Oleh: Ceprudin
Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 27/2016 tentang Layanan Pendidikan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tidak serta merta menyelesaikan persoalan pendidikan agama bagi siswa penganut kepercayaan.
Permendikbud yang ditandatangani Anies Baswedan pada 22 Juli 2016 ini masih sangat umum. Karenanya, membutuhkan kebijakan yang lebih teknis untuk operasional penyediaan mata pelajaran kepercayaan di setiap satuan pendidikan.
Adanya fasilitas pelajaran kepercayaan, setidaknya hambatan seperti yang menimpa Zulfa Nur Rohman di SMK 7 Semarang, tidak terulang kembali. Pada kasus ini, Zulfa tak naik kelas karena tidak mengikuti praktik mata pelajaran agama dengan alasan bukan keyakinannya.
Sejatinya, persoalan mengenai pendidikan agama yang menimpa penganut kepercayaan tidak hanya menimpa Zulfa. Berdasarkan hasil penelitian Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, mayoritas siswa penganut kepercayaan di Jawa Tengah mengalami hal yang sama.
Siswa penganut kepercayaan yang sekolah baik tingkat SD, SMP, maupun SMA, mereka di sekolah “terpaksa” mengikuti pendidikan agama. Mereka mengikuti pendidikan salah satu dari enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu) karena pihak sekolah tidak menyediakan mata pelajaran kepercayaan. (elsaonline.com, 17/8)
Selama ini, siswa penganut kepercayaan di sekolah berada dalam situasi yang tidak nyaman. Mereka harus berkompromi dengan keadaan supaya tetap bersekolah. Jika mereka tidak mengikuti mata pelajaran agama yang disediakan sekolah, ancamannya tidak naik kelas bahkan tidak lulus.
Karenanya, meskipun mata pelajaran agama yang disediakan sekolah bukan keyakinannya, siswa penganut kepercayaan tetap mengikuti pelajaran agama. Siswa penganut kepercayaan menerima pelajaran agama, sebatas formalitas demi tetap bersekolah.
Tentang Kepercayaan
Rachmat Subagya dalam bukunya Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia menuliskan kepercayaan adalah “agama asli” Indonesia. Ahli sejarah agama-agama ini menegaskan bahwa penghayat kepercayaan ada sebelum agama-agama datang di Nusantara.
Rachmat Subagya dalam bukunya Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia menuliskan kepercayaan adalah “agama asli” Indonesia. Ahli sejarah agama-agama ini menegaskan bahwa penghayat kepercayaan ada sebelum agama-agama datang di Nusantara.
Sebelum enam agama yang diakui (recognize) negara berkembang di Indonesia, penghayat kepercayaan sudah ada tumbuh dan berkembang. Penganut kepercayaan mengalami penurunan ketika agama-agama “impor” datang dari luar (Nusantara). Karena itu, penganut kepercayaan berulang kali mengalami krisis eksistensi. (Rachmat Subagya: 1979, h. 187)
Penganut kepercayaan sejatinya sudah diakui keberadaannya oleh negara dalam konstitusi tertinggi UUD 1945. Pasal 29 ayat (2) menyatakan “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Mengenai pendidikan diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.
Dua ayat di atas menunjukan kuat bahwa setiap orang, apa pun agamanya atau kepercayaanya harus mendapatkan hak kebebasan memeluk agama atau kepercayaan disertai dengan pendidikan. Tidak ada alasan seorang siswa tidak naik kelas hanya karena tidak mengikuti pelajaran agama.
Terkadang, memang pejabat pemerintah (kepala sekolah, dinas pendidikan dan hal yang terkait) terlalu positifistik dalam menjalankan roda pemerintahannya. Dengan dalih belum ada aturannya, seorang anak penganut kepercayaan dikorbankan hingga tak naik kelas.
Implementasi Pelajaran Kepercayaan
Dengan demikian, terbitnya Permendikbud No. 27/2016 menjadi oase dipadang pasir bagi penganut kepercayaan. Permendikbud ini mengisi kekosongan hukum bagi pendidikan agama penganut kepercayaan. Terlebih jika setiap satuan pendidikan sudah mengaplikasikannya dalam bentuk regulasi yang terperinci.
Dengan demikian, terbitnya Permendikbud No. 27/2016 menjadi oase dipadang pasir bagi penganut kepercayaan. Permendikbud ini mengisi kekosongan hukum bagi pendidikan agama penganut kepercayaan. Terlebih jika setiap satuan pendidikan sudah mengaplikasikannya dalam bentuk regulasi yang terperinci.
Permendikbud No. 27/2016 pada Pasal 2 Ayat 1 menyatakan “peserta didik memenuhi pendidikan agama melalui Pendidikan Kepercayaan dengan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kurikulum”.
Selanjutnya ayat 2 menyatakan “muatan Pendidikan Kepercayaan wajib memiliki kompetensi inti dan kompetensi dasar, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, buku teks pelajaran, dan pendidik”.
Karena itu, pemenuhan hak mata pelajaran pendidikan kepercayaan harus segera direalisasikan. Pada level implementasi tentu membutuhkan panduan teknis dari setiap perangkat pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Dinas pendidikan setiap kabupaten/kota harus menindaklanjuti Permendikbud tersebut dengan membuat kebijakan yang lebih teknis dan operasional.
Dalam implementasinya, minimal ada dua cara yang dapat digunakan oleh setiap satuan pendidikan. Pertama, mendatangkan guru dari organisasi penghayat kepercayaan untuk mengajar mata pelajaran kepercayaan di sekolah. Kedua, siswa Penganut Kepercayaan diberikan keleluasaan untuk tidak mengikuti pendidikan salah satu agama di sekolah.
Para siswa penganut kepercayaan diberikan mata pelajaran tentang (teologi) Kepercayaan pada masing-masing kelompok kepercayaan.
Comments