Kecenderungan menjadikan Islam
sebagai bahan hinaan dalam karya sastra, memang ciri khas orientalis
yang pada abad XVII – XIX yang didominasi kalangan teolog Kristen
termasuk Serat Darmagandhul
Oleh: Arif Wibowo
“Dallikal, yen turu
nyengkal wadine nyengkal, tegesipun kitabulla, natap mlebu ala wadi,
tegese rahabapi, rahaba kang gawe sampur, hudan lil muttakina, yen wis
wuda jalu estri, den mutena jroning ala-jroning ala.” (Serat Darmagandhul).
[Dzalikal: jika tidur kemaluannya nyengkal (bangkit), kitabu la, kemaluan lelaki masuk di kemaluan perempuan dengan tergesa-gesa, raiba fihi : perempuan yang pakai kain, hudan : telanjang (wuda), lil muttaqien :
sesudah telanjang, kemaluan lelaki termuat dalam kemaluan wanita
(diterjemahkan oleh Prof. Dr. H.M. Rasyidi dalam Islam dan Kebatinan,
hal. 17)]
MENJADIKAN Islam sebagai bahan olok-olokan adalah
ciri utama dalam Serat Darmagandul, sebuah sastra anonim yang ditulis
abad Misi, sebuah masa dimana politik asosiasi atau yang lebih tepat
westernisasi dan politik kristenisasi berjalan sangat intens.
Istilah-istilah kunci dalam agama Islam, diputar balikkan maknanya oleh
Darmagandhul dengan metode othak-athik gathuk (mengait-ngaitkan) seperti istilah sadat sarengat (syhadat dan syari’at) di artikan dengan yen sare wadine njengat (kalau tidur kemaluannya berdiri), tarekat itu taren kang estri
(mengajak istri bersetubuh), sedangkan lafal Muhammad diartikan sebagai
makam, kuburan segala rasa, yang berarti memuja diri sendiri, bukan
memuji Muhammad yang lahir di tanah arab.
Selain Darmagandul, juga ada serat Gatoloco, dimana
dalam serat yang juga anonim ini, istilah-istilah inti dalam Islam
diasosiasikan dengan hal-hal yang bersifat cabul. Seperti kata Allah
diartikan ala, yang rupanya jelek, yang dimaksud adalah wujud kemaluan
laki-laki, sedangkan naik haji ke Makkah diartikan sebagai proses
persetubuhan dimana poisisi istri saat bersetubuh mekakah (Rasjidi, 1967
: hal. 9-39).
Merebaknya sastra anonim di kalangan elit Jawa, tidak terlepas dari
kekalahan Pangeran Diponegoro pada perang Jawa 1825 – 1830. Meskipun
Belanda memenangkan perang besar ini, namun biaya yang ditanggung sangat
besar. Kondisi keuangan Kerajaan Belanda hampir bangkrut karenanya.
Untuk menutupi kerugian tersebut, pemerintah Belanda menerapkan
kebijakan politik tanam paksa (Cultuur Stelsel). Sistem tanam
paksa mengharuskan para menanami seperlima lahan yang dimiliki dengan
tanaman komersial yang sudah ditentukan pemerintah Belanda. Untuk
menjalankan politik tanam paksa ini, pemerintah kolonial Belanda
menaikkan derajat para bupati mejadi ningrat, dengan syarat para bupati
harus melaksanakan kehendak residen Belanda. Sedangkan penduduk pribumi
dituntut kepatuhan mutlak sebagai budak (Kahin, 2013 : 12). Belanda
menangguk untuk yang besar dengan politik tanam paksa ini, utang VOC
sebesar 35.500.000 gulden berhasil dilunasi, bahkan kas negeri Belanda
bertambah sebesar 664.500.000 gulden.
Proses penganakemasan kalangan bupati dan para ningrat yang lazim
disebut priyayi ini, akhirnya menjadikan para priyayi sebagai kelas
tersendiri dalam masyarakat Jawa. Bukan hanya kelas sosial tetapi juga
orientasi spiritualnya. Berkaca dari kekalahan Pangeran Diponegoro, bagi
para priyayi tersebut, menandakan takluknya seluruh Jawa kepada
pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga ketaatan bukan lagi tertuju
pada kewibawaan Islam, melainkan kepada apa yang disebut kewibawaan
Kristen (Akkeren, 1995 : 56).
Benih-benih sentimen anti Islam pun mulai bermunculan. Para priyayi
tersebut beranggapan bahwa peralihan keyakinan masyarakat Jawa ke agama
Islam Islam adalah sebuah kesalahan peradaban dan bahwa kunci kepada
modernitas yang sesungguhnya terletak pada penggabungan pengetahuan
modern ala eropa dengan restorasi kebudayaan Hindu Jawa. Apa yang
menjadi pandangan kaum priyayi Jawa tersebut berasal dari Snouck
Hurgronje, dimana menurut Snouck dengan penetrasi pendidikan model
Baratlah pengaruh Islam di Indonesia bisa disingkirkan atau sedikitnya
dikurangi. Pendidikan juga akan menghilangkan jarak kultural orang
Belanda dengan para bangsawan dan kaum aristokrat Indonesia. Selain itu
posisi mereka yang relatif “bersih” dari pengaruh Islam, para priyayi
tersebut merupakan kelompok sosial yang paling cocok untuk ditarik masuk
ke dalam orbit kebudayaan Barat dan dijadikan sebagai rekanan (Shihab,
1998 : 86)
Islam dipandang sebagai penyebab mundurnya wujud paling agung dari
kebudayaan tersebut, Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1870-an para penulis
dari Kediri meramu gagasan-gagasan semacam ini di dalam tiga karya
sastra yang mengagumkan, Babad Kedhiri, Suluk Gatholoco dan Serat Darmogandhul,
yang merendahkan dan mengolok-olok Islam. Karya yang disebut terakhir
ini meramalkan bahwa penolakan terhadap Islam akan terjadi empat abad
setelah kejatuhan Majapahit –ini mungkin ditulis untuk memperingati
sebuah sekolah milik pemerintah bagi kaum elite di Probolinggo pada
tahun 1878, atau 400 tahun setelah runtuhnya Majapahit sebagaimana
secara tradisional diyakini dan bahkan orang Jawa akan menjadi pemeluk
Kristen. (Ricklefs, 2012 : 53-54).
Pemilihan Kejawen bukannya Kristen sebagai jalan spiritual oleh para
priyayi tersebut disebabkan dalam pandangan masyarakat Jawa pada
umumnya, kekristenan identik dengan penjajahan yang menyengsarakan
rakyat banyak. Orang-orang Kristen Jawa sering dicemooh dengan ungkapan
londo wurung jowo tanggung (belum berhasil menjadi Belanda dan tanggung/tidak sepenuhnya menjadi orang Jawa, lali jawane (orang jawa yang lupa akan kejawaannya), dan sebagainya. Mereka juga sering dijuluki toewan gendjah
(tuan yang belum matang) (Aritonang, 2006 : 99). Agar tidak berhadapan
dengan masyarakat pada umumnya, para priyayi tersebut menolak untuk
dikristenkan, seperti yang digambarkan Ricklefs;
“Sekitar tahun 1870, seorang Bupati menegaskan komitmennya untuk
tetap memeluk Islam dalam pengertian yang lebih instrumentalis daripada
spiritual. Dia telah menunjukkan antusiasismenya terhadap segala sesuatu
yang berbau Belanda. Karenanya seorang kenalan Belanda bertanya
kepadanya, bilakan ini berarti bahwa dia akan beralih menjadi Kristen.
Bupati tersebut menjawab, “Ah, ….. sejujurnya, saya lebih senang
memiliki empat orang istri dan satu Tuhan dariapada satu istri dan tiga
Tuhan.” (Ricklefs, 2012:52)
Sastra Kejawen, Penginjilan Jalan Memutar
Sistem tanam paksa dijalankan pada era Gubernur Jendral Van den
Bosch. Selain sebagai gubernur, ia juga merupaka ketua di Nederland
Bijbelgenootschap. Pada tanggal 27 Februari 1932, Van den Bosch
mendirikan Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa
Jawa). pada 27 Februari 1832. Selain untuk mempelajari bahasa dan seluk
beluk Jawa, lembaga ini diharapkan berfungsi sebagai institusi
pendamping penerjemahan Bible ke dalam Bahasa Jawa. (Simbolon, 2007
:127). Lembaga ini merupakan tempat berkumpul para ahli-ahli Jawa
berkebangsaan Belanda. Para javanolog Belanda ini lebih jauh menggali
kesusastraan, bahasa dan sejarah Jawa kuno yang telah lama menghilang di
kalangan orang Jawa. Para Javanolog Belanda mengembalikan tradisi Jawa
kuno (Jawa pra Islam) dan menghubungkannya dengan Surakarta. Javanolog
Belanda lah yang “menemukan”, “mengembalikan” dan “memberikan makna
terhadap Jawa masa lalu. Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya,
mereka harus melalui screening pemikiran Javanolog Belanda (Shiraishi,
1997 : 7-9)
Apa yang dilakukan oleh para Javanolog Belanda dalam mengolah sastra
Jawa tersebut mirip dengan kisah pertemuan Flaubert dengan Kuchuk Hanum,
pelacur Mesir yang dikisahkan oleh Erward Said, dalam magnum opusnya, Orientalisme.
Sastra Jawa sekedar menjadi boneka timur para Javanolog, dan semuanya
dibuat tanpa ada kesepakatan bersama. Kuchuk Hanum, si pelacur, tidak
pernah berbicara tentang dirinya, tidak pernah mengungkapkan
perasaannya, kehadirannya, atau riwayat hidupnya kepada Flaubert. Akan
tetapi, kondisi Kuchuk Hanum yang lemah dan miskin secara material tidak
berdaya, menjadikan Falubertlah yang justru berbicara atas nama dan
mewakili dirinya. (Said, 2010 : 8) Kartini memandang resah fenomena ini,
sebagaimana tertuang dalam salah satu suratnya kepada temannya di
Eropa.
“Ada banyak, ya banyak, pejabat (Belanda) yang membiarkan para
pemimpin pribumi mencium kaki dan dengkul mereka. Dalam banyak cara yang
halusm mereka menjadikan kami merasa bahwa kami berbeda dari mereka.
Seakan-akan mereka berkata “Saya orang Eropa, kamu orang Jawa,” atau
“Saya tuan, kamu hamba.” Dan bahkan banyak orang Belanda yang tidak
begitu suka berbicara kepada kami dalam bahasa mereka. Bahasa Belanda
terlalu indah untuk diucapkan oleh mulut berwarna coklat” (Alwi Shihab,
1998 : 96)
Dan arah dari sastra anonim seperti Darmagandhul ini, oleh Susiyanto,
dosen IAIN Surakarta yang meneliti serat Darmagandul menunjukkan
beberapa paragraf yang secara eksplisit mencita-citakan kekristenan
orang-orang Jawa. [Baca: Menyibak Misi Kristen di Balik Darmagandul]
Serat ‘Arab djaman wektu niki,sampun mboten kanggo,resah sija
adil lan kukume, ingkang kangge mutusi prakawis, Serate Djeng Nabi,Isa
Rahu’llahu.(Anonim, 1955:6) (Serat Arab jaman waktu ini sudah tidak
terpakai, hukumnya meresahkan dan tidak adil, yang digunakan untuk
memutusi perkara Serat Kanjeng Nabi Isa Rahullah).
”Wong Djawa ganti agama, akeh tinggal agama Islam bendjing,
aganti agama kawruh, ….”(Anonim, 1955:93). (Artinya, “Orang Jawa ganti
agama, besok banyak yang meninggalkan Islam, berganti (menganut) agama
kawruh (agama budi, nasrani)”)
Kecenderungan menjadikan Islam sebagai bahan hinaan dalam karya
sastra, memang ciri khas orientalis yang pada abad XVII – XIX yang
didominasi kalangan teolog Kristen. Di Eropa misalnya, kita bisa
mengambil contoh karya Dante, The Divine Comedy. Maometto
–Muhammad- oleh Dante ditempatkan pada lapisan kesembilan dan sepuluh
lapisan Bogias of Maleboge, gugusan parit kelam yang mengelilingi kubu
setan di neraka. Dalam pandangan Dante, Muhammad dikategorikan penyebar
skandal dan perpecahan, dengan hukuman tubuhnya terus menerus dibelah
dua dari dagu hingga ke anus, bagaikan, kata Dante, sepotong kayu yang
papan-papannya dirobek-robek. (Said, 2010 : 101-102).
Penutup
Meskipun sebagai sastra anonim yang tentu saja tidak bisa dipertanggung jawabkan, akan tetapi sampai hari ini, baik Darmagandul maupun Gatoloco
masih terus direproduksi. Bukan hanya bukunya yang terus mengalami
cetak ulang, namun tasfir atas kedua serat tersebut juga ditulis oleh
banyak pihak.
Pebenturan antara Jawa dengan Islam dalam kedua serat tersebut,
menjadi patokan dalam karya-karya para misionaris seperti Hendrik
Kreamer, Schuurman, Van Lith dan Ten Berge di masa kolonial, dan
beberapa nama penting di masa sekarang seperti Jan Bakker, Frans Magnis
Suseno, J.B. Banawiratmaja, SJ dan Harun Hadiwiyono. Hal ini menurut
Azyumardi Azra merupakan strategi misionaris Kristen untuk menghadapi
Islam di Indonesia. Dengan menggali unsur pra Islam dalam kebudayaan
lokal, untuk kemudian memisahkannya secara oposisional, seperti Syari’at
dengan kebatinan, etika Islam dengan etika Jawa, mengikuti argumen
William Roff, guru besar Emiritus Columbia University, bukan hanya untuk
menjadikan Islam menjadi kabur (obscure) tapi juga memberi peluang
lebih besar bagi keberhasilan misionaris (Steenbrink, 1995 :xxii).
Namun, sayangnya, bidang sastra dan kebudayaan, menjadi anak tiri
dalam wacana dakwah Islam. Umat Islam, baik awam maupun para
cendekiawannya, tidak mempunyai skema relasi Islam dengan kebudayaan
lokal, ataupun strategi Islamisasi kebudayaan sebagaimana para
pendahulunya. Dari hari ke hari, kebudayaan Jawa makin menjauh dari kaum
muslimin, sehingga dari hari ke hari, kebudayaan makin menjadi milik
kaum Kejawen dan Kristen. Proses kreatif Islamisasi budaya Jawa seperti
mandeg, Kemandegan ini akan merugikan dakwah Islam di tanah Jawa. Karena
itu, dakwah di bidang kebudayaan harus menjadi agenda serius mulai
sekarang, bila umat Islam tetap ingin sebagai tuan rumah di tanah Jawa.*
Penulis adalah peniliti pada Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo
Daftar Pustaka
Alwi Shihab, Membendung Arus, Respon Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Bandung : Mizan, 1998)
Anonim, Darmagandul. Cetakan IV. (Kediri : Penerbit Tan Khoen Swie, 1955)
Erdward Said, Orientalisme, Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur Sebagai Subjek, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010).
George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2013)
H.M. Rasjidi, Prof. Dr, Islam dan Kebatinan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1967)
Jans Aritonang, Pdt. Dr, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2006)
Karel Steenbrink, Kawan Dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), (Bandung : Mizan, 1995)
M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa, Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai sekarang, (Jakarta : Serambi, 2013)
Parakitri Simbolon, Menjadi Indonesia, Cetakan III, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 20017)
Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus, Sebuah Kajian Tentang Gereja Pribumi di Jawa Timur, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1995)
Susiyanto (Tesis), Misi Kristen dan Orientalisme dalam Serat Darmagandhul, (Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2010).
Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1997).*
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Comments