Skip to main content

Mendesak, Kurikulum Pendidikan Penghayat Kepercayaan

Rosa (kanan) dan Billy (kiri), keduanya penganut Aliran Kepercayaan Maneges Kabupaten Tegal.
Rosa (kanan) dan Billy (kiri), keduanya penganut Aliran Kepercayaan Maneges Kabupaten Tegal.
[Semarang –elsaonline.com] Ketua Penganut Penghayat Kepercayaan Maneges Kabupaten Tegal, Rosa Mulya Aji mengungkapkan, pemerintahan Jokowi-JK, diharapkan lebih perhatian kepada nasib penghayat. Salah satunya untuk membuat aturan kurikulum pendidikan bagi penghayat kepercayaan.
Selama ini, keturunan penganut penghayat kepercayaan tidak mendapat pendidikan sesuai yang diyakininya di sekolah negeri. Hal itu terjadi, karena pendidikan bagi anak-anak keturunan penghayat kepercayaan tidak ada payung hukumnya.
“Ini (aturan kurikulum pendidikan pendidikan penghayat-red) sangat mendesak untuk dibuat. Selama ini anak-anak kami di sekolah mendapat pelajaran agamanya, ya agam resmi. Bukan ajaran tentang kepenghayatan,” paparnya, disela training paralegal, Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA), di Hotel Puri Garden Semarang, Sabtu (4/10/2014).
Sebagai informasi, pendidikan agama di sekolah diatur dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003. Namuan dalam pasal 12 (1) hanya menyatakan “bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
“Namun pasal itu hanya mengatur soal hak pendidikan anak-anak yang beragama. Seharusnya dalam pasal itu harus ditambahkan, “pendidikan untuk penghayat harus diajarkan oleh guru penghayat juga. Karena buktinya, anak kami sekarang di didik oleh guru agama,” sambungnya.
Rosa memohon kepada pemerintah (presiden-red) supaya lebih memperhatikan kepercayaan asli nusantara. Bukan agama-agama impor dari luar negeri yang sekarang justru diakui negara. Dalam kondisi apa pun, katanya, hak pendidikan sangat mendesak dan harus diberikan oleh negara.
“Seandainya kita (penghayat-red) hanya ada satu orang, tapi karena pendididikan itu hak, maka harus dituntut. Ibu (narasumber, Asfinawati-red) dimana pun berada kami mohon suarakan isi hati kami. Selama ini kami adalah korban cercaan dan hinaan di sekolah karena kurikulum pendidikan tidak ada di sekolah,” tandasnya.
Pria kelahiran Kabupaten Tegal ini meminta, untuk sementara anak-anaknya di sekolah tidak masalah mengikuti pelajaran agama. Namun, tegasnya, saat pelajaran praktik ibadah tidak perlu diikutkan. Karena, anggapnya, itu sudah melakukan ritual kegamaa.
“Kalau untuk sementara, jika hanya sebatas menerima mata pelajaran tidak masalah. Namun jika sudah pelajaran praktik kami tidak terima, karena anak kami melakukan praktik ibadah bukan keyakinan kami. Atas itu, kita tuntut hak pendidikan khusus bagi penghayat,” pintanya.
Menurutnya, persoalan ini penting supaya siswa-siswa penghayat di sekolah difasilitasi untuk belajar tentang kepenghayatan. Dia sadar jika solusi yang diberikan kepala sekolah bukan menyelesaikan masalah. Namun hanya bersifat sementara karena belum ada payung hukumnya.
“Jika tidak ada kebijakan dari pemerintah, ini hanya akan mengubur sebuah masalah, bukan menyelesaikan masalah secara tuntas. Artinya, kalau hanya kebijakan dari kepala sekolah itu hanya bersifat sementara, itu pun jika kepala sekolah menerima usulan kami, sebagai penghayat,” ucapnya.
Penguatan Mental
Penghayat lainnya dari penganut Jawa Jawata, Asworo Palguno mengungkapkan hal yang sama. Dia bercerita, ketika mendaftarkan anak ke sekolah kemudian agamanya dikosongkan. Mula-mual dari itu, kemudian anaknya banyak mendapat pertanyaan dari teman sekelasnya maupun gurunya mengenai kepercayaannya.
“Karena dikosongkan, kemudian saya dipanggil kenapa anaka saya tidak memilih salah satu agama. Kemudian saya jawab, kalau soal agama atau keyakinan saya serahkan kepada anak karena itu hak. Namun sebetulnya yang menjadi beban itu pada anak kami,” terangnya.
Tampaknya kejadian yang dialami anak M Rosa di sekolah berupa ejekan dan celaan juga dialami oleh anak dari Asworo Palguno. Dari kejadian itu, kemudian orang tua para penghayat sadar sadar butuh adanya penguatan mental yang lebih bagi keturunan penghayat.
”Karena kejadian itu, saya kuatkan mental anak saya sebagai penghayat. Saya menganjurkan supaya perilaku anak saya lebih baik dibanding dengan anak-anak lain yang beragama. Karena jika anak kita berprestasi kemudian tidak akan di diskriminasi. Intinya menguatkan mental,” tukasnya.
Solusinya sementara yang dipakai Asworo Palguno di Pekalongan rupanya mirip dengan Penghayat Ngesti Kasampurnaan di Magelang. Salah satu penganut Ngesti Kasampurnaan Magelang Heri Mujiono mengatakan, supaya tidak minder di sekolah, cara yang dipakai adalah menguatkan mental.
”Cara menguatkan anaknya di sekolah kemudian selalu membawa buku ajarannya. Karena ketika ditanya atau mendapat ejekan, kemudian dikasihkan aja bukunya supaya mereka memahami. Jika sudah memahami ya harapannya tidak ada lagi yang menimpa anak-anak kita,” tandasnya. [elsa-ol/Ceprudin-@ceprudin]
 http://elsaonline.com/?p=3812

Comments

Popular posts from this blog

Belajar dari Wirid Wirayat Jati Ronggowarsito

Banyak orang yang tidak tahu apa sih ilmu sejati itu? Banyak para salik yang mencari suluk untuk mendapatkan ilmu sejati yakni ilmu kasampurnan (kesempurnaan) hidup. Tidak ada salahnya jika kita belajar ilmu kasampurnaan hidup itu dari Raden Ngabehi Ronggowarsito dari Serat Wirid Wirayat Jati yang ditulisnya. Bagaimana ilmu kasampurnan itu? Anênggih punika pituduh ingkang sanyata, anggêlarakên dunung lan pangkating kawruh kasampurnan, winiwih saking pamêjangipun para wicaksana ing Nungsa Jawi, karsa ambuka pitêdah kasajatining kawruh kasampurnan, tutuladhan saking Kitab Tasawuf, panggêlaring wêjangan wau thukul saking kawêningan raosing panggalih, inggih cipta sasmitaning Pangeran, rinilan ambuka wêdharing pangandikaning Pangeran dhatêng Nabi. Musa, Kalamolah, ingkang suraosipun makatên: Ing sabênêr-bênêre manungsa iku kanyatahaning Pangeran, lan Pangeran iku mung sawiji. (Inilah sebuah petunjuk benar yang menjelaskan ilmu sirr kesempurnaan hidup, yang berakar dari

PRIMBON JAWA LENGKAP

Sistim Penanggalan Jawa Sistim Penanggalan Jawa lebih lengkap dan komprehensif apabila dibandingkan dengan sistim penanggalan lainnya, lengkap dan komprehensifnya adalah suatu pembuktian bahwa ketelitian Jawa dalam mengamati kondisi dan pengaruh seluruh alam semesta terhadap planet bumi seisinya termasuk pengaruh kepada pranatan kehidupan manusia, dapat disampaikan antara lain adanya rumusan tata penanggalan jawa sebagai berikut : 1. Pancawara – Pasaran; Perhitungan hari dengan siklus 5 harian : 1. Kliwon/ Kasih 2. Legi / Manis 3. Pahing / Jenar 4. Pon / Palguna 5. Wage / Kresna/ Langking 2. Sadwara – Paringkelan, Perhitungan hari dengan siklus 6 harian 1. Tungle / Daun 2. Aryang / Manusia 3. Wurukung/ Hewan 4. Paningron / Mina/Ikan 5. Uwas / Peksi/Burung 6. Mawulu / Taru/Benih. 3. Saptawara – Padinan, Perhitungan hari dengan siklus 7 harian : 1. Minggu / Radite 2. Senen / Soma 3. Selasa / Anggara 4. Rebo / Budha 5. Kemis / Respati 6. Jemuwah / Sukra 7. Setu / Tumpak/Sa

Agama asli jawa Indonesia

HONG WILAHENG NGIGENO MESTUTI, LUPUTO SARIK LAWAN SANDI, LUPUTO DENDANING TAWANG TOWANG, DJAGAD DEWO BATORO HJANG DJAGAD PRAMUDITO BUWONO LANGGENG AGOMO BUDDODJAWI-WISNU hing TANAH DJOWO ( INDONESIA ) ---oooOooo--- Lambang Cokro Umbul - Umbul Klaras            Wiwitipun ngadeg Agami Buddodjawi-Wisnu wonten ing Suroboyo, nudju dinten Tumpak cemengan (Saptu Wage), tanggal kaping 11 Palguno 1856. (Djumadilawal) utawi tanggal 25 November 1925 mongso kanem, windu sengsoro, Tinengeran condro sangkolo. Ojaging Pandowo Angesti Buddo 1856. Utawi tahun Ismoyo 8756.            Tujuan Agami Buddodjawi-Wisnu anenangi soho angemuti dumateng Agami soho Kabudayan kita ing Indonesia ingkang asli soho murni, kados dene wontenipun negari Modjopait sapanginggil sederengipun wonten Agami penjajahan. Agami Buddodjawi-wisnu puniko mengku punjering Kabudayan Nasional ingkang asli soho murni ing Indonesia. Dene Punjering Kabudayan wau ingkan ngawontenaken adat t