Pernyataan Pers: Menguji Konstitusionalitas Pengosongan Kolom Agama Bagi Penghayat/Penganut Kepercayaan
Jakarta, 28/09 – Empat warga Negara yang merupakan penganut kepercayaan atau penghayat hari ini mendaftarkan Pengujian Pasal 61 ayat (1) jo. ayat (2) dan Pasal 64 ayat (1) jo. ayat (5) UU Administrasi Kependudukan ke Mahkamah Konstitusi, melalui Kuasa Hukumnya dari Tim Pembela Kewarganegaraan, dengan tanda terima No. 1622/PAN.MK/IX/2016.
Penganut kepercayaan dan penghayat telah mengalami diskriminasi dari Negara. Berdasarkan UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan jo UU No. 23/ 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk), kolom agama di Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik para penganut kepercayaan dan penghayat dikosongkan. Ini berbeda dengan para penganut agama-agama mayoritas di Indonesia.
Pembedaan perlakuan ini telah melahirkan pelanggaran-pelanggaran lanjutan terhadap hak-hak asasi manusia para penganut kepercayaan dan penghayat. Diantaranya adalah: penganut Sapto Darmo di Brebes, tak bisa memakamkan keluarganya di pemakaman umum, karena tak tertulis agama di KTP elektroniknya; perkawinan penganut kepercayaan Marapu di Sumba, tak dicatat Negara, dan anak-anak keturunannya pun tak memiliki akta kelahiran. Bahkan anak-anaknya harus memiliki surat baptis terlebih dahulu untuk bisa mengenyam pendidikan; di Sumatera Utara, kelompok Parmalim dan Ugamo Bangso Batak bahkan kesulitan untuk melamar pekerjaan, karena tidak tercantumnya agama mereka di KTP elektronik.
Pasal-pasal dalam UU Adminduk tersebut telah melanggar prinsip kepastian hukum; kesamaan warga Negara di hadapan hukum; dan bebas dari tindakan diskriminasi yang dijamin UUD 1945, UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia; Kovenan Hak Sipil Politik, serta instrumen Internasional lainnya. Asas hukum perlakuan yang sama di hadapan hukum (persamaan di hadapan hukum) berarti menempatkan setiap warga negara mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dengan asas ini, seyogianya tidak terjadi suatu perbedaan perlakuan/diskriminasi terhadap warga negara.
Selain itu, administrasi kependudukan merupakan bagian dari pelayanan publik yang menjadi hak yang melekat bagi setiap warga negara. Administrasi kependudukan dimaknai oleh undang-undang ini sebagai rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitandokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain. Selanjutnya Pasal 2 UU Administrasi Kependudukan menyatakan dokumen kependudukan dan data kependudukan merupakan hak setiap penduduk.
Dalam praktiknya di lapangan aparat birokrasi seringkali menerapkan bentuk pelayanan yang berbeda-beda terhadap warga negara yang berdasarkan pada agama atau keyakinan mereka. Di beberapa daerah, para penganut penghayat kepercayaan mengurus KTP dan KK, oleh sebagian petugas Catatan Sipil dan Kependudukan sering dipaksa untuk mengisi kolom agama dengan salah satu dari enam (6) agama yakni Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha atau Konghucu.
Dengan menguji konstitusionalitas Pasal 61 ayat (1) jo. ayat (2) dan Pasal 64 ayat (1) jo. ayat (5) UU Administrasi Kependudukan ke Mahkamah Konstitusi, kami UU Adminduk ke Mahkamah Konstitusi, Tim Pembela Kewarganegaraan berharap Negara dapat kembalimemberikan perlindungan dan pengakuan terhadap status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia, dengan tetap dapat mencantumkan agama kepercayaan dalam berbagai identitas warga Negara, sehingga pelayanan kependudukan pun dapat terpenuhi.
Tim Pembela Kewarganegaraan
Jalan Siaga II, No. 31, Pejaten Barat, Ps. Minggu
http://www.satukeadilan.org/pernyataan-pers-menguji-konstitusionalitas-pengosongan-kolom-agama-bagi-penghayat-penganut-kepercayaan.html
Comments