Oleh: Dr. Roibin, MHI
A. Pendahuluan
Mengamati
secara cermat asal-usul kepercayaan Jawa tidaklah sesederhana yang kita
bayangkan. Kepercayaan Jawa yang banyak bersentuhan dengan mistik itu,[1]
dalam realitasnya banyak menyimpan misteri yang sangat kompleks.
Kompleksitas kepercayaan komunitas kejawen tidak jarang menampakkan
berbagai sekte dan tradisi kehidupan dalam masyarakat Jawa. Sekte-sekte
dan tradisi kehidupan itu sebagai bentuk manifestasi dari religiusitas masing-masing wilayah kejawen.
Lebih
menarik lagi, hampir setiap wilayah kejawen memiliki pedoman khusus
khas Jawa, memiliki kosmogoni (asal-usul) kepercayaan dan mitos yang
berbeda-beda serta unik.
B. Cina, Islam Cina dan Religi Jawa Kuna
Tidak
sedikit para ilmuwan antropologi yang berbeda perspektif dalam melihat
kosmogoni kepercayaan kejawen ini. Sebagian ilmuwan mengatakan bahwa
kosmogoni kepercayaan Jawa diwarnai oleh kebudayaan Cina.[2]
Pandangan ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa berita mengenai
Cina di kepulauan Indonesia dapat dianggap sebagai sumber ke tujuh dalam
sejarah politik Jawa pada abad ke-15 dan 16. Dalam catatan Narendra
Agung dikatakan bahwa Cina ternyata sangat penting bagi pembentukan
corak kepercayaan Islam di masyarakat Jawa. Demikian juga dalam catatan
sejarah dari pusat-pusat perdagangan Cina di Jawa, menunjukkan bahwa
telah ada orang Cina Muslim yang tinggal di Jawa.[3]
Alasan
di atas diperkuat oleh bukti historis bahwa pada saat Khubilai Khan
berkuasa jauh sebelum abad ke-15 dan ke-16 M, yaitu pada tahun 1275 M,
ia memberi kebebasan dan kepercayaan kepada orang-orang Islam dari
Turkistan di Asia Tengah untuk keluar masuk negeri Cina. Orang-orang
Turkistan Muslim itu selain beroleh kedudukan yang cukup baik, juga ada
yang menduduki jabatan menteri di istana kaisar. Oleh karena itu
orang-orang Turkistan dari Balkh, Bukhara dan Samarkand mulai
melancarkan pengislaman terhadap orang-orang Mongol dan Cina serta
orang-orang di wilayah kekuasaan Khubilai Khan. Pada saat itu sekalipun
pengislaman di Cina hasilnya tidak seperti di Persia, India dan
Turkistan, namun boleh dikatakan orang-orang Cina banyak yang masuk
Islam. [4] Dari data di atas, tidak menutup kemungkinan bahwa Cina yang datang ke Jawa, baik atas
dasar kepentingan perdagangan maupun politik dimungkinkan membawa
tradisi dan kebudayaan Islam, selain juga tradisi dan kebudayaan khas
mereka sendiri.
Pandangan lain yang agak senada juga diungkapkan oleh J.H. Kern asal Belanda.[5]Menurutnya
orang Jawa dianggap dari keturunan orang-orang Melayu yang berasal dari
Cina. Kurang lebih tiga ribu tahun sebelum Masehi menurut pandangan
Kern telah terjadi gelombang pertama imigran Melayu yang berasal dari
Cina yang membanjiri Asia Tenggara, yang disusul kemudian dengan
gelombang kedua, kurang lebih dua ribu tahun lamanya. Pengaruh imigran
Melayu Cina ini, bagi masyarakat Jawa tidaklah kecil, melainkan kultur
Cina baik yang sudah bersentuhan dengan kebudayaan Islam sebagaimana
yang terjadi pada masa kekuasaan Khubilai Khan, maupun yang belum
berinteraksi dengan Islam, betapapun telah banyak mempengaruhi karakter
asli kebudayaan Jawa.
C. Akulturasi Islam Campa, Hindu Campa dan Agama Jawa Kuna
Selain pengaruh kepercayaan dan kebudayaan Cina, kepercayaan Campa[6]
juga tidak kalah pentingnya untuk mewarnai kepercayaan Jawa. Proses
Islamisasi penyebaran Islam di Surabaya dan Gresik ternyata juga
dilakukan oleh para penyebar Islam asal Campa.[7].
Sekitar
tahun 1446-1471 M telah terjadi pengungsian besar-besaran penduduk
Campa ke Nusantara, utamanya di Pulau Jawa. Alasan pengungsian tersebut
dikarenakan bangsa Campa diduduki oleh bangsa Vietnam. Tanpa disadari
proses pengungsian tersebut telah terjadi proses asimilasi, kolaborasi
dan akulturasi budaya maupun kepercayaan antara Bangsa Campa dan Jawa.
Bangsa Campa sendiri adalah bangsa yang tinggal di kawasan pesisir
Vietnam mulai dari daerah Bien Hoe di utara Saigon sampai ke Porte di
Selatan Hanoi serta sebagian lagi tersebar ke Kampuchea. Bangsa Campa
sudah dikenal eksistensinya sejak akhir abad ke-2 Masehi. Raja-raja Cina
dari Dinasti Tsin telah melihat bahwa ada gerakan-gerakan mereka di
selatan meski belum dikenali identitasnya. Pada abad ke-2 M inilah
wilayah kekaisaran Cina sering diserbu oleh komunitas Barbar dari
selatan. Orang-orang Barbar dari selatan itu ditengarahi berasal dari
bangsa Campa.[8]
Sejak
itu pula Bangsa Campa telah menunjukkan pengaruh Hinduismenya. Hal ini
membuat bangsa Campa harus berbenturan dengan bangsa Vietnam yang
terpengaruh Cina. Sekalipun Bangsa Campa sepanjang sejarahnya tidak
mampu mengembangkan wilayahnya ke utara, namun kebudayaannya yang
terpengaruh India yang Hinduistik tetap bertahan selama berabad-abad
dari desakan kebudayaan Cina-Vietnam.[9]
Sejumlah
sejarawan mengatakan pengaruh Islam di Campa tidaklah begitu besar
sebelum tahun keruntuhannya pada tahun 1471 M akibat serangan dari
Vietnam. Namun demikian persinggungan antara bangsa Campa dengan
orang-orang Islam teridentifikasi sejak abad ke-10 M. Indikasi ini bisa
dilihat ketika raja Campa Indravarman III mengirimkan seorang duta
beragama Islam bernama Abu Hasan ke kaisar Cina pada tahun 951 dan 958
M.[10]
Indikasi lain bisa dilihat pada berbagai prasasti bahasa Arab yang
ditemukan di Campa pada tahun 1902-1907 setelah diteliti menunjukkan
bahwa pada pertengahan abad ke-10 M. orang-orang Islam di Campa sudah
memiliki otonomi dan pemukiman sendiri. Ini berarti Islam telah dikenal
oleh Campa sejak abad ke-10 M.
Dengan
demikian, baik Cina maupun Campa sekalipun memiliki corak kepercayaan
maupun kebudayaan yang khas pada wilayahnya masing-masing, namun proses
interelasi dan inkulturisasi dengan Islam, sedikit banyak
telah merubah iklim dan wajah kepercayaan dari dua bangsa tersebut
menjadi kepercayaan yang saling melengkapi dan berasimilasi. Lebih-lebih
ketika kedua bangsa tersebut mengungsi ke Jawa, maka kepercayaan Bangsa Campa utamanya telah berubah menjadi Hindu-Jawa dan Islam-Jawa. Sentuhan
kepercayaan dan kebudayaan yang telah banyak mewarnai corak kepercayaan
maupun kebudayaan bernuansa Islam di satu sisi dan Hindu di sisi yang
lain telah melengkapi karakter asli kepercayaan Jawa di kalangan
masyarakat Jawa.
H.J.
de Graaf juga mengatakan pada konteks yang sama bahwa pada abad ke-15
dan ke-16 M para pedagang dari wilayah Cina selatan dan pesisir Vietnam,
yang sekarang Campa semakin aktif melakukan kegiatan di Jawa.
Menurutnya para penyebar kebudayaan dan kepercayaan dari Cina dan Campa
di Jawa pada abad ke-14 dan ke-15 M ketika itu, tidak sedikit membawa
pengaruh signifikan terhadap adat dan tradisi keagamaan serta
kepercayaan kepada masyarakat Jawa yang bercorak Hindu-Islam .[11]
Dengan demikian kepercayaan asli Jawa, animisme dan dinamisme tidak
menutup kemungkinan secara historis telah mengalami proses asimilasi
dengan kepercayaan di atas. Uniknya elastisitas kepercayaan asli Jawa
yang sanggup menampung berbagai kepercayaan yang datang dari luar itu,
tetap mampu mempertahankan nilai keasliannya.
D. Asal-usul Agama Jawa dan Leluhur Jawa
Secara
antropologis orang Jawa memang telah lama ada. Hal ini terbukti telah
ditemukan fosil-fosil di sekitar Bengawan Solo, Jawa Tengah. Fosil yang
tertua disebut Pithecantropus Erectus dan fosil yang termuda disebut Homosoloensis.
Karena fosil ini ditemukan di Jawa Tengah dapat diduga bahwa propinsi
ini yang menjadi nenek moyang orang Jawa. Orang Jawa selalu menyatakan
bahwa mereka adalah keturunan leluhur Jawa. Leluhur Jawa adalah orang
yang mendirikan tanah Jawa.[12]
Hanya saja, siapa yang menjadi pemula dari leluhur orang Jawa tersebut di antara para ahli masih berbeda pandangan. Pertama: pandangan yang beraggapan bahwa leluhur orang Jawa berasal dari Timur Tengah yang mengembara dengan cara berdagang sampai ke Jawa. Kedua:
leluhur Jawa berasal dari dewa, yaitu Dewi Laksmi dan Dewa Wisnu, atas
dasar itulah mayoritas komunitas kejawen memiliki karakteristik untuk
mempertahankan nilai dan status sosialnya sebagai keturunan Dewa.[13] Ketiga:
berasal dari seorang pengembara yang gemar keliling dunia seperti
halnya Marcopolo. Ketiga asal-usul tersebut sama-sama logis dan
menduduki peranan penting dalam kehidupan orang Jawa. Hal ini
menggambarkan bahwa tradisi kepercayaan nenek moyang Jawa pun terjadi
sinkretis antara Hindu Jawa dan Islam Jawa.[14]
Hindu Jawa berasal dari tradisi India dan Campa sementara Islam Jawa
berasal dari Timur Tengah dan sebagian tradisi Campa dan Tradisi Cina.
Sementara
itu, ilmuwan lain mengatakan bahwa asal mula kepercayaan Jawa asli yang
bersifat transendental lebih cenderung kepada paham animisme dan
dinamisme.[15]
Pandangan senada diungkapkan juga oleh Masroer. Menurutnya sebelum
Hinduisme dan Budhisme masuk ke Jawa, agaknya orang-orang Jawa telah
menganut agama asli yang bercorak animistik dan dinamistik.[16]
Masih dalam konteks yang sama, Simuh juga mengatakan bahwa suku-suku
bangsa Indonesia, khususnya suku Jawa sebelum kedatangan pengaruh
Hinduisme telah hidup teratur dengan tradisi animistik dan dinamistik
sebagai akar religiusitas, dan hukum adat sebagai pranata sosial mereka.[17]
Lebih dari itu Simuh mengatakan bahwa religi animisme dan dinamisme
yang menjadi akar budaya asli masyarakat Jawa cukup memiliki daya tahan
yang kuat terhadap kebudayaan-kebudayaan yang telah berkembang maju.[18]
Sedemikian kuatnya
religi animisme dan dinamisme itu mengakar pada karakter asli masyarakat
Jawa, hingga ragam budaya dan kepercayaan apapun yang bersentuhan
dengan religi Jawa, tetap saja tidak banyak berpengaruh secara
signifikan bagi perubahan esensial religi animisme dan dinamisme yang
menjadi simbol kejawen tersebut.
RM
Sutjipto Wirjosuparto juga mempunyai pandangan yang sama, ia mengatakan
sungguhpun kebudayaan Jawa asli menjalin hubungan dengan
kebudayaan-kebudayaan lain yang lebih tinggi, misalnya kebudayaan Hindu,
Islam dan Barat yang menyebabkan termodifikasinya kebudayaan Jawa asli,
ternyata pola kebudayaan asli Jawa tetap saja sama dengan sebelumnya,
lantaran unsur-unsur kebudayaan lain tersebut terserap dalam pola
kebudayaan dan kepercayaan kejawen. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa
elastisitas kebudayaan kejawenlah yang mampu mempertahankan karakter
dan ciri asli kejawennya.[19]
Tidak kalah menarik J.W.M.
Bakker yang mengatakan walaupun sebagian besar masyarakat Jawa mengaku
secara formal beragama Islam, namun demikian sikap dan praktik keagamaan
sehari-hari yang mereka hayati, senantiasa dijiwai dalam batin yang
paling dalam oleh agama asli kejawen tersebut, yaitu animisme dan
dinamisme.[20]
Bermula
dari kepercayaan animisme dan dinamisme Jawa--dengan varian-varian
mitologinya yang ada pada masing-masing wilayah—yang dipertemukan dengan
budaya luar yang lebih tinggi, misalnya Hindu, Budha, dan Islam telah
memunculkan model kepercayaan baru berupa Islam Kejawen, Hindu Kejawen
dan Budha kejawen sesuai dengan di wilayah mana mereka berada.
E. Kosmogoni Jawa dan Latar Belakang Mitologi Jawa
Perbedaan
pandangan asal-usul kejawen tersebut selain dilatarbelakangi oleh cara
pandang historis, juga karena dipengaruhi oleh perbedaan konstruksi
mitologis yang ada pada masing-masing wilayah. Perbedaan mitologis yang
ada pada masing-masing wilayah itu akan terlihat dengan jelas dalam
mitos dua tokoh misteri, yaitu Sri dan Sadono. Menurut kepercayaan
mitis Jawa, Sri dan Sadono adalah asal-usul Kejawen. Sri sebenarnya
dimitoskan sebagai penjelmaan dewi Laksmi, isteri Wisnu. Sedangkan
Sadono adalah penjelmaan dari Wisnu itu sendiri.[21]
Dalam kaitannya dengan mitologi ini sesungguhnya Sri dan Sadono adalah
lambang Dewi Laksmi dan Dewa Wisnu sebagai suami istri yang menjadi
cikal bakal kejawen. Atas dasar itu berbagai ritual mistik kejawen,
keduanya selalu mendapatkan posisi khusus dalam masyarakat Jawa. Dewi
Sri dipercaya sebagai dewa padi, sementara Wisnu dianggap sebagai dewa
yang membuat alam dan seisinya ini damai dan teratur.
Menurut Tantu Panggelaran, Sri
dan Sadono memang pernah diminta turun ke arcapada untuk menjadi nenek
moyang di Jawa. Sumber ini tanpa terasa akan menjastifikasi kepercayaan
mitis, bahwa orang Jawa itu keturunan dewa. Dengan kata lain orang Jawa
menurut kepercayaan mereka berasal dari keturunan yang mulia dan tinggi
derajatnya, status sosial dan kulturnya.[22]
Ajaran
kuno yang selalu menjadi pedoman dan dikaitkan dengan Dewi Sri (Dewi
Laksmi) dan Sadono (Dewa Wisnu) adalah falsafah Ajisaka. Ada kepercayaan
bahwa dari Ajisaka ini lahirlah aksara Jawa. Aji Saka, berasal dari
kata Aji (raja, yang dihormati, dipuja dan disembah), sedangkan Saka
berarti tiang atau cabang. Dengan demikian Ajisaka berarti tiang
penyangga yang memperkokoh religiusitas manusia. Religiusitas Jawa tidak
lain adalah mistik kejawen.
Paham
kejawen sejak mempercayai mitos Dewi Sri dan Dewa Sadono dianggap
mencerminkan kebodohan, baru ketika Ajisaka datang ke tanah Jawa,
masyarakat Jawa merasa memiliki ilmu. Atas dasar itu Ajisakalah yang
dianggap penyangga keilmuan Jawa. Oleh karena itu dalam kisahnya,
Ajisaka akan mengalahkan Dewata Cengkar, lambang masyarakat tempo dulu
yang masih membawa tradisi bar-bar, yaitu masyarakat yang belum
berperadaban. Dewata adalah simbol kebaikan, sedangkan Cengkar adalah
simbol keburukan. Dewata Cengkar berarti gambaran baik dan buruk yang
ada pada diri manusia. Hadirnya Ajisaka di Jawa bermaksud menyingkirkan
berbagai keburukan dan kegersangan pada diri manusia, selanjutnya
menghadirkan dan memenuhi sifat-sifat kebaikan yang menandainya sebagai
makhluk yang berperadaban dan berkebudayaan.[23]
Dari kisah mitis tersebut menggambarkan bahwa Ajisaka berasal dari pulau Majeti, adalah gambaran badan wadag (kasar) manusia. Gambaran alam semesta yang mudah rusak, di tempat inilah akan selalu dihuni oleh abdi Dora dan Sembada,
yaitu nafsu yang jelek dan baik. Keduanya senantiasa berkecamuk dan
tidak ada yang menang dan kalah. Sekilas dari kisah sugestif ini Ajisaka
memang bukan asli kejawen, hanya saja ia mengajarkan kejawen menurut
versinya. Artinya ajaran kejawen yang telah dikolaborasi dengan ajaran
yang ada pada dirinya, namun bagi kejawen hal tersebut tidak menjadi
masalah.[24]
Perbedaan
kosmogini dan mitologi lain juga dijumpai di Tengger. Menurut keyakinan
mitis, Tengger berasal dari tokoh mistis Roro Anteng dan Joko Seger.
Kedua tokoh ini sangat dipuji oleh masyarakat Tengger melalui ritual
slametan. Termasuk juga mitos Minakjinggo dan Sinto yang terjadi di
Banyuwangi yang menurut Beatty mitos ini sebagai simbol reproduksi.[25] Hal ini bisa dilacak dari terma jinggo (merah) dan sinta (putih). Warna merah dan putih melambangkan sesaji jenang abang putih
yang merepresentasi dari asal-usul manusia yang berasal dari seorang
ibu dan ayah. Di wilayah lain yang hampir senada juga dijumpai di
Pekalongan, Salatiga, Yogyakarta, Surakarta dan Ponorogo. Masing-masing
memiliki legenda sebagai representasi mitos yang berkembang dalam
pemikiran rakyat setempat. Masing-masing mitos diyakini memiliki local Genius
atau kearifan tradisional yang luar biasa. Biasanya legenda tersebut
dijadikan sebagai sandaran kehidupan mistik di kalangan mereka. Atas
dasar itu kehidupan kejawen menjadi sentral mistik.[26]
Rachmad
Subagya dalam memandang kosmogini kejawen, berbeda sama sekali dengan
pandangan para ilmuwan antropologi sebelumnya. Kosmogini kejawen dalam
pandangannya justru diawali dengan kepercayaan dan kebudayaan
monoteistik dan teistik. Bagi Rachmad watak dasar kepercayaan
orang-orang Jawa asli bukan berada pada kepercayaan animistik dan
dinamistik sebagaimana menurut kebanyakan para antropolog yang lain.
Pemikiran reflektif mereka tentang ketuhanan –menurut Rachmat--memang
tidak selengkap dan seideal agama-agama besar yang secara normatif
doktriner telah disiapkan dalam kitab-kitab wahyu yang
autentik. Pemikiran mereka terhadap Ilahi tersebut tumbuh dari
pengalaman hidup, baik dalam suasana hari-hari gembira maupun suasana
hari-hari sedih. Dalam hati sanubari terlintas adanya keyakinan magis
(gaib) terhadap Ilahi yang dianggap mampu menaungi hal ikhwal insani.
Dalam suka dan duka hidup manusia senantiasa dihadapkan pada Ilahi untuk
memohon perlindungan terhadap bahaya yang mengancam, baik berupa
bencana alam, penyakit, hantu atau manusia yang bertuah.
Rasa
ketuhanan yang terpendam dalam lubuk hati manusia sulit untuk
diungkapkan, baik dari kalangan mereka yang telah mengenal pewahyuan
dari tuhannya maupun yang belum mengenal sama sekali kecuali lewat
pengalaman-pengalaman keagamaan secara natural. Rasa ketuhanan itu pada akhirnya memanifestasi menjadi dua bentuk. Pertama: komunitas yang mengakui bahwa Ilah itu sebagai Fascinosum, yaitu dzat yang menarik, mempesona, mesra dan menimbulkan rasa cinta pada-Nya. Kedua: Ilah diakui sebagai Tremendum, yaitu yang menakutkan, jauh dan dahsyat.
Menurut
Rachmat, perilaku keberagamaan sejenis ini dalam realitasnya juga
dialami oleh agama-agama yang maju, hanya saja terdapat perbedaan
teknis-eksoterik, utamanya dalam penggunaan terma-terma maupun
simbol-simbol keagamaan. Bagi agama maju misalnya, menggunakan istilah
iman tatkala mereka membayangkan kasih sayang dan keadilan Tuhan, dan
istilah taqwa tatkala mereka membayangkan kekhawatiran-kekhawatiran akan
kesalahan di hadapan Tuhan. Ia mengatakan bila kedua sikap tersebut,
yaitu sikap kasih dan sikap taqwa seimbang, saling
melengkapi dan keduanya diarahkan kepada pribadi Tuhan yang baik dan
adil, maka muncullah sikap keagamaan yang disebut dengan teisme dan monoteisme.[27]
Dua
sikap keagamaan di atas dalam praktiknya selalu kabur dan samar dalam
diri manusia, sehingga tidak ada lagi kekuatan untuk menggugah emosi
keagamaan manusia. Berawal dari ini semua, Tuhan pencipta kemudian
dianggap tersembunyi jauh di atas ciptaan. Tuhan dianggap barang gaib
yang berjarak jauh dan paling asing bagi mereka, apalagi yang tidak
berani untuk mengungkapkannya. Keadaan inilah yang membuat mereka masuk
ke dalam sikap keagamaan yang disebut dengan deisme.
Dengan
menjauhkan Tuhan dari ruang lingkup insani, maka manusia terbawa oleh
kecenderungan hatinya yang selalu dekat dengan hal ghaib selain
Tuhannya. Misalnya dengan mempersonifikasikan Tuhan dalam bentuk alam
semesta ini, yaitu matahari, bulan dan bumi, inilah yang disebut dengan
proses mitologisasi alam. Sikap ini juga bisa dikatakan sebagai upaya
konkritisasi hal-hal yang abstrak.
Model lain adalah dengan mengkhayalkannya sebagai penghuni pohon atau arwah para leluhur yang sering disebut dengan animisme dan manisme. Akhirnya daya ghaib dianggap bersemayam dalam benda alam seperti gunung, batu, air dan api inilah yang disebut dengan dinamisme. Alur pemikiran Rachmat di atas menunjukkan cara pemikiran yang berbeda dari yang lainnya. Rachmat meletakkan paham animisme dan dinamisme berada jauh setelah paham monoteisme dan teisme. Lebih
menarik lagi, ketika Rachmat mensejajarkan perilaku keberagamaan orang
Jawa asli identik dengan perilaku keberagamaan dari kalangan orang-orang
yang beragama besar yang telah maju.
F. Kesimpulan
Karagaman
cara pandang keagamaan di atas, secara esoterik terdapat titik-titik
kesamaan sekalipun berbeda dari sisi eksoteriknya. Pandangan ini secara
spesifik, semakin menguatkan suatu pandangan yang meyakini adanya
perjumpaan antara sinkretisme kejawen dan sufisme Islam. Sinkretis kejawen mengatakan adanya konsep sangkan paraning dumadi[28] (arah kehidupan) dan manunggaling kawula gusti[29], sementara konsep sufisme Islam mengatakan adanya teori ittihad dan ilhad yang mengkristal menjadi wahdatu al-wujud[30]
[28] Seno Sastroamidjojo, Gagasan Tentang Hakikat Hidup dan Kehidupan Manusia
( Jakarta: Bhratara, 1972), 101. dalam buku itu dia mengatakan bahwa
ungkapan sankan paraning dumadi adalah tergolong ngelmu kasampurnan.
Ngelmu semacam ini diperoleh melalui laku prihatin. Oleh karena itu
dalam kitab Serat Wirid yanag merupakan kitan suci penganut mistik
kejawen istilah tersebut masih terbagi menjadi beberapa hal.
[29] Damarjati Supadjar, Nawang Sari, Butir-butir Renungan Agama, Spiritualitas dan Agama ( Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), 271. dalam buku tersebut ia mengatakan bahwa Istilah manunggaling kawula gusti ini merupakan kata kunci dalam ajaran kejawen. Oleh karena itu manusia harus bersikap depe-depe, mendekat kepada Tuhannya. Dengan cara ini antara manusia dan Tuhannya akan mengalami jumbuh. Bahkan menurut Ki Kusumowicitra ketika konggres teosofi di Semarang, manunggaling kawula gusti itu akan menciptakan ketenangan batin, karena terjadi titik temu yang harmoni antara manusia dan Tuhannya.
[30] Simuh, Sufisme Jawa : Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa
( Yogyakarta: Bentang, 1995), 135. Dalam buku ini beliau mengatakan
bahwa ada dua pendekatan yang berbeda dalam memaknai istilah manunggaling kawula gusti ini. Pertama manunggal diidentikan dengan konsep wihdatul wujud, yaitu Tuhan dan manusia menyatu melebur menjadi satu. Sedangkan pendapat kedua mengacu kepada jumbuh yang maknannya sejalan dengan wihdatu al-Syuhud, yang berarti manusia merasa dekat dengan Tuhannya.
Comments