Metrotvnews.com, Jakarta: Penghayat kepercayaan,
penganut agama leluhur, dan pelaksana ritual adat kerap mengalami
diskriminasi. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat ada 115 kasus
kekerasan dan diskriminasi yang dialami mereka dari rentang 2011-2015.
Setidaknya ada 65 kasus diskriminasi dari 115 kasus yang ditemukan Komnas Perempuan selama pemantauan. Pemantauan dilakukan terhadap 10 komunitas penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur, dan pelaksana ritual adat di 9 provinsi.
Setidaknya ada 65 kasus diskriminasi dari 115 kasus yang ditemukan Komnas Perempuan selama pemantauan. Pemantauan dilakukan terhadap 10 komunitas penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur, dan pelaksana ritual adat di 9 provinsi.
Ketua Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional Komnas
Perempuan Khariroh Ali menjelaskan, ada 115 kasus yang ditemukan dari 87
peristiwa kekerasan dan diskriminasi yang dialami 57 perempuan
penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur, dan pelaksana ritual
adat.
"Setengah dari 65 kasus diskriminasi adalah kasus pengabaian dalam administrasi kependudukan," kata perempuan yang akrab disapa Riri itu di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (3/8/2016).
Selain kasus pengabaian administrasi pendudukan, terdapat sembilan kasus pembedaan dalam mengakses hak atas pekerjaan. Delapan kasus pembedaan dalam mengakses pendidikan, tiga kasus dihalangi menerima bantuan pemerintah, lima kasus dihambat beribadah, dan satu kasus pelarangan berorganisasi keyakinan.
Riri mengatakan, Komnas Perempuan bekerja sama dengan perempuan penghayat kepercayaan untuk mendapatkan data dan laporan. Komnas Perempuan juga memberikan penyuluhan dan membantu penghayat keepercayaan agar pulih dari trauma.
"Kita selalu bantu mereka untuk menguatkan korban. Itu juga bagian dari pemulihan korban itu sendiri yang selama ini mereka terdiskriminasi dan pulih martabatnya," kata Riri.
Sunda Wiwitan merupakan salah satu kepercayaan dan agama leluhur yang saat ini ada. Dewi Kanthi, salah satu penganut, menceritakan ragam kesulitan yang dialami penganut Sunda Wiwitan dalam mengurus berbagai macam hal. Sunda Wiwitan, kata Dewi, tak terdaftar sebagai sebuah organisasi yang dianjurkan negara.
"Sebetulnya kami bukan tidak mau tertib administratif. Setiap peristiwa penting dalam hidup kami, lahir, menikah, dan mati kami melapor kepada negara, kami harap negara mencatat setiap peristiwa berakibat hukum. Tapi dalam prosesnya ketika di UU Administrasi Publik ketika kolom KTP dikosongkan, dampaknya panjang," kata Dewi.
Berbagai stigma dilekatkan kepada penganut kepercayaan seperti sesat dan kafir. Ketika melakukan perkawinan, hambatan lain datang. Negara tak bisa mengakui pernikahan penganut Sunda Wiwitan sebagai pernikahan yang sah.
Aturan negara mengharuskan pasangan penganut kepercayaan dinikahkan pemuka agama yang terdaftar dalam organisasi. Sementara, dalam pernikahan secara adat penganut Sunda Wiwitan mempelai dinikahkan dan disahkan oleh orangtua.
"Sesepuh adat hanya menyaksikan, mengesahkan orangtua. Ketika itu tidak dianggap, perkawinan dianggap tidak sah, dan anak kami ketika lahir kalau pun ada akta lahir dituliskan sebagai anak seorang ibu. Padahal ayahnya ada," jelas dia.
Tak hanya persoalan dokumen kelahiran dan pernikahan. Permasalahan juga kerap dihadapi penganut kepercayaan yang bekerja di instansi pemerintah. Penganut Sapta Dharma Dian Jennie mengatakan, banyak penghayat kepercayaan tak berani mengosongkan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka. Sebab, ada banyak konsekuensi yang akan dirasakan.
"Termasuk sumpah jabatan yang selalu jalan buntu, ini selalu berkaitan dengan aturan yang belum ada. Sehingga banyak PNS yang belum berani juga mengungkapkan, ini kalau dikosongkan nanti susah," jelas Dian.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2016
Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, selama satu tahun menjabat tak pernah mendapatkan laporan terkait kesulitan penganut kepercayaan dalam mengurus berbagai surat kependudukan.
Apalagi, kata dia, saat ini pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Akta Kelahiran.
Setiap bayi yang lahir, kata Zudan, diberikan akta kelahiran. Pemerintah telah mempermudah persyaratan untuk menerbitkan akta kelahiran. Untuk akta kelahiran pemerintah menargetkan 77 persen anak Indonesia harus memiliki akta kelahiran dalam tahun ini. Kini, baru 67 persen anak Indonesia yang memiliki akta kelahiran.
"Permendagri Nomor 9 Tahun 2016 itu tidak perlu lagi pengantar RT dan RW," kata dia.
Zudan menegaskan, peristiwa kependudukan sangat penting untuk dicatat. Selain kelahiran, Zudan mengatakan, selama satu semester 2016 sudah ada 82 pernikahan yang dilakukan penganut kepercayaan yang tercatat di Ditjen Dukcapil.
"Pada tahun ini ada perkwinan penganut kepercayaan dan penghayat yang tercatat di Dukcapil, ada 82 perkawinan seluruh Indonesia," kata dia.
Zudan mengatakan, Pemerintah bertugas mencatat setiap kejadian penting dalam hidup masyarakat, seperti kelahiran dan perkawinan. Untuk perkawinan, pemerintah tak punya tugas mengesahkan, tapi hanya mencatat.
"Yang harus dicatat itu dokumen. Karena itu akan lebih mudah prosesnya bila ada dokumen. Masalah sering ditemui karena tidak ada dokumen sama sekali," kata Zudan.
(MBM)
http://m.metrotvnews.com/news/hukum/8Ky9gZ2K-penghayat-kepercayaan-alami-diskriminasi-administrasi-publik
Comments