Saya
adalah muslim, NU, jawa, Indonesia. Setiap kita memiliki multiidentitas.
Setiap identitas berkonsekuensi psikologis, sosiologis, dan politis.
Segala sikap dan tingkah laku kita diwarnai dan dipengaruhi oleh
identitas-identitas kita.
Sebagai
sebuah bangsa yang besar, Indonesia dibangun oleh dan atas dasar beragam
identitas. Indonesia dirumuskan bersama dengan keterwakilan berbagai
golongan, suku, agama, dan etnis yang satu sama lain berkomitmen hidup
bersama secara damai dan sejahtera. Saya sadar, Pancasila dilahirkan
dari hasil perdebatan dan perenungan panjang tentang identitas
kebangsaan yang berbeda dan beragam itu.
Saya tahu segala bentuk
hukum dan perundangan yang ada di negara ini dirumuskan atas dasar dan
untuk kepentingan bersama seluruh warga, tanpa terkecuali. Saya tahu,
konsekuensi kepentingan bersama itu meniscayakan reduksi dan kompromi
dari kepentingan kelompok dan individu. Tanpa itu, mustahil komitmen
kebersamaan diwujudkan dan dipelihara.
Karena itu, setiap titik
diskriminasi terhadap individu, apalagi komunitas atau kelompok, harus
dihapuskan dari negeri ini. Setiap diskriminasi dan perlakuan yang
berbeda atas dasar identitas harus dianggap menyimpang dari fitrah
Indonesia.
Penghayat dan Agama
Seandainya
saya adalah penghayat kepercayaan, saya akan merasa menjadi orang yang
paling tidak beruntung di negara ini, karena diskriminasi atas nama
identitas kepenghayatan saya justru dimulai ketika negara ini merumuskan
konstitusinya.
” (2)
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu. “Ada beberapa hal yang aneh bin tak jelas dalam rumusan yang tak tersentuh hingar bingar amandemen ini:
- Saya betul-betul tak tahu, “itu” dalam kalimat tersebut kembalinya ke mana?
- Mengapa ada kata “dan” di tengah agama dan kepercayaan? Kenapa tidak “atau”?
- Apa yang dimaksud kepercayaan dalam hal ini? Apakah maksudnya sama dengan agama lokal atau agama adat seperti kepercayaan “Badui” atau “Sedulur Sikep” atau “Parmalim” dan lebih dari 300 kepercayaan lainnya? Kalau ya, mengapa kata “kepercayaan” hanya muncul pada anak kalimat kedua, sementara di anak kalimat pertama hanya ada “agama”?
- Ataukah maksudnya adalah kepercayaan di dalam agama masing-masing, seperti sekte atau aliran atau denominasi (sunni, syiah, ahmadiyah, dll)? Kalau ya, lalu di mana posisi Badui dkk itu? Apakah dianggap setara dengan agama? Kalau ya, mengapa mereka tak boleh ditulis di KTP? Mengapa orang tidak pernah memasukkan mereka setiap kali orang Indonesia membuat daftar agama-agama?
- Sekali lagi, mengapa kata “kepercayaan” tak muncul di anak kalimat pertama yang berhubungan dengan “memeluk”, dan hanya muncul di anak kalimat kedua yang berhubungan dengan “beribadat”? Apakah ini berarti orang Indonesia itu hanya “memeluk agama” dan tidak “memeluk kepercayaan”? Atau berarti, kepercayaan memang muncul dalam kaitan dengan ibadat?
Jika
kita sepakat bahwa rumusan ini cenderung diskriminatif, maka
diskriminasi pada tingkat Undang-undang, peraturan daerah, dan
peraturan-peraturan lain, hanyalah konsekuensi ikutan dari rumusan
konstitusi kita yang salah dari awal. Apalagi diskriminasi pada tingkat
implementasi di lapangan.
Melalui Pak Sulistyo Tirtokusumo, saya tahu ada 3 jenis penghayat kepercayaan di Indonesia. Pertama, penghayat kepercayaan yang beragama dan menjalankan syariat agama secara lengkap. Kedua,
penghayat yang di dalam KTPnya memeluk satu agama tapi perilaku
sehari-harinya melakukan penghayatan menurut ajaran masing-masing. Ketiga, penghayat murni, yang tidak memeluk agama tertentu dan hanya berpegang pada organisasi penghayat.
Jika menurut beliau
diskriminasi hanya dialami oleh penghayat jenis ketiga, saya merasa
bahwa banyak kasus menunjukkan bahwa jenis kedua juga terdiskriminasi,
dan pada tataran tertentu jenis pertama juga. Sejarah mencatat betapa
terjadi eksodus besar-besaran kelompok penghayat kepada agama-agama
”resmi”, dan terjadi pemaksaan terstruktur oleh negara kepada kelompok
penghayat untuk memilih satu di antara ”enam agama resmi” dalam KTP
mereka.
Politik pengakuan
Seandainya saya adalah seorang penghayat kepercayaan, saya akan menggugat ”politik pengakuan” yang menjadi mindset,
semangat, dan jiwa para pengambil keputusan dan pengelola negara ini.
Munculnya istilah ”agama resmi”, ”agama yang diakui”, dan semacamnya
adalah akibatnya. Istilah-istilah tersebut memunculkan kategori warga
kelas satu, kelas dua, dan seterusnya.
Politik
pengakuan ini adalah biang diskriminasi berkelanjutan terhadap kelompok
penghayat dan kelompok minoritas yang lain. Politik semacam ini tidak
menempatkan negara dalam ranah yang netral, berdiri di atas semua
golongan dan kelompok.
Dan
karena politik semacam ini dilanggengkan oleh sebuah rezim otoriter
dengan berbagai cara dalam berbagai ranah kehidupan, ia telah
menghegemoni cara berpikir di hampir semua kalangan. Lahirlah apa yang
kemudian disebut sebagai mayoritarianisme.
Comfort Zone
Politik
pengakuan itu pula yang menjangkiti sebagian kalangan kelompok minoritas
sendiri, termasuk di dalamnya kelompok penghayat kepercayaan. Tercatat
beberapa peristiwa besar menyangkut gerakan hak kaum penghayat ini
berujung pada tuntutan untuk ”diakui” oleh negara. Terakhir, beberapa
tahun lalu terselenggara pertemuan besar kelompok Kaharingan di
Kalimantan, yang rekomendasi utamanya adalah tuntutan kepada pemerintah
agar mereka diakui secara resmi oleh negara.
Seandainya saya adalah seorang penghayat kepercayaan, saya akan menangisi situasi ini, karena beberapa hal:
Pertama,
situasi ini akan mengakibatkan kelompok penghayat yang ”belum diakui”
akan memfokuskan gerakan politik dan perjuangan identitas mereka pada
satu tujuan: ”pengakuan” oleh negara. Dan karena ”pengakuan” berakibat
pada fasilitas, pelayanan publik, dan privilese tertentu, maka pengakuan
ini adalah comfort zone bagi mereka.
Kedua,
situasi ini juga mengkondisikan kelompok-kelompok minoritas tersebut
dalam perjuangan yang sektarian, dan melupakan agenda besar bersama
untuk keadilan, kesetaraan, dan pemenuhan hak-hak sipil secara luas.
Ketiga,
sementara itu, bagi kelompok yang sudah berada dalam payung ”pengakuan”
tersebut cenderung menikmati zona nyaman mereka dan melupakan
diskriminasi panjang dan berkelanjutan yang pernah mereka alami dan
masih dialami oleh kelompok-kelompok lain di negeri Bhinneka Tunggal Ika ini.
(Tanpa mengurangi rasa hormat, saya tidak setuju terhadap penempatan
Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di bawah Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata, ataupun Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan).
Keempat,
dalam banyak kasus, fasilitas negara ini juga menimbulkan konflik
kepentingan dan perebutan kue kekuasaan di antara kelompok-kelompok yang
diakui. Logika representasi berperan penting dalam kasus ini.
Kelima,
karena sejak awal negara telah memposisikan kelompok penghayat sebagai
kelompok yang harus ”diawasi” (dengan Bakorpakem dan semacamnya), maka
mau tidak mau negara turut mengintervensi substansi, nilai, ajaran dalam
satu kelompok.
Hak Sipil & Kebebasan Beragama
Bagi
saya, agama, keyakinan, kepercayaan, adalah wilayah privat saya sebagai
manusia. Terutama soal hubungan saya dengan Tuhan saya. Agama adalah self-proclaim.
Tidak seorangpun atau satu institusipun berhak mencampuri pilihan saya
terhadap agama dan kepercayaan saya, apalagi memaksa saya untuk meyakini
atau tidak meyakini sesuatu.
Tugas
negara justru adalah melindungi segenap penganut agama dan kepercayaan,
dan memenuhi hak-hak sipil mereka sebagai warga negara, tanpa
terkecuali.
Seandainya
saya adalah seorang penghayat kepercayaan (terutama jika saya adalah
penghayat murni dalam kategori Pak Sulistyo), maka saya akan menuntut
negara untuk memposisikan kepercayaan saya sebagai entitas yang sejajar
dengan agama Islam, Kristen, Katolitk, Hindu, Buddha, Konghucu, Bahai,
Sikh, Yahudi, dll. Perlindungan terhadap umat muslim harus sejajar
dengan perlindungan terhadap saya sebagai warga negara. Hak seorang
muslim di mata negara harus sama dengan hak saya. Jika orang Islam boleh
melakukan Islamisasi, orang Kristen boleh melakukan Kristenisasi, maka
saya harusnya boleh melakukan ”penghayatisasi”. Karena, saya meyakini
kebenaran dan relasi spiritualitas saya dengan Tuhan saya sama halnya
keyakinan mereka terhadap nilai-nilai dan ajaran mereka. (Perlu dicatat,
Orde Baru merumuskan trilogi kerukunan beragama yang memuat poin:
”agama boleh menyiarkan agamanya hanya kepada orang yang belum memeluk
agama”, dan seorang penghayat dalam hal ini dianggap sebagai orang yang belum memeluk agama.)
Bagi
saya, kebebasan beragama adalah harga mati. Termasuk kebebasan untuk
tidak memilih satu agamapun yang ada di negara ini. Dan justru tugas
negara adalah melindungi dan memfasilitasi terpenuhinya prinsip-prinsip
kebebasan beragama tersebut.
Melihat keluar
Seandainya
saya adalah seorang penghayat kepercayaan, saya akan cenderung melihat
keluar sebagai seorang individu, warga negara, yang secara politik
memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya, memiliki hak yang
sama untuk berkontribusi terhadap kemajuan, integrasi, dan perdamaian
antar-sesama anak bangsa.
Saya tahu, di luar sana masih ada masalah besar, yaitu law enforcement
dan negara yang lemah. Satu masalah besar yang masih menjadi hambatan
pemenuhan hak minoritas adalah masih banyaknya produk hukum yang
diskriminatif. Meski secara umum semangat pro-Hak Asasi Manusia sudah
mulai mempengaruhi para pengambil kebjakan, namun pada implementasinya,
ini tidak dibarengi dengan semangat mereformasi seluruh produk hukum
yang tak sejalan dengan semangat HAM tersebut. Masalah lainnya adalah
soal aparatus negara yang seharusnya bersikap netral dan tidak berpihak,
namun dalam banyak kasus cenderung mengikuti arah angin opini publik.
Apalagi jika menyangkut isu sensitif tentang agama, kaum minoritas, dan
kaum adat. Dalam banyak kasus lain, aparat menyerah oleh tekanan
sekelompok massa atau orang yang sering kali mengatasnamakan mayoritas.
Saya
juga tahu, di luar sana masih pula ada masalah besar lain, yaitu
politisasi agama. Terbukanya keran demokrasi pasca otoritarianise Orde
Baru memberi warna baru dalam relasi agama-negara, yaitu menguatnya
politik identitas, termasuk identitas keagamaan. Agama menjadi komoditas
politik dan ekonomi yang sangat signifikan menciptakan celah-celah
konflik baru di antara sesama elemen masyarakat. Lahirnya perda-perda
syariat dan tuntutan pendirian negara Islam di banyak daerah juga tak
luput dari ini.
Saya percaya bahwa manusia adalah zon politicon. Dan
misi kemanusiaan saya adalah penerjemahan misi ketuhanan yang saya
yakini. Saya percaya bahwa manusia terbaik adalah manusia yang paling
berguna, bermanfaat, bagi manusia lainnya.
Saya
percaya, diskriminasi panjang dan berkelanjutan terhadap kelompok
penghayat, atau kelompok yang lain, atau terhadap individu sekalipun,
tidak akan terhapuskan tanpa kontribusi saya sebagai warga negara,
sekecil apapun yang bisa saya lakukan. Saya percaya bahwa kesetaraan,
keadilan, bukan hadiah atau pemberian, namun adalah sesuatu yang harus
diperjuangkan.
Seandainya
saya adalah seorang penghayat kepercayaan, saya tidak akan bisa tidur
nyenyak sebelum semua penghayat di negara ini setara dengan warga negara
lainnya. Sebelum bangunan kebencian, kecurigaan, dan stereotyping
diruntuhkan. []
* Tulisan ini dibuat untuk Sarasehan Anggara Kasih, 6 April 2009 di Sasana Adi Rasa TMII Jakarta
Comments