Gunretno dibesarkan di Desa Baleadi, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, saat rezim Orde Baru menguat. Komunitas Sedulur Sikep yang dirintis Samin Surontiko–nama aslinya, Raden Kohar–tahun 1890-an, saat itu telah terfragmentasi menjadi komunitas-komunitas kecil.
Gerakan Samin didasari semangat perlawanan tanpa kekerasan terhadap Belanda dengan menolak membayar pajak dan segala peraturan kolonial. Tahun 1859, dia ditangkap dan diasingkan Belanda ke Padang, Sumatera Barat, hingga akhir hayatnya. Namun, ajaran Samin tetap dipelihara Komunitas Sedulur Sikep di kawasan Pegunungan Kendeng, membentang dari Blora dan Pati di Jawa Tengah hingga Bojonegoro di Jawa Timur.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Sedulur Sikep tetap mempertahankan ajaran Samin, termasuk tidak memasukkan anak ke sekolah formal. Saat tekanan rezim makin keras, ”Bapak dipaksa menyekolahkan aku dan adikku. Begitu tekanan melonggar, Bapak menarik kami dari sekolah,” kisah Gunretno, yang saat ditarik menginjak kelas VI SD.
Oleh ayahnya, Gunretno dididik menjadi petani. ”Sedulur Sikep itu harus toto nggauto gebyah macul sing dumungu theke dewe,” ujar Gunretno. Prinsip ini dimaknai sebagai upaya berdaulat dengan mencukupi kebutuhan hidup secara mandiri. ”Berarti kami harus bertani.”
Di sela-sela bertani, Gunretno menjadi kuli pengangkut pasir dan kerap mencari muatan ke daerah lain. Dari situlah dia mengenal anggota Sedulur Sikep di Blora dan Bojonegoro.
Setelah mahir menyopir, Gunretno kerap mengajak anggota komunitas Sedulur Sikep di Sukolilo mengunjungi kerabat mereka di daerah lain. Jaringan komunitas Sedulur Sikep, yang bertahun-tahun terputus, mulai terangkai dengan Gunretno sebagai jembatannya.
”Mbah-mbah kami dulu, termasuk Mbah Samin, pasti sering berkumpul dan saling mengunjungi, sehingga menjadi komunitas yang kuat,” katanya.
Dari penghasilan tambahan sebagai kuli angkut, Gunretno menyewa sawah 3.500 meter persegi, belakangan jadi 0,5 hektar. Sawah itu dikerjakan bersama, hasilnya untuk kegiatan sosial. Kini, 50-an petani Sedulur Sikep pemilik sawah ikut mengisi lumbung Paguyuban Kadang Sikep, yang juga dimanfaatkan warga desa.
Kesadaran
Kesadarannya berorganisasi menguat seiring menghamburnya tantangan. Diawali bencana banjir, tahun 1999, atas prakarsa Gunretno, Sedulur Sikep mengajak petani dari tujuh desa membentuk Kelompok Karya Tani Maju. ”Itulah pertama kalinya aku belajar berorganisasi,” ujarnya.
Kesadarannya berorganisasi menguat seiring menghamburnya tantangan. Diawali bencana banjir, tahun 1999, atas prakarsa Gunretno, Sedulur Sikep mengajak petani dari tujuh desa membentuk Kelompok Karya Tani Maju. ”Itulah pertama kalinya aku belajar berorganisasi,” ujarnya.
Belakangan, ancaman terbesarnya adalah korporasi semen yang mengincar kawasan karst Sukolilo. ”Kami harus berkelompok dan berorganisasi karena menghadapi kekuatan dari luar yang terus mengganggu usaha pertanian kami.”
Dia kemudian terlibat pembentukan sejumlah organisasi, dan menjadi koordinator, seperti Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendheng (JMPPK). Kini ada Omah Kendeng, yang dibangun tanpa semen, untuk tempat bermusyawarah.
Ketokohannya dalam gerakan tolak penambangan semen menuai ancaman hingga upaya pengucilan. Ia bahkan difitnah sebagai bukan anggota Sedulur Sikep. ”Ini, kan, aneh,” katanya.
Gunretno lalu menjelaskan trahnya. Kakek buyutnya adalah Sodipuro, adik Suronggono. ”Mbah Suronggono ditetapkan sebagai botoh (pemimpin) Sedulur Sikep di Pati oleh Mbah Surodikin, penerus langsung yang juga menantu Mbah Samin,” ungkap Gunretno.
Suronggono dan beberapa tokoh Sedulur Sikep, seperti Mbah Jambet, Mbah Solo, dan Mbah Sarmi, dimakamkan di sekitar rumah yang kini ditempati Gunretno bersama istri dan empat anaknya. ”Tetapi, Sedulur Sikep itu sebenarnya lebih ke sikap, perilaku kita menyikapi hidup, bukan soal aku i sumber.kompas.com
Comments