).
2) Jagad Halus ( hanya dapat disaksikan dengan indera batin).
Jagad Halus ini terjadi dari :
a) Alam Antara / Alam Natsu
b) Alam Akhir / Alam Akherat
c) Jelasnya, Jagad Tuhan Yang Maha Esa atau Jagad Gede berujud tiga ( 3 ) Alam besar, yaitu:
(1) Alam nDonya/Jagad Wadag
(2) Alam Antara
(3) Alam Akhir
4. Jagad Pribadi Manusia / Jagad Cilik terjadi dari :
1) Badan Wadag ( Badan Jasmani atau Raga)
2) Badan Haus ( Badan Rochani )
3) Dalam penghayatan batin Badan Halus berujud dua (2), yakni :
a) Suksm a
b) Nyawa
c) Jelasnya, Jagad Pribadi Manusia atau Jagad Cilik terdiri dan tiga ( 3 ) Dzat, yaitu :
(1) Raga / Badan Jasmani
(2) Nyawa
(3) Suksmna
5. Alam nDonya / Jagad Wadag (Dunia Wadag).
Dunia
Wadag, segala sesuatu bersifat wadag dapat disaksikan dengan indera
Iahir ( dilihat, diraba, didengar, dibau, dirasa, dan sebagainya .
Meskipun ada sifat wadag yang hanya dapat dinyatakan dengan alat atau
perkakas, namun ini juga termasuk barang bersifat wadag, dapat rusak,
dapat hilang, dapat lebur, dan musnah. Perlu diketahui bahwa di Alam
Dunia Wadag ini menjadi tempat bersenyawa dan berpisahnya Raga,
Nyawa dan Suksma. Di Dunia Wadag ini tempat timbulnya umat Tuhan Yang
Maha Esa yang dititahkan untuk membuat ketenteraman, keselamatan,
kedamaian bagi semua urnat manusia.
Titah
tersebut berujud manusia biasa hanya perbedaannya mempunyai Suksma yang
agung (Jw. : linuwih, pinunjul) dan ini hanya dapat disakskan dalam
penghayatan batin (dengan Suksma kita) yang diserta dengan memohon
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta dengan kepnhatinan, berlaku suci dan
jujur.
6. Alam Antara
Alam Antara juga disebut ALAM KUBUR, juga dikatakan ALAM NAFSU. Ini merupakan Alam Halus menjadi antara (tengah) Alam Dunia dan Alam Akhir. Alam Antara ini menjadi tempat berkumpul dan berpisahnya Nyawa dan Suksma. Sifat dan Alam
Antara adalah kekal, tidak berubah dan tidak rusak (Jw. langgeng). Maka juga disebut dengan ALAM KELANGGENGAN”.
Alam Antara ini tidak dapat disaksikan dengan indera lahir hanya dapat disaksikan dengan penghayatan
batin (dengan Suksma kita). Dengan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa
menggunakan Suksma kita, bila dikabulkan, maka akan bertemu segala
sesuatu yang kita mohon.
Misalnya :
Cahaya
Tuhan, Sang Guru Sejati, Suksma orang-orang yang telah meninggal,
keadaan semua Alam Halus dan sebagainya. Di Alam Antara ( Alam Nafsu )
ini tempat bersemayam berpisah dan berkumpulnya Sang Juru Selamat dengan
Sang Pengrusak ( induk dan segala Nafsu ) dan abadi untuk
selama-Iamanya (Jw. Ianggeng ).
7. Alam Akhir
Alam Akhir juga disebut ALAM KESUCIAN, ALAM PERMULAAN, ALAM KASAMPURNAN, dan mungkin ada yang menyebut dengan nama atau istilah lain.
Disebut ALAM KESUCIAN, karena disini tempat Suksma-suksma yang telah suci, juga tempat Hwyang Maha Suci.
Disebut ALAM KESUCIAN, karena disini tempat Suksma-suksma yang telah suci, juga tempat Hwyang Maha Suci.
Dinamakan ALAM PERMULAAN, karena tempat ini Permulaan (Asal) dan Suksma kita atau Hidup kita.
Di katakan ALAM KASAMPURNAN, sebab tempat ini merupakan tempat Suksma-suksma yang telah sempurna (Jw. bali Sangkan Paraning Dumadi ).
Di katakan ALAM KASAMPURNAN, sebab tempat ini merupakan tempat Suksma-suksma yang telah sempurna (Jw. bali Sangkan Paraning Dumadi ).
Sedang disebut; ALAM AKHIR, karena tempat ini merupakan tujuan akhir dan semua Suksma yang manunggal kepada Penciptanya.
Alam Akhir ini mempunyai sifat yang serupa dengan Alam Antara, berujud Alam Halus, kekal abadi selama-Iamanya (Jw. : anggeng). Alam Kasampurnan merupakan Alam yang teratas dan Alam ini dan perlu diingat bahwa untuk menghayati sampai
Alam ini benar-benar tidak mudah, selain berbudi luhur, berlaku suci
dan jujur, keprihatinan tarak brata dan bla perlu tapa brata merupakan persyaratan pokok.
Di Alam ini tempat bersemayam, berpisah dan berkumpulnya Suksma Suci dengan Tuhan Yang Maha Esa.
B. JAGAD PRIBADI MANUSIA (Jw.: JAGAD CILlK)
Di
atas sudah diterangkan, bahwa Jagad Pribadi Manusia atau Jagad Cilik
terdiri atas dua ( 2 ) yaitu Badan Wadag (Badan Jasmani) dan Badan Halus
(Badan Rochani).
1. BADAN WADAG I BADAN JASMANI
Kita semua mempunyai Badan Wadag atau Badan Jasmani (Raga). Badan Jasmani ini bersifat “wadag”, dapat menderita sakit dan dapat mati; akhirnya mati, rusak dan musnah.
Badan Jasmani di Dunia Wadag bersenyawa (uluh), berpisah
dan berkumpul dengan Suksma dan Nyawa. karena Badan Jasmani
dikendalikan oleh kehendak suci dan Suksma yang timbul dan hati nurani,
serta kehendak dan Nyawa (Nafsu) yang timbul dan angan-angan; maka Badan Jasmani / Raga yang nampak di luar mempunyai perbuatan dua (2) macam.
Misalnya : baik - buruk, mulia - nista, jujur - selingkuh,
dan sebagainya.
dan sebagainya.
Bilamana
kita meneliti perbuatan manusia hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa,
ada tiga ( 3 ) perbedaan kegiatan manusia, yaitu sebagai berikut :
1) Manusia yang indera lahir dari indera batinnya lupa, tidak memikirkan masalah Ketuhanan lahir dan batin.
2) Indera Iahirnya ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa, indera batinnya belum ingat.
Golongan merupakan manusia yang kebanyakan sudah melaksanakan Sembah Hwyang Raga.
3) Manusia
yang indera Iahirnya ingat pada Tuhan Yang Maha Esa, indera batinnya
juga selalu ingat kepada Sang Pencipta (Jw. eling lahir lan batin).
Golongan manusia ini selain melaksanakan Sembah Hwyang Raga juga melaksanakan Sembah Hwyang Cipta / Suksma dan Rasa.
2. BADAN HALUS atau BADAN ROCHANI yang disebut NYAWA
Kita ini
mempunyai Badan Halus yang disebut Nyawa atau Nafsu. Nyawa / Nafsu mi
mempunyai sifat: Ianggeng, kekal, dan Nyawa masih dapat menderita sakit
tetapi tidak mati, mempunyai perasaan susah, senang, kecewa, menyesal,
bangga, takut, berani, dan sebagai nya.
Bila Nyawa dan Suksma masih kumpul menjadi satu ujud (Iengket), maka yang merasakan beberapa penderitaan tersebut adalah Suksma kita. Di dalam Alam Nafsu (Alam Antara) telah menjadi ketentuan Tuhan Yang Maha Esa bahwa ditempat ini adalah tempat Suksma dan Nyawa bersenyawa, berkumpul dan berpisah.
Bila Nyawa dan Suksma masih kumpul menjadi satu ujud (Iengket), maka yang merasakan beberapa penderitaan tersebut adalah Suksma kita. Di dalam Alam Nafsu (Alam Antara) telah menjadi ketentuan Tuhan Yang Maha Esa bahwa ditempat ini adalah tempat Suksma dan Nyawa bersenyawa, berkumpul dan berpisah.
Peristiwa
ini tiada berbeda seperti waktu di Dunia Wadag; Suksma dan Nyawa
bersenyawa pada Badan Jasmani, juga berkumpul dan berpisah.
Di Alam Antara ini Suksma dan Nyawa keadaannya menjadi tiga (3) tataran, yakni
1) Suksma dan Nyawa masih Iengket menjadi satu; indera batinnya diam / lupa, bersifat seperti “benda”, tidak dapat mendengar perintah Tuhan Yang Maha Esa (lewat Sang Guru Sejati) dan sesat, menerima siksa Tuhan.
2) Suksma dan Nyawa masih tetap Iengket menjadi satu, Suksma dikuasai Nafsu, Suksma tidak dapat
memisah dan Nafsu karena tidak ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa, disini
(Alam Penasaran) masih makan, minum, bekerja, bersenang-senang, dan
sebagainya.
3) Suksma
dan Nyawa dapat berpisah, karena Suksma ingat kepada Tuhan Yang Maha
Esa, Suksma meninggalkan Nyawa, Suksma menghadap Utusan Tuhan mohon
petunjuk kepentingannya lahir maupun batin.
Sebelum
Suksma berpisah dengan Nyawa / Nafsu, harus selalu ingat (eling)
kekuasaan Tuhan dan selalu hening kepada tujuan atau niatnya. Kehendak
dan bujukan Nafsunya harus dikuasai, jika perlu dikalahkan dalam “perang
tanding”. Bila Nafsunya telah dikalahkan serta telah berujud yang
sebenarnya (Nyawa), Nyawa akan manunggal asaI-mula dan Bibitnya ( bali Asahng Dumadi).
3. BADAN HALUS atau BADAN ROCHANI yang disebut SUKSMA
Badan kita yang berujud halus dan suci bernama SUKSMA (Jw. URIP).
SUKSMA
SUCI artinya Suksma yang sudah bebas dari semua Nafsu, sudah tidak ada
kemauan buruk maupun baik. Suksma Suci bersifat kekal abadi (Jw.
langgeng) tiada derita sakit dan tidak mati. Jelasnya, sudah tidak apa-apa.
Bila kita saksikan di Alam Batin (Alam Kasuksman) Suksma Suci terdapat tiga (3) tataran, dengan kedudukan / kediaman pribadi masing-masing:
1) Suksma
rnenghadap kepada Sang Guru Sejati pada Alam yang berwarna putih ini
dikatakan Suksma yang telah terlaksana idamannya waktu hidup di Dunia
Wadag (Jw. : SUKSMA SEMBADA)
2) Suksma
telah manunggal kepada Cahaya Tuhan pada Alam yang berwarna putih
bersih, atau disebut Suksma telah disisi Tuhan. Suksma ini teah setingkat lebih baik dari pada Suksma Sembada, dan Suksma ini sudah diterima oleh Tuhan Yang Maha
Esa (Jw SUKSMAKATRIMA).
Esa (Jw SUKSMAKATRIMA).
3) Suksma manunggal kepada Tuhan Yang Maha Esa pada Alam yang berwarna putih terang benderang. Suksma ini sudah menjadi satu dengan Hwyang Roch Suci (Sumber dari semua Hidup) kembali Sangkan Paraning Dumadi (Jw. : SUKSMA SAMPURNA)
C. KESIMPULAN JAGAD TUHAN YANG MAHA ESA DAN JAGAD PRIBADI MAN USIA (Jagad Gede Ian Jagad Cilik)
Di muka telah dijelaskan Jagad Tuhan Yang Maha Esa (Jagad Gede ) dan Jagad Pribadi Manusia (Jagad Cilik).
1. Jagad Tuhan Yang Maha Esa (Jaad Gede), berujud :
1) Alam Dunia Wadag / Alam nDonya
2) Alam Antara
3) Alam Akhir serta semua isinya
2. Jagad Pribadi Manusia (Jagad Cilik), berujud :
1) Raga / Badan Wadag (Badan Jasmani)
2) Nyawa (kumpulan ujud nyata dari semua Nafsu)
3) Suksma Suci (Suksma yang telah bersih dan NafsuNafsunya)
Di dalam penjelasan masalah Alam dengan isinya, yang dijelaskan hanya khusus mengenai “manusia”, makhluk yang lain tidak dijelaskan karena dianggap kurang penting, biarlah para Penghayat yang ingin mengetahui, menghayati sendiri dengan mata batinnya.
Umat
manusia yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa apa lagi ingin meyakini
seyakin-yakinnya sangat berkepentingan tentang penghayatan ini, karena
baik disadari atau tidak disadari, cepat atau lambat tentu akan
mengalami hal-ichwal tersebut di atas. (ngesthikasampurnan)
Comments