"Karena itu tarekat Subud tidak memiliki teori kebatinan, meski yang dijalani bentuknya adalah tirakat batin, karena batin setiap orang berbeda. Lebih jelas lagi menurut sumber subud.org, apa yang diterima oleh satu orang tidak sama dengan yang diterima oleh orang lain. Semua orang akan menemukan sendiri bagaimana sregnya menghadap Tuhan, dan apa yang sreg
buat orang tertentu mungkin akan kisruh buat orang lain. Itulah
sebabnya, tidak dibenarkan mengira bahwa setiap orang harus sama dengan
Muhammad Subuh atau meneladaninya. Kita harus mewujudkan kerohanian kita
sendiri bila ingin nanti menemukan jalan menuju Tuhan. Dalam Subud
tidak ada perbedaan antara agama satu dan lainnya, karena yang tumbuh
ialah kesejatiannya, yaitu apa yang sudah ada di dalam masing-masing
manusianya. Jadi, jika seorang Kristen, dia akan menemui sejatinya
Kristus, bila seorang Buddhis, ia akan menemui sejatinya Buddha di alam
rohaninya. Demikian juga untuk seorang Muslim, tentu akan bertemu dengan
kemurnian Islam. Subud tidak bermaksud memisahkan manusia dari
agamanya, malah kebalikannya. Subud, melalui proses pembersihan diri,
memungkinkan para anggotanya mengamalkan ajaran agama masing-masing,
karena lambat laun mereka dapat menjadi manusia sejati sesuai dengan
kehendak Tuhan. Sebab, dalam berbakti kepada Tuhan tidak boleh ada
paksaan"
Oleh: Setiadi R. Saleh
Subud
bukanlah agama baru, bukan sempalan dari agama yang sudah ada. Inti
dari Subud adalah menunjukkan bagaimana jiwa dapat dilatih sesuai dengan
tradisi agama besar umat manusia, sesuai pula dengan kondisi batin dari
setiap individu pemeluk agama untuk lebih dekat lagi kepada agamanya.
Menurut pendiri “tarekat Subud” almarhum R.M. Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo yang disarikan dalam situs subud.org: “Subud
merupakan singkatan dari kata-kata Susila—Budhi—Dharma. Susila Budhi
Dharma mengandung arti memenuhi kehendak Tuhan bersendikan
Kekuasaan-Nya, yang berkarya baik di dalam maupun di luar diri kita,
sambil menyerah kepada Kehendak Tuhan Yang Mahakuasa. Susila Budhi
Dharma merupakan lambang tindak-tanduk kita di dalam latihan kejiwaan
Subud, artinya apa saja yang terjadi di dalam latihan kejiwaan Subud
sungguh-sungguh merupakan Kehendak Tuhan. Hal ini cocok dengan kitab suci Alquran, Injil, dan lain-lainya, bahwa Tuhan selalu dekat kepada
manusia, bahwa Tuhan memberikan apa saja yang dibutuhkan manusia. Apa
yang harus kita serahkan kepada Tuhan? Bukan harta benda kita, bukan apa
yang kita cintai, apalagi apa yang kita miliki, karena Tuhan tidak
membutuhkan semua itu. Yang harus kita serahkan ialah akal-pikiran,
hati, dan nafsu, karena itu semua merupakan alat-alat yang selalu
menghalang-halangi kita kalau mau dekat kepada Tuhan. Itu yang dimaksudkan bahwa Tuhan selalu dekat kepada
kita kalau penyerahan kita kepada Tuhan melebihi segala-galanya,
termasuk cinta kepada diri sendiri. Oleh karena itu, cinta kita melalui
hati dan rasa selalu menjadi rintangan yang menghalang-halangi cinta
sejati kepada Tuhan. Sebab cinta lahiriah, yang kita anggap cinta, hanya
tertuju kepada barang-barang. Cinta kepada Tuhan harus lebih besar dan
lebih dalam daripada cinta lahiriah.”
Ini
mengingatkan kita bahwa siapa saja yang mengatakan ia tahu di mana
jalan menuju ke Tuhan sebenarnya mendahului pemberian Tuhan sebelum ia
dapat menerimanya. Sebagian orang bijak berkata: "Asal engkau pasrah
kepada Tuhan dengan ikhlas dan jujur, Tuhan akan memayungi dirimu."
Sebagian filsuf memberi petunjuk lain, “Jalan menuju Tuhan sebanyak
jumlah bintang-bintang di langit. Tetapi, terkadang kita memilih jalan
memutar, bukan jalan lurus menuju Tuhan.”
Sejumlah
tokoh yang pernah bertemu dengan Bapak, demikian M. Subuh biasa disapa
memiliki kesan mendalam. Istimah Week bahkan menuliskannya dalam buku The Man from East.
Ia menjelaskan pengalamannya sebagai Katolik bersama keluarganya
tinggal di pulau Jawa dengan Pak Subuh. Tersebutlah bahwa sejak bertemu
dengan M. Subuh dalam pribadinya terjadi pemurnian, perkembangan
kesadaran, dan meningkatkan kesadaran batin yang menuntunnya kepada
jalan rohani tanpa harus meninggalkan keyakinannya.
Sejak berdiri tahun 1925, Subud sudah tersebar di antero dunia. Komunitasnya terdapat di hampir seluruh negara
dengan 385 grup, dan sudah sering mengadakan kongres bertaraf
internasional di bawah Asosiasi Subud Sedunia (World Subud Association,
WSA). Kongres-kongres diadakan di Kolombia, Australia, Inggris, Kanada,
Jerman, Indonesia, Jepang, dan Amerika Serikat.
Haruskah Manusia Terikat kepada Agama?
Kehilangan
motivasi dan lelah berpikir tentang Tuhan menjadi tanda bahwa harapan
manusia akan agama mulai berubah-ubah. Kitab agama tidak lagi
‘diperalat’ sebagai sumber mutiara segala ilmu. Tetapi, sebagai ‘sesuatu
yang dipakai sekedarnya saja.’ Misalkan, ketika individu atau
masyarakat mengalami kungkungan, penindasan dan dibelit persoalan. Tuhan
menjadi tempat mengadu. Sedangkan pedoman agama adalah sisi lain yang
diasingkan. Seolah tata-laku ibadah ketika berjumpa dengan Allah SWT
ditiadakan—dinihilkan. Padahal dalam urutan yang abstrak perjalanan
menuju Tuhan dalam pandangan Islam diperlukan syariat, tarekat, hakikat,
makrifat, dan terakhir Jalan Cinta (mahabbah). Guru-guru tasawuf
menganjurkan agar jangan melampaui makrifat nanti “terbakar.” Hakikat
tidak mungkin tercapai tanpa syariat yang benar dan ini diamini oleh
Syaikh Abdul Qadir Jaelani.
Idries Shah (1926-1996), penulis tasawuf kelahiran India, dalam hal ini menyatakan
Subud adalah bentuk popularisasi dan barangkali polarisasi dari tasawuf
dan latihan kejiwaan. Subud tidak ubahnya olah batin cara sufi.
Muhammad Subuh muda pernah berguru kepada Kiai Abdurrahman—guru tarekat Naqsabandiyah di Kota Semarang. Maka tak heran, dalam buku Jalâ’ al-Khawâthir
karangan Syaikh Abdul Qadir Jaelani pendiri tarekat Naqsabandiyah
terdapat cara-cara latihan kejiwaan seperti yang dipraktikkan oleh
tarekat Subud.
Mengapa
manusia beragama? Menurut Murtadha Muthahhari karena fitrah dalam diri
manusia selalu mencari kebenaran hakiki, kebenaran tertinggi yang tidak
terbantahkan. Manusia condong kepada kebaikan, keindahan, hati dan cinta. Hati mempunyai akalnya sendiri yang tidak dimengerti oleh akal.
Agama bagi manusia memiliki fungsi pemenuhan hajat
hidup. Max Weber memandang fungsi maknawi sebagai dasar bagi semua
agama. Agama menyajikan wawasan kosmos. Karenanya segala ketidakadilan
dan penderitaan, kematian dapat dipandang sebagai sesuatu yang penuh
makna. Agama berulang kali digugat dan bahkan coba digantikan—dimatikan
dengan ideologi sejenis agama. Tetapi, agama malah terus berkembang.
Mengapa? Karena agama adalah fitrah.
H.G.
Sarwar mengiaskan agama tanpa filsafat bagai kerang yang kosong. Lain
hal menurut Gibran yang menganut agama cinta. Cintalah yang memayungi
iman, rasio, serta teologi. Orang suci percaya, manusia yang paham cinta
murni, ia tidak dimiliki dunia tetapi memiliki dunia. Kebanyakan orang
lebih memilih merasa menderita, sedih, kecewa, dan sebagainya daripada
merasa gembira dan mengendalikan kemauan guna meruapkan cinta batini.
Karena itu tarekat Subud tidak memiliki teori kebatinan, meski yang dijalani bentuknya adalah tirakat batin, karena batin setiap orang berbeda. Lebih jelas lagi menurut sumber subud.org, apa yang diterima oleh satu orang tidak sama dengan yang diterima oleh orang lain. Semua orang akan menemukan sendiri bagaimana sregnya menghadap Tuhan, dan apa yang sreg
buat orang tertentu mungkin akan kisruh buat orang lain. Itulah
sebabnya, tidak dibenarkan mengira bahwa setiap orang harus sama dengan
Muhammad Subuh atau meneladaninya. Kita harus mewujudkan kerohanian kita
sendiri bila ingin nanti menemukan jalan menuju Tuhan. Dalam Subud
tidak ada perbedaan antara agama satu dan lainnya, karena yang tumbuh
ialah kesejatiannya, yaitu apa yang sudah ada di dalam masing-masing
manusianya. Jadi, jika seorang Kristen, dia akan menemui sejatinya
Kristus, bila seorang Buddhis, ia akan menemui sejatinya Buddha di alam
rohaninya. Demikian juga untuk seorang Muslim, tentu akan bertemu dengan
kemurnian Islam. Subud tidak bermaksud memisahkan manusia dari
agamanya, malah kebalikannya. Subud, melalui proses pembersihan diri,
memungkinkan para anggotanya mengamalkan ajaran agama masing-masing,
karena lambat laun mereka dapat menjadi manusia sejati sesuai dengan
kehendak Tuhan. Sebab, dalam berbakti kepada Tuhan tidak boleh ada
paksaan.[]
Comments