Skip to main content

PAGUYUBAN KEJAWEN HARDOPUSORO

 
 
 
 
 
 
20 Votes

Paguyuban ilmu mistik kebatinan berlatar belakang budaya dan filsafat Jawa (Kejawen) ini tergolong tua usianya. Paguyuban ini banyak melahirkan kaum waskita dan paling berpengaruh pada masa akhir Kolonialisme di Indonesia.
Lebih mudah menelusuri aliran kebatinan dari riwayat hidup para pendirinya. Sebab dari para pendiri paguyuban, kita bisa mengetahui apa dan bagaimana awalnya mereka mendapatkan WAHYU (saya menggunakan pendekatan internal dengan menggunakan bahasa kalangan kebatinan. Dalam khasanah agama Islam, Wahyu hanya diturunkan kepada para Nabi, sedangkan sesuatu yang turun kepada manusia biasa yang khusus diberikan oleh Tuhan karena sebab-sebab tertentu biasa disebut dengan Ilham atau intuisi yang sangat jelas dari Tuhan. wongalus). Dan dari turunnya WAHYU kepada seseorang tokoh pendiri kebatinan itulah, kita bisa mengetahui latarbelakang sosiologis dan filosofisnya.
HARDOPUSORO didirikan oleh KUSUMOWIDJITRO. Siapa Kusumowidjitro? Dia adalah salah seorang Kepala Desa di daerah Purworejo, Jawa Tengah. Purworejo adalah kota arah barat yang berbatasan dengan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kisahnya, pada tahun 1880 Kusumowidjitro tidak tahan dengan perlakuan kolonial yang menindas rakyat. Ia tinggalkan jabatannya dan pergi meninggalkan desanya karena melaksanakan aksi menolak membayar pajak.
Selama berpuluh-puluh tahun, dia mengembara ke berbagai hutan di Jawa Timur. Pengembaraan dihabiskan untuk berpuasa dan bertapa di dalam belantara yang penuh tantangan. Tidak ada guru spiritual khusus yang dipercayai menuntun perjalanan spiritualnya. Pada suatu hari, WAHYU turun setelah dia mencapai situasi PASRAH TOTAL pada Tuhan. Wahyu juga berbunyi agar dia menyebarkan kebaikan sekaligus ajaran-ajaran kebaikan kepada sesama manusia.
Hadirnya wahyu yang merupakan DAWUH dari GUSTI KANG AKARYO JAGAD ini jelas merupakan hal menandai berakhirnya satu era perjalanan spiritual untuk memasuki era baru yang lebih kompleks. Kusumowidjitro merasa itulah saat dia hidup kembali sebagai manusia yang sesungguhnya dititahkan mengemban tugas mulia: sebagai hamba-Nya. Dan dia pun mulai muncul di berbagai kota.
Pada tahun 1907, dia sudah diikuti oleh banyak pengikut di Banyuwangi. Namun sayangnya di tahun itu pula dia diusir oleh Pemerintah Kolonial Belanda karena khawatir melihat tanda-tanda gerakan kebatinan ini berbahaya dan bisa merongrong kewibawaan pemerintah kolonial. Untuk sementara waktu Kusumowidjitro mengasingkan diri ke hutan di wilayah pegunungan antara Malang, Blitar dan Kediri. Kharisma dan aura spiritual Kusumowidjitro tetap berbinar sehingga dia mendapatkan pengikut di era pengasingan diri ini.
Pada tahun 1913, Kusumowidjitro tercatat sudah muncul lagi di berbagai kesempatan. Salah satunya adalah hadir dalam forum paguyuban Masyarakat Teosofi –salah satu aliran kebatinan juga— dan dia berkhutbah di sana tentang praktik spiritual yang dijalaninya.
Hampir semua bagian ajarannya diakui masih misterius dan cukup sulit untuk dipaparkan. Sumber-sumber di paguyuban ini enggan memberikan keterangan. Bisa jadi ini dikarenakan sikap waspada para penganut paguyuban HARDOPUSORO karena saat itu pengawasan Belanda terhadap berbagai penganut aliran kepercayaan semakin ketat.
Penganut aliran kebatinan yang ada di paguyuban HARDOPUSORO melakukan kegiatan spiritual secara sembunyi-sembunyi dan menutupi aktivitas spiritual mereka dengan dalih acara SLAMETAN. Secara internal, ajarannya termasuk sulit sebagaimana paguyubannya yang tidak mudah dijumpai. Ajaran spiritual (wiridan) HARDOPUSORO pun dilarang untuk diamalkan bagi yang belum menjadi anggota. Segala pertanyaan menyangkut paguyuban ini juga dilarang untuk dijawab.
Biasanya Kusumowidjitro menyampaikan ajaran-ajaran mistik kebatinan pada tengah malam dengan memakai jubah putih. Pada setiap pertemuan, biasanya dilaksanakan tujuh tingkatan inisiasi atau pembaiatan. Setelah merampungkan pembacaan masing-masing jenjang wiridan tadi, hanya para anggota yang telah dibaiat pada level itu yang diijinkan keluar. Dalam satu sesi, hanya mereka yang telah menerima tujuh kali baiatan yang diijinkan tetap di tempat sampai akhir acara. Kemajuan melalui tingkat baiatan tergantung pada hafalan wirid dan pengamalan beberapa teknik tertentu yang berhubungan dengan tiap level.
Ajaran mistik HARDOPUSORO memang rumit. Dipenuhi dengan paradoks, dijejali dengan simbol-simbol dan mengatasi segala macam tataran akal. Berbagai macam teknik pada masing-masing baiatan itu diarahkan untuk membangkitkan kesaktian yang bersemayam di dalam tubuh.
TEKNIK UTAMA PEMBANGKITAN KESAKTIAN dilalui dengan cara KUNGKUM atau semedi dengan mengucap mantra, sambil duduk merendam diri sampai leher di sumber air yang dianggap memiliki daya keramat atau pertemuan antara dua aliran sungai yang oleh masyarakat biasa disebut dengan “tempuran”.
Pelahan-lahan latihan yang keras itu mengendur hingga akhirnya hanya cukup dengan SEMEDI atau MEDITASI dengan KAKI YANG DICELUPKAN DI DALAM SEMANGKUK AIR saja. Meskipun kekuatan magis atau KASEKTEN merupakan elemen pencapaian pada setiap jenjang baiatan, sesungguhnya TUJUAN AKHIR PERJALANAN SPIRITUAL PAGUYUBAN HARDOPUSORO adalah MELEBURNYA ANASIR FISIK DAN JIWA dari DIRI atau yang dikenal dengan MOKSA alias SUWUNG
Belum diketahui secara pasti, apakah paguyuban aliran kebatinan HARDOPUSORO ini masih ada di negeri kita atau tidak. Semoga masih ada sehingga kita tidak kepaten obor eksistensi saudara-saudara kita yang gigih berjuang untuk menemukan DIRI SEJATI ini.

Comments

Popular posts from this blog

Belajar dari Wirid Wirayat Jati Ronggowarsito

Banyak orang yang tidak tahu apa sih ilmu sejati itu? Banyak para salik yang mencari suluk untuk mendapatkan ilmu sejati yakni ilmu kasampurnan (kesempurnaan) hidup. Tidak ada salahnya jika kita belajar ilmu kasampurnaan hidup itu dari Raden Ngabehi Ronggowarsito dari Serat Wirid Wirayat Jati yang ditulisnya. Bagaimana ilmu kasampurnan itu? Anênggih punika pituduh ingkang sanyata, anggêlarakên dunung lan pangkating kawruh kasampurnan, winiwih saking pamêjangipun para wicaksana ing Nungsa Jawi, karsa ambuka pitêdah kasajatining kawruh kasampurnan, tutuladhan saking Kitab Tasawuf, panggêlaring wêjangan wau thukul saking kawêningan raosing panggalih, inggih cipta sasmitaning Pangeran, rinilan ambuka wêdharing pangandikaning Pangeran dhatêng Nabi. Musa, Kalamolah, ingkang suraosipun makatên: Ing sabênêr-bênêre manungsa iku kanyatahaning Pangeran, lan Pangeran iku mung sawiji. (Inilah sebuah petunjuk benar yang menjelaskan ilmu sirr kesempurnaan hidup, yang berakar dari

PRIMBON JAWA LENGKAP

Sistim Penanggalan Jawa Sistim Penanggalan Jawa lebih lengkap dan komprehensif apabila dibandingkan dengan sistim penanggalan lainnya, lengkap dan komprehensifnya adalah suatu pembuktian bahwa ketelitian Jawa dalam mengamati kondisi dan pengaruh seluruh alam semesta terhadap planet bumi seisinya termasuk pengaruh kepada pranatan kehidupan manusia, dapat disampaikan antara lain adanya rumusan tata penanggalan jawa sebagai berikut : 1. Pancawara – Pasaran; Perhitungan hari dengan siklus 5 harian : 1. Kliwon/ Kasih 2. Legi / Manis 3. Pahing / Jenar 4. Pon / Palguna 5. Wage / Kresna/ Langking 2. Sadwara – Paringkelan, Perhitungan hari dengan siklus 6 harian 1. Tungle / Daun 2. Aryang / Manusia 3. Wurukung/ Hewan 4. Paningron / Mina/Ikan 5. Uwas / Peksi/Burung 6. Mawulu / Taru/Benih. 3. Saptawara – Padinan, Perhitungan hari dengan siklus 7 harian : 1. Minggu / Radite 2. Senen / Soma 3. Selasa / Anggara 4. Rebo / Budha 5. Kemis / Respati 6. Jemuwah / Sukra 7. Setu / Tumpak/Sa

Agama asli jawa Indonesia

HONG WILAHENG NGIGENO MESTUTI, LUPUTO SARIK LAWAN SANDI, LUPUTO DENDANING TAWANG TOWANG, DJAGAD DEWO BATORO HJANG DJAGAD PRAMUDITO BUWONO LANGGENG AGOMO BUDDODJAWI-WISNU hing TANAH DJOWO ( INDONESIA ) ---oooOooo--- Lambang Cokro Umbul - Umbul Klaras            Wiwitipun ngadeg Agami Buddodjawi-Wisnu wonten ing Suroboyo, nudju dinten Tumpak cemengan (Saptu Wage), tanggal kaping 11 Palguno 1856. (Djumadilawal) utawi tanggal 25 November 1925 mongso kanem, windu sengsoro, Tinengeran condro sangkolo. Ojaging Pandowo Angesti Buddo 1856. Utawi tahun Ismoyo 8756.            Tujuan Agami Buddodjawi-Wisnu anenangi soho angemuti dumateng Agami soho Kabudayan kita ing Indonesia ingkang asli soho murni, kados dene wontenipun negari Modjopait sapanginggil sederengipun wonten Agami penjajahan. Agami Buddodjawi-wisnu puniko mengku punjering Kabudayan Nasional ingkang asli soho murni ing Indonesia. Dene Punjering Kabudayan wau ingkan ngawontenaken adat t