MEI KARTAWINATA
Menampilkan daftar artikel SEJARAH, PITUTUR / NASEHAT, dan AJARAN yang berkaitan dengan MEI KARTAWINATA :
A.Sejarah Mei Kartawinata
MEI KARTAWINATA
Mei Kartawinata & Sukinah |
A. Silsilah, Pendidikan dan pekerjaan
Bapak
Mei kartawinata lahir di Bandung tepatnya, di Jalan Kebonjati Desa
Pasar Kota Bandung, pada tanggal 1 Mei 1897. Ayahanda bernama Rd.
Kartowidjojo dari Rembang yang masih memiliki garis keturunan dari
Brawijaya – Madjapahit, sedangkan Ibunda bernama Nyai Rd. Mariah dari
Bogor, yang masih memiliki Garis keturunan dari Pangeran Sake/Bogor dan
Pangeran Sugeri/Jatinegara (Siliwangi – Padjajaran).
Mei
Kartawinata sempat bersekolah di Sekolah Kristen PADRI dimana di
sekolah tersebut terdapat Zendingschool yang dipimpin oleh Ruitink,
Borat dan Iken, selain bersekolah Mei juga mengikuti kursus di Kleine
Ambtenaar Exament (KE).
Setelah
tamat sekolah, pada tahun 1914 beliau bekerja di perusahaan percetakan
(Drukkerij) di Bandung sambil sore harinya sekolah di Sekolah
Partikelir. Pada tahun 1922, Mei Kartawinata memasuki dan aktif di
organisasi perburuhan IDB (Indische Drukkerij Bond), sebuah organisasi
yang aktif memperjuangkan nasib kesejahteraan kaum buruh dan seterusnya
mengikuti gerakan-gerakan politik kebangsaan dan perjuangan
kemerdekaan.
Selanjutnya
Mei pindah ke Cirebon dan bekerja di percetakan "De Boer", sambil tetap
aktif di perjuangan buruh dan gerakan perjuangan kemerdekaan. Beliau
bertempat tinggal di lingkungan Keraton Kanoman dan tinggal di rumah
Elang Otong.
Menginjak
usia 25 tahun, tepatnya pada tahun 1922 itu juga, Mei Kartawinata
menikahi seorang gadis asal Kampung Padamenak, Kecamatan Jalaksana,
Kabupaten Kuningan - Jawa Barat, yang bernama Sukinah anak dari
Perwatadisastra yang ketika itu bekerja di BAT (British American
Tabacco) Cirebon. Berhubung mertuanya tidak menyetujui putrinya
bersuamikan orang yang aktif di pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan,
dan Belanda sudah mencium gerakan Mei Kartawinata, maka Mei Kartawinata
terpaksa membawa istrinya dari Cirebon dan pindah ke Sukamandi
mengikuti ibu kandungnya Nyai Rd. Mariah dan kakaknya seibu Rd.
Kartaatmadja.
Mei
bekerja di Pabrik Tapioka Sukamandi, bagian listrik dengan tujuan
menghindarkan diri dari incaran Belanda, dan selama di Sukamandi, Mei
Kartawinata bersama istrinya dan rekan-rekan seperjuangan aktif
keluar-masuk kampung-kampung menyebarkan paham kebangsaan melalui anjang
sono dan pertunjukan sandiwara, hingga pada tahun 1925 Belanda mencium
adanya gerakan nasionalisme kebangsaan di Sukamandi dan melakukan
penangkapan-penangkapan, hingga Rd. Kartaatmadja yang mengaku sebagai
Mei Kartawinata (untuk melindungi Mei Kartawinata) ditangkap, disiksa
dan dijebloskan ke Penjara di Purwakarta, kemudian dipindahkan ke
Balikpapan-Kaltim, selanjutnya ke Nusakambangan.
Sejak
itu kondisi keamanan bagi Mei Kartawinata jadi berbahaya, sehingga
harus berpindah-pindah tempat, dan setelah ibundanya meninggal dan
dimakamkan di Sukamandi, dengan bantuan seseorang bernama Ganda, Mei
Kartawinata bersama istrinya pindah ke kota Subang dan bekerja sebagai
"letterzetter" di perusahaan percetakan Atelir-Subang (P&T Land)
milik kongsi Amerika-Inggris. Setelah bekerja di Atelir, selanjutnya Mei
mengajak teman lamanya M. Rasid dari Cirebon untuk bekerja bersama,
hingga pada suatu waktu keduanya berkenalan dengan seseorang bernama
Soemitra, yang kemudian ketiganya terjalin persahabatan.
B. Tiga Serangkai (Tri Tunggal)
Ketika
di Subang ini, Mei Kartawinata bersahabat dengan dua rekan sejawatnya,
yaitu Rasid yang berasal dari Cirebon dan Soemitra yang berasal dari
Bandung. Seiring berjalannya waktu persahabatan ketiga orang ini semakin
erat, terlebih lagi setelah ketiga orang ini sama-sama memiliki
ketertarikan dalam ilmu kebatinan. Manakala waktu senggang ketiganya
sering bertemu dan berdiskusi saling bertukar pikiran membahas
kegemarannya dalam ilmu kebatinan. Karena persahabatannya itu, ketiga
orang ini selanjutnya (oleh pengikut Bapak Mei Kartawinata) sering
disebut sebagai “Tri Tunggal“.
C. Perselisihan berujung renungan
Pertemuan
diskusi dan bertukar pikiran membahas ilmu kebatinan itu akhirnya
menjadi kegiatan rutin bagi mereka bertiga. Hingga suatu saat kebiasaan
itu berakhir tidak seperti biasanya, seolah-olah hari itu adalah puncak
dari pencarian makna dan arti dari ilmu kebatinan bagi mereka bertiga,
terutama bagi Mei Kartawinata.
Saat
itu, tanggal 16 September 1927 tepatnya hari kamis malam Jum’at kliwon,
di sebuah rumah pinggiran hutan, milik Pak Unas ketiganya berdiskusi
seperti biasa, hanya saja saat itu istri Mei Kartawinata dan putri
pertamanya Mariam yang masih berumur 40 hari turut berkumpul di rumah
itu.
Semakin
malam Pertemuan ketiga sahabat itu tidak seperti biasanya, yaitu ketika
Rasid hendak “memberikan“ ilmu Kanuragan (salah satu ilmu kekebalan
tubuh untuk menjaga diri) kepada Mei Kartawinata. Namun sayang “gayung
tak bersambut“, niat baik Rasid itu ditolak oleh Mei Kartawinata dengan
santun, dan mengatakan bahwa “keselamatan diri tidak harus dengan
memiliki ilmu kanuragan tapi keselamatan itu tergantung dari tekad-ucap
dan lampahnya sendiri“. Mendengar ucapan seperti itu Rasid semakin
penasaran dan terpacu ingin mengetahui ilmu apa gerangan sesungguhnya
yang dimiliki oleh Mei Kartawinata.
Rasa
penasaran itu pun akhirnya dilakukan oleh Rasid dengan cara menggendong
Mariam lalu tanpa ragu diinjaknya bahkan sedikit dilemparkan, hingga
akhirnya bayi itu pingsan tak berdaya bahkan nyaris menemui ajalnya.
Menyaksikan peristiwa itu Sukinah hanya bisa menangis, sementara Mei
Kartawinata tak berbuat apa-apa hanya berusaha menahan emosi dan
berserah diri, terdiam tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya,
namun kemudian Mei Kartawinata mengais putri pertama yang baru berusia
40 hari itu lalu diletakan kembali disisi lainnya dan kemudian duduk
bersila untuk berdo’a.
Setelah
beberapa saat diraihnya bayi perempuan itu lalu mengusap dan
meniup-niup ubun-ubunnya, dan tak ada yang menyangka beberapa saat
kemudian bayi itu lalu menangis dan perlahan mulai sadar kembali. Itulah
bukti Kuasa, perlindungan dan kasih sayang Tuhan YME kepada mahluk-Nya.
Namun
prilaku Rasid dalam menguji kesabaran Mei Kartawinata tidak cukup
sampai disana, kejadian demi kejadian terus berlangsung meskipun tidak
sampai terjadi perkelahian, namun akhirnya ketiganya kelelahan dan
ketiganya pula saling meredakan situasi. Seiring dengan larutnya malam,
semua orang yang ada di rumah Pak Unas itu akhirnya tertidur, dan
menjelang pukul 00.00 WIB tengah malam, sukinah sempat tersadarkan dari
tidur dan terkejut ketika melihat seberkas sinar terang yang menyoroti
tubuh Mei Kartawinata suaminya itu yang sedang tertidur lelap, peristiwa
itu berlangsung singkat sekali, namun tanpa diduga ternyata Rasid dan
Soemitra pun sempat melihat peristiwa itu.
Setelah
beberapa saat peristiwa itu berlangsung, ternyata rasa penasaran Rasid
semakin menjadi dan kini ditambah dengan perasaan kesal terhadap Mei
Kartawinata. Pertikaian pun berlanjut kembali, hingga mendekati pukul
03.00 WIB akhirnya Mei Kartawinata menghindar berlari menuju hutan dan
terus dikejar oleh Rasid dan Sumitra, akhirnya terpaksa Sukinah pun
turut mengikuti ketiganya sambil mengendong bayinya karena khawatir
terjadi hal yang tidak diinginkan.
Dan
benar saja pertikaian demi pertikaian terjadi di beberapa tempat di
hutan itu, namun Mei Kartawinata tetap saja menghindar dan beberapa kali
berlari menjauhi Rasid dan Soemitra yang turut menguji kesabaran
sahabatnya itu. Hingga saat tengah hari Mei Kartawinata berhasil lari
menjauhi kedua sahabatnya itu dan bersembunyi di sisi Sungai Cileuleuy
kampung Cimerta yang berada di wilayah Subang. Ketika menenangkan diri
dan beristirahat itulah Mei Kartawinata menatap dalam aliran air Sungai
Cileuleuy. Dari tatapan mata yang dalam akhirnya menukik kedalam hati
sanubarinya dan saat itulah Mei Kartawinata dikejutkan oleh “Suara
pitutur“, yang kemudian dikenal dengan istilah “Wangsit“.
D. Wangsit 17 September 1927
Lantas
apa isi wangsit atau suara pitutur itu ?, hanya Mei Kartawinata sendiri
lah yang tahu persis isi atau bunyi dari wangsit tersebut. Namun dari
beberapa buku karya tulis beliau, ada satu buku yang berjudul KATINEUNG,
yang di dalamnya memuat ulasan tentang peristiwa 17 September 1927 di
tepi Sungai Cileuleuy yang disampaikan dalam bentuk PUPUH, yang
merupakan kemahiran dan kecerdasan beliau dalam menyampaikan didikannya
(pamendak) kepada para pengikutnya itu.
Berikut isi kutipan pupuh yang diambil dari Buku KATINEUNG karya Mei Kartawinata :
PUPUH ASMARANDANA
1. Matak kasamaran pikir
Lamun teu sabar tawekal
Dibarengan gede hate
Ngalakonan perjalanan
Ku lobana halangan
Pikeun Ngangkat jeung ngajungjung
Darajat Bangsa sorangan
Dibarengan gede hate
Ngalakonan perjalanan
Ku lobana halangan
Pikeun Ngangkat jeung ngajungjung
Darajat Bangsa sorangan
2.Tapi mungguh Maha Suci
Dina masihan lantaran
Sakitu kuring teh bodo
Asa gampang ngahartina
Ma’lum kabeh geus aya
Aya di badan sakujur
Terang nyata ku wujud-Na
3. Tanggal HIJI bulan MEI
Poena dina JUMA’AH
Ninggang pasaran KALIWON
Ngitung masehi TAUNna
SAREBU jeung DALAPAN RATUS
Jeung SALAPAN PULUH
TUJUH lalangkungannana
4. Sim-kuring ka dunya lahir
Kitu saur Indung-Bapa
Nu nyaksian lahir batin
Nu wajib dipercayana
Ku sim-kuring sorangan
Tur wajib dipanjang-punjung
Ti dunya tug ka aherat
5. MEI teh pangeling-ngeling
Tanggal bulan kalahiran
Ari tugas anu tangtos
Nyaeta KARTA WINATA
Ngartakeun ku winata
Nepikeun ka hasil maksud
Hasil tina perjalanan
6. Ti PURWA-KARTA mimiti
KARTA di jaman baheula
BANDUNG anu jadi hate
Ngabandungan nu Kawasa
Rasa anu nyaksian
Ayana Gusti Nu Wujud
Nu wajib di-pangeranan
7. KEBON JATINA pamanggih
Nu nyata ku perjalanan
Melak hade, buah hade
Ku MAHA asal purwana
Nya temen tinemenan
Buktina ari geus wujud
Ku sim-kuring kalakonan
8. JUMA’AH poe nu suci
Kaliwon pasarannana
Tanggal timbul aya hate
TUJUH welas ka sasama
SEPTEMBER sasih salapan
Tedak Wali-Maha Agung
Salapan etangannana
9. TAUN anu ka-pi-eling
SAREBU sareng SALAPAN
RATUS punjulna sayaktos
DUA PULUH TUJUH nyata
Di SUBANG – PURWAKARTA
CIMERTA nya ngaran kampung
CILEULEUY ngaran walungan
10. Tengah poe sisi cai
Caang padang narawangan
Aneh make aya hate
Cai di-itung lobana
Dibarung kaheranan
Mikiran cai ti gunung
Asalna ngan sing kareclak
11. Tapi palidna kahilir
Sakur anu kaliwatan
Boh sawah atawa kebon
Walatra kabaragian
Tapi teu saat saat ?
Malah samemeh ka laut
Cai anggur ngagedean
12. Kersana Nu Maha Suci
Ku sim-kuring dipikiran
Kapikir asa nu gelo
Kadenge aya sowara
Tapi taya jalmana
Ka kuring mere pitutur
PURWA karta NUSA nyata
13. Karta TENGTREM hate kuring
Ulah sok make itungan
Lamun arek mere maweh
CILEULEUY kudu turutan
CI cai kahirupan
Teu eureun-eureun tutulung
Sapanjangna perjalanan
14. Kamurahan Maha Suci
Saestu taya surudna
Ka nu goreng jeung nu hade
Tanggungan sewang-sewangan
Sing LEULEUY migawena
Ulah kaburu ku napsu
Matak goreng balukarna
15. CIMERTA mertakeun diri
Kahirupan katentreman
SUBANG ge nya kitu keneh
Ngandung harti teu lumayan
SU teh HADE maksudna
BANG nurutkeun galur karuhun
BANGSA pihartieunnana
16. Ari TAUN ngandung harti
Pranatan atawa tata
HIJI nya GUSTI Hyang Manon
SALAPAN Wali-Gustina
DUA kecap tatandingan
Goreng hade, handap luhur
Nu lumrah di alam dunya
17. TUJUH tujuan sing pasti
Kitu harti eta angka
1, 9, 2 teh
Asa gampang ngahartina
Ma’lum kabeh geus aya
Aya di badan sakujur
Terang nyata ku wujud-Na
3. Tanggal HIJI bulan MEI
Poena dina JUMA’AH
Ninggang pasaran KALIWON
Ngitung masehi TAUNna
SAREBU jeung DALAPAN RATUS
Jeung SALAPAN PULUH
TUJUH lalangkungannana
4. Sim-kuring ka dunya lahir
Kitu saur Indung-Bapa
Nu nyaksian lahir batin
Nu wajib dipercayana
Ku sim-kuring sorangan
Tur wajib dipanjang-punjung
Ti dunya tug ka aherat
5. MEI teh pangeling-ngeling
Tanggal bulan kalahiran
Ari tugas anu tangtos
Nyaeta KARTA WINATA
Ngartakeun ku winata
Nepikeun ka hasil maksud
Hasil tina perjalanan
6. Ti PURWA-KARTA mimiti
KARTA di jaman baheula
BANDUNG anu jadi hate
Ngabandungan nu Kawasa
Rasa anu nyaksian
Ayana Gusti Nu Wujud
Nu wajib di-pangeranan
7. KEBON JATINA pamanggih
Nu nyata ku perjalanan
Melak hade, buah hade
Ku MAHA asal purwana
Nya temen tinemenan
Buktina ari geus wujud
Ku sim-kuring kalakonan
8. JUMA’AH poe nu suci
Kaliwon pasarannana
Tanggal timbul aya hate
TUJUH welas ka sasama
SEPTEMBER sasih salapan
Tedak Wali-Maha Agung
Salapan etangannana
9. TAUN anu ka-pi-eling
SAREBU sareng SALAPAN
RATUS punjulna sayaktos
DUA PULUH TUJUH nyata
Di SUBANG – PURWAKARTA
CIMERTA nya ngaran kampung
CILEULEUY ngaran walungan
10. Tengah poe sisi cai
Caang padang narawangan
Aneh make aya hate
Cai di-itung lobana
Dibarung kaheranan
Mikiran cai ti gunung
Asalna ngan sing kareclak
11. Tapi palidna kahilir
Sakur anu kaliwatan
Boh sawah atawa kebon
Walatra kabaragian
Tapi teu saat saat ?
Malah samemeh ka laut
Cai anggur ngagedean
12. Kersana Nu Maha Suci
Ku sim-kuring dipikiran
Kapikir asa nu gelo
Kadenge aya sowara
Tapi taya jalmana
Ka kuring mere pitutur
PURWA karta NUSA nyata
13. Karta TENGTREM hate kuring
Ulah sok make itungan
Lamun arek mere maweh
CILEULEUY kudu turutan
CI cai kahirupan
Teu eureun-eureun tutulung
Sapanjangna perjalanan
14. Kamurahan Maha Suci
Saestu taya surudna
Ka nu goreng jeung nu hade
Tanggungan sewang-sewangan
Sing LEULEUY migawena
Ulah kaburu ku napsu
Matak goreng balukarna
15. CIMERTA mertakeun diri
Kahirupan katentreman
SUBANG ge nya kitu keneh
Ngandung harti teu lumayan
SU teh HADE maksudna
BANG nurutkeun galur karuhun
BANGSA pihartieunnana
16. Ari TAUN ngandung harti
Pranatan atawa tata
HIJI nya GUSTI Hyang Manon
SALAPAN Wali-Gustina
DUA kecap tatandingan
Goreng hade, handap luhur
Nu lumrah di alam dunya
17. TUJUH tujuan sing pasti
Kitu harti eta angka
1, 9, 2 teh
Angka 7 panutupna
Ngajadi perjalanan
Sapanjang aya umur
Perjalanan acan tamat
E. Kegiatan (sepak terjang) MEI KARTAWINATA
Ngajadi perjalanan
Sapanjang aya umur
Perjalanan acan tamat
E. Kegiatan (sepak terjang) MEI KARTAWINATA
Setelah
peristiwa 17 September 1927 di sisi Sungai Cileuleuy itu, Mei
Kartawinata semakin disadarkan tentang makna dan tugas dari seorang
manusia. Hubungan Mei Kartawinata dengan 2 sahabat karibnya, Rasid dan
Soemitra, justru semakin erat dan akhirnya diantara ketiganya berikrar
untuk saling mengakui sebagai satu saudara. Dan karena itu pulalah
muncul istilah “tri tunggal“, dan sebagai bentuk penghormatan kepada
ketiga tokoh ini, biasanya pengikut dari Mei Kartawinata memberi sebutan
“Mama Karta – Mama Rasid dan Mama Soemitra“.
Sejak
peristiwa 17 September 1927 di Cileuleuy - Subang Jawa Barat,
perjalanan spiritual Mei Kartawinata semakin mendapat pencerahan, bukan
saja pencerahan tentang memaknai ilmu kebatinan saja, tetapi
menumbuhkan dan akhirnya makin membangkitkan semangat jiwa nasionalis
dan patroitisme pada diri Beliau.
Paham
dan semangatnya itu, beliau sebarkan di berbagai wilayah Pulau Jawa.
Mei Kartawinata sangat menyadari pentingnya menumbuhkan semangat
kebangsaan dan jiwa patriotisme di kalangan masyarakat, karena saat itu
Negara kita masih dibawah cengkraman bangsa penjajah.
Beliau
sangat aktif dan lantang dalam menyuarakan kemerdekaan dan menentang
aturan-aturan yang dibuat oleh bangsa penjajah yang terkenal kejam dan
licik. Berbagai pergerakan beliau lakukan di berbagai wilayah pada
masa-masa pengungsian dan masa gerilya. Dengan sepak terjang Mei
Kartawinata seperti itu, membuat bangsa penjajah geram, hingga beliau
masuk dalam daftar salah satu orang yang paling dicari. Menurut beberapa
catatan yang ada, Mei Kartawinata sempat merasakan hidup di bui, karena
dianggap membahayakan dan merugikan kepentingan Bangsa Penjajah. Pada
tahun 1937 ditahan di Bandung, kemudian di tahun 1942, saat penjajahan
Jepang dipenjarakan selama 2 bulan di tahanan DAINYI Cigereleng
(pinggiran Bandung selatan), lalu dipindahkan ke penjara Banceuy dan
mendekam selama 2 bulan. Beberapa waktu kemudian masih pada tahun 1942
Mei Kartawinata ditangkap lagi dan dijebloskan ke Penjara Sukamiskin
untuk menjalani vonis selama 2 tahun, namun baru mendekam 3 bulan sudah
dibebaskan, karena didesak seluruh warga ajaran Mei Kartawinata dari
Jawa Barat.
Pada
tahun 1946 ketika di Solo Mei Kartawinata diambil aparat keamanan dan
dipenjarakan di Cirebon kemudian dipindah ke kota Yogyakarta.Setelah
dibebaskan di Yogyakarta. Setelah dibebaskan di Yogyakarta, Mei
Kartawinata dipanggil presiden Soekarno dan meminta agar Mei Kartawinata
meneruskan perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, dan untuk memenuhi
permintaan Bung Karno, selanjutnya Mei Kartawinata membentuk pasukan
Gerilya MACAN PUTIH yang pergerakannya berpusat di Gunung Wilis,
Tulungagung.
Pada
tahun 1950 ketika di Jakarta, Mei Kartawinata ditangkap di Matraman
oleh Tentara Kala Hitam, karena dituduh terlibat Angkatan Perang Ratu
Adil (APRA) dan mendekam selama 3 bulan di Penjara Glodok, Jakarta.
Pada
masa-masa pergerakan itulah, menurut beberapa saksi hidup, Mei
Kartawinata menjalin hubungan dengan Ir. Soekarno. Jalinan hubungan
mereka berdua lebih kepada diskusi dan saling bertukar pikiran dalam
rangka menentukan nasib Bangsa dan merumuskan ide serta konsep Dasar
Negara, yang kemudian dikenal dengan PANCASILA. Sekalipun rumusan
pemikiran Mei Kartawinata tentang Pancasila tidak pernah muncul pada
lembar sejarah bangsa, namun kenyataannya nilai-nilai dan Konsepsi
tentang Pancasila jelas-jelas sudah Mei Kartawinata tuangkan dalam
buku-buku karyanya, yang beliau tulis dan cetak jauh sebelum tahun 1945,
sebelum Indonesia Merdeka.
Selain
dikenal sebagai tokoh Kebatinan, Mei Kartawinata juga aktif dalam
berbagai kegiatan seni, kebudayaan dan politik kebangsaan yang
berlandaskan Pancasila, diantaranya :
1.
Sebagai Dewan Penasehat Pusat Gerakan Latihan Penca Seluruh Jawa dan
Madura pada masa akhir pendudukan Jepang, yaitu awal tahun 1945, yang
beralamat seketariat di Jl. Gambir Barat No.7 Jakarta.
2.
Tokoh penggerak Badan Pembantoe Keamanan Oemeom (BPKO) pada masa
pendudukan Jepang. Mendirikan Mendirikan Perhimpunan Rakyat Indonesia
Kemanusia’an (PRI KEMANUSIAAN).
3.
Bersama-sama JB. Assa, Mr. Iwa Koeseomasumantri, Ir. Lobo, SK Werdojo
mendirikan partai politik PERMAI (Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia).
Mr Iwa Koeseomasumantri |
Mei Kartawinata & Ir. Lobo |
SK Werdojo |
4.
Bersama Mr. Wongsonagoro memprakarsai pembentukan BKKI (Badan Kongres
Kebatinan Indonesia), dan duduk sebagai anggota Presidium dan
selanjutnya menjadi Dewan Penasehat.
5. Ikut memprakarsai dibentuknya PEPADI (Peguyuban Padalangan Indonesia) bersama Mr. Wongsonagoro.
6.
Salah seorang yang memperjuangkan perkawinan penghayat yang dinamakan
PAPENA (Panitia Perkawinan Nasional), namun selanjutnya sejak jaman orde
baru lembaga ini tidak difungsikan.
Di
masa-masa terakhir, Mei Kartawinata menghabiskan waktunya di Jl.
Sukasirna-Cicadas, Bandung dan saat usianya menginjak 70 tahun, beliau
meninggal dunia, tepatnya tanggal 11 Pebruari 1967 dan dikebumikan di
Karangpawitan Desa Pakutandang Ciparay Kabupaten Bandung. Tempat
dikebumikannya (pasarean) beliau itu adalah tempat bekas kamar tidurnya,
ketika Mei Kartawinata sempat tinggal di wilayah tersebut.
Pasarean Mama Mei Kartawinata - Ciparay (2014) |
Sumber:
1) Drs. Adjum Djunaedi, "Riwayat Hidup Bapak Mei Kartawinata"
2) Catatan Yusuf Kartawinata
3) Buku Boedi Daja
B. Potret Cileuleuy
POTRET CILEULEUY
Lokasi : CIMERTA - SUBANG
KARTA TENGTREM HATE KURING
ULAH SOK MAKE ITUNGAN
LAMUN AREK MERE MAWEH
CILEULEUY KUDU TURUTAN
CI CAI KAHIRUPAN
TEU EREUN EUREUN TUTULUNG
SAPANJANGNA PERJALANAN
M. KARTAWINATA
------------------------------------------------------------------------
Oleh : Cakra Arganata
Cileuleuy.
Di sungai inilah tempat dimana Bp. Mei Kartawinata mendapatkan wangsit,
sebagaimana yang tertuang di dalam buku KATINEUNG karya Mama Mei
Kartawinata.
Cileuleuy.......- CI....yang Artinya : CAI HIRUP
- LEULEUY....yang Artinya : LEMAH LEMBUT
Yang mengandung makna, seharusnya kita memakai KESABARAN - KEPASRAHAN (berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan).
Filosofi
air yang bermula hanya setetes demi setetes, mengalir melewati hilir
melalui sawah ataupun kebun semua mahluk hidup mendapatkan jasa dari "
SANG AIR " ini. Tak pernah surut / berhenti mengalir, malah air kian
membesar sebelum bermuara ke lautan. Sungguh
besar jasa air bagi kita dan seluruh mahluk hidup di Bumi ini tanpa
memperhitungkan balas budi atas jasa - jasanya, air terus menolong
seluruh mahluk kepada yang baik maupun yang buruk tanpa henti memberi
sepanjang perjalanannya.
" Contohlah Cileuleuy " itu pesan Mama Mei Kartawinata kepada kita semua sebagai pengikut ajaran-nya.
Galeri Foto :
Nara Sumber & Dokumentasi : - Buku Katineung karya Mei Kartawinata - Dokumen Foto karya Mia Damayanti Sjahir & Wenang Galih - Buku Pamendak Mei Kartawinata "buku bukaeun Kuring" suntingan A. Setia Pujanegara
Terimakasih kepada : - Mia Damayanti Sjahir - Wenang Galih - Aa Sudirman - Warga BUDI DAYA Cicalung - Lembang - Keluarga Wastukencana - Bandung - Keluarga Pa Warsian - Subang - Ibu Fatimah (Putri Mei Kartawinata)
C.Silsilah keturunan Bapak Mei Kartawinata
Oleh : Cakra Arganata
Klik Gambar untuk memperbesar.
Keterangan
:
Putri
bapak Mei Kartawinata yang masih jumeneng
(hidup) adalah :
- Ibu Lilih Rohinah Kartawinata, yang kini bertempat tinggal di Cijambe - Ujung Berung Bandung.
- Ibu Fatimah Kartawinata (Ibu Empat), yang kini bertempat tinggal di Soreang - Bandung.
Narasumber :
- Ibu Empat (Fatimah Kartawinata) - Putri Bapak Mei Kartawinata.
- Ibu Lilih (Lilih Rohinah Kartawinata) - Putri Bapak Mei Kartawinata.
- Buku "BUDI DAYA" Karya Mei Kartawinata
Catatan kaki : Dimohonkan
bantuannya bagi warga / masyarakat umum yang memiliki dokumentasi foto putra dan
putri bapak mei kartawinata. untuk dapat kami masukan ke dalam silsilah. Terima
kasih.
Comments