Dari kecil, saya memang orang yang tidak mudah percaya dengan hal-hal
diluar logika, apalagi yang menentang logika. Iman dan dogma,
jelas-jelas bagi saya adalah sebuah pembodohan. Dimana untuk memudahkan
pemuka agama, agar dapat berlindung di balik ketidak sanggupannya untuk
menjelaskan hal-hal yang memang tidak ada. Dari kecil pula, saya adalah
orang yang sangat tidak senang dengan standar ganda. Sementara di
beberapa agama (tidak semua), melakukan standar ganda. Juga hal yang
saya paling benci adalah, orang-orang yang berpenampilan agamis, tetapi
amoralis.
Keluarga saya sebenarnya, mayoritas memeluk agama Islam (abad ke-7), dan
sebagian memeluk Kristen Katolik (abad ke-1). Tetapi spiritual saya
mencoba untuk mengikuti dan mempelajari agama Hindu (40 abad sebelum
Masehi) yang artinya Kebenaran Abadi, agama yang diyakini sebagai
agama pertama di dunia, dan baru mempelajari agama-agama Rasul. Dari
perjalanan spriritual saya tersebut, saya terus terpanggil oleh agama
lokal yang pernah saya pelajari secara sekilas, yakni agami Jawi yang
eksis pada tahun 4425 (44 abad sebelum Masehi).
Tetapi memang, agama yang juga disebut sebagai kepercayaan atau
keyakinan, kalau tidak percaya dan tidak yakin apalagi tidak cocok di
hati, selalu saja mengganggu pikiran di hati pemeluknya. Sehingga pada
12 Oktober 2007 (Idul Fitri) saya telah bulat memutuskan untuk menjadi
seorang Kejawen Sejati, dan meninggalkan agama yang tertera di KTP saya.
Sebelum benar-benar ingin memeluk Agami Jawi, saya mohon izin kepada ibu
saya, kalau saya akan menjadi atau menjalani Agami Jawi secara utuh,
yakni sebagai seorang Kejawen Sejati atau Kejawen tanpa embel-embel
agama lain (Islam Kejawen, Kristen Kejawen, Hindu Kejawen, dll), seperti
yang banyak dianut oleh orang-orang Indonesia saat ini. Pesan ibu saya,
“Kalau kamu mau jadi seorang Kejawen Sejati, jangan pernah belajar pada
orang lain.” Pesan singkat itu, pada awalnya membuat saya terus
bertanya-tanya. Tetapi setelah kurang lebih tiga bulan saya lakoni semua
dengan Olah Roso, maka mulai berdatangan jawaban-jawaban. Hal ini
menjawab semua pertanyaan, mengapa saya tidak boleh belajar pada orang
lain.
Dari waktu ke waktu saya mulai mendapatkan pencerahan, sampai-sampai hal
yang tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya, muncul dengan
sendirinya. Dari mulai dasar-dasar ucapan do’a kepadaNya hingga cara
sembahyang.
Saya akan bagi pengalaman saya ini si sini, tetapi saya yakin kalau anda
ingin menjadi seorang Kejawen Sejati, anda pun dapat melakukannya
dengan cara Olah Roso. Filosofi dasar Olah Roso adalah empati, yakni
kalau kamu tidak mau disakiti jangan menyakiti, dan kalau kamu ingin
dihormati orang lain kamu pun harus menghormati orang lain pula.
Karena tidak satu manusiapun di dunia ini yang dapat mendikte pola hubungan seseorang dengan Sang Pencipta, karena setiap orang memiliki hubungan yang khusus dan unik langsung kepada Sang Pencipta. Jadi tidak satu orang pun, yang berhak mengaku-aku dirinya dapat menyeragamkan pola hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Sebagai analogi, Kedjawen memberikan anda pancing dan bukan ikannya, dengan demikian anda akan mendapatkan pemahaman yang hakiki mengenai Sang Pencipta dalam diri anda (Manunggaling Kawulo Gusti).
Etimologi
Di dalam tulisan ini bila ditemukan kata Kedjawen itu adalah
sebuah agama lokal pertama yang lahir di Indonesia (Nusantara), yang
dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa, dan suku bangsa lainnya yang
tinggal atau menetap di pulau Jawa. Artinya Kedjawen (dengan huruf d) adalah sebuah agama atau kepercayaan atau keyakinan.
Sedangkan kata Kejawen, yangberasal dari kata Jawi, adalah sebagai kata benda yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia, yaitu seorang yang berbudi luhur.
Sehingga Kejawen juga sebagai sebutan/predikat bagi pemeluk Kedjawen
(agama Jawi), sebagai contoh, pemeluk agama Islam disebut sebagai
Muslim, pemeluk agama Kristen sering disebut Nasrani.
Dalam konteks umum, Kejawen merupakan agama lokal Indonesia. Seorang ahli antropologi Amerika Serikat, Clifford Geertz pernah menulis tentang ini, dalam bukunya yang ternama The Religion of Java atau dalam bahasa lain, Kejawen disebut Agami Jawi.
Penganut Kejawen biasanya menganggap ajarannya sebagai seperangkat cara
pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah perilaku orang
yang beradap. Ajaran kejawen biasanya bertumpu pada konsep keseimbangan.
Dalam pandangan demikian, Kejawen memiliki kemiripan dengan
Konfusianisme atau Taoisme, namun tidak sama pada ajaran-ajarannya.
Tetapi kini bagi Kejawen Sejati, dengan Olah Roso dapat dipahami bahwa
untuk berkomunikasi dengan Gusti, kita dapat menggunakan suara hati dan
apapun bahasanya. Sebenarnya Agami Jawi (Kedjawen), tidak menjadi
monopoli orang-orang Jawa semata. Kedjawen adalah agamanya orang-orang
yang ingin dapat berbudi luhur, bahkan Agami Jawi ini dapat diterapkan
di belahan dunia manapun.
Kejawen Bukan Aliran Kebatinan
Agama pendatang selalu membuat opini, bahwa Kejawen itu adalah Aliran Kebatinan.
Hal ini dilakukan oleh agama pendatang, agar para penganut Kejawen yang
masih muda dan tidak tahu apa-apa merasa malu untuk mengatakan bahwa
dirinya adalah Seorang Kejawen. Sebab jika Kejawen itu benar-benar Ilmu
Kebatinan, pernyataan diri sebagai Seorang Kejawen merupakan pernyataan
yang setara dengan saya adalah dukun.
Dengan opini tersebut, agama pendatang berhasil membuat orang-orang Jawa
yang dikenal sangat mempunyai sifat merendah tersebut enggan menyatakan
dirinya sebagai Seorang Kejawen. Padahal pada kenyataanyam, dari
penelitian kecil seorang dosen saya, yang seorang Profesor Doktor,
menyatakan bahwa dari 100 responden (yang paranormal), tidak ada satupun
(dari paranormal tersebut) yang membacakan mantra-mantranya dengan
bahasa Jawa. Mereka membacakan mantra-mantranya dengan bahasa dan
tulisan Arab. Kejawen adalah sebutan bagi penganut Agami Jawi, seperti
orang Kristen disebut sebagai Kristiani atau Nasrani, sedang orang Islam
disebut sebagai Muslim, dan lain sebagainya.
Seorang Kejawen adalah orang yang mempunyai niat dari dalam dirinya,
untuk melakukan apa-apa yang tidak menyakiti pihak lain (orang lain,
alam, mahluk halus, sesepuh, dsb), karena dalam falsafah Agami Jawi
adalah berbudi luhur, yang artinya memiliki pikiran dan prilaku yang
luhur.
Kebanyakan agama yang ada, sadar atau tidak mereka selalu diajak kepada
struktur dari pemahaman agama itu sendiri. Bagi sebagian agama, justru
ada kursus-kursus atau sekolah (di luar sekolah formal) yang memberi
pengajaran atau pendalaman. Tentunya tidak gratis. Bagi Seorang Kejawen,
mereka hanya disarankan untuk memperdalam Olah Roso yang akan dengan
mudah dapat dipelajarinya melalui puasa mutih Senen – Kamis. Setelah
seorang Kejawen dapat merasakan manfaat Olah Roso, ia pasti sudah dapat naik lagi ke tahap selanjutnya.
Bagi beberapa agama menyarankan atau bahkan diharuskan jika mampu, untuk
melakukan napak tilas secara fisik, yakni dengan diiming-imingi hadiah
(penghapusan dosa) bagi yang melakukan hal tersebut. Dengan logika ini
(penghapusan dosa), dapat dikatakan justru mendiskriditkan Tuhan Yang
Maha Esa, yang seolah-olah memiliki pola berbisnis terhadap mahluk
ciptaanNya sendiri.
Kasihan ya yang nggak mampu, karena seolah Tuhan Yang Maha Esa
membedakan orang kaya dan orang miskin. Semakin miskin seseorang di
dunia, mereka pun tidak mendapatkan kesempatan untuk masuk surga. Karena
tidak memiliki biaya yang besar untuk napak tilas tersebut.
Bagi seorang Kejawen hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Karena seorang
Kejawen yang telah benar-benar melakoni puasa mutih dan Olah Roso dengan
pasrah dan ikhlas, mereka pasti sudah dapat napak tilas secara
nonragawi. Tidak seperti agama-agama lain yang harus melakukan napak
tilas secara fisik.
Dalam Kejawen maka peribahasa “Bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian”
adalah sangat cocok. Peribahasa di atas menggambarkan, bedanya Agami Jawi dengan agama-agama pendatang lainnya.
Agami Jawi memang tidak memiliki Kitab Suci. Mengapa? Karena dengan
Manunggaling Kawulo Gusti, semua sudah terjawab. Jadi seorang Kejawen,
tidak perlu belajar menghafal untuk mengerti semua itu. Dengan banyaknya
ayat yang harus dihafalkan, menjadikan orang banyak alasan untuk
dirinya tidak dalam kondisi eling lan waspodo.
Di dalam Kejawen, maka Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah menghukum
ciptaannya sendiri. Hal ini dikarenakan, bahwa semua agama di dunia
meyakini bahwa Tuhan Yang Maha Esa bisa membuat apa saja, dan sempurna.
Begitu juga yang diyakini oleh seorang Kejawen. Jadi intinya, buat apa
Tuhan Yang Maha Esa harus menghukum mahluk ciptaanNya sendiri? Karena
Tuhan Yang Maha Esa sesungguhnya dapat membuat manusia sempurna.
Memangnya Tuhan Yang Maha Esa, seperti orang Belanda yang menggagas madurodam.
Selain itu, kita sama-sama yakin bahwa Tuhan Yang Maha Esa tahu apa saja
yang akan terjadi, atau akan menimpa dunia. Tetapi mengapa ada
malapetaka? Malapetaka itu ada karena pola interaksi kita tidak harmonis
dengan pihak lain (orang lain, alam, mahluk halus, sesepuh, dsb).
Bagi kebanyakan orang, Kejawen hanya dianggap sebagai kebudayaan,
sehingga pada akhirnya pun pengurusan Kejawen dimasukan kepada
Departemen Kebudayaan. Hal ini memang merupakan pembusukan yang
terstruktur terhadap Agami Jawi itu sendiri. Agama Jawi merupakan agama
yang bertumpu pada Olah Roso, atau dengan kata lain, bertumpu pada
pengolahan bathin.
Banyak pembodohan yang dilakukan oleh agama-agama pendatang, karena
mereka sangat berkepentingan bagi perluasan agama mereka sendiri, yang
pada akhirnya mereka pun memiliki kepentingan bagi perluasan secara
ekonomi.
Istilah batin dan Kebatinan adalah dua hal yang sangat berbeda. Tetapi
dengan kepintaran agama pendatang memelintir itu semua, membuat nasib
Kejawen seperti sekarang ini. Olah batin itu memiliki ruang yang luas,
ada yang untuk mengenali diri sendiri yakni Olah Roso, sementara ada
juga yang untuk pengobatan seperti Reiki misalnya.
Reiki saja yang jelas-jelas bukan sebuah agama, saya pernah menanyakan
kepada beberapa anggota dari komunitas mereka. Apakah Reiki itu adalah
Kebatinan? Mereka dengan tegas menyatakan Olah Batin bukanlah Kebatinan,
seperti yang sering dikatakan oleh orang-orang dari agama import.
Malu Mengaku Kejawen
Kalau kita membaca kliping-kliping tahun 70-an (tepatnya sekitar tahun 1975 - 1979), terasa benar pada saat itu masyarakat Indonesia
malu mengaku produk dalam negeri. Hal ini bukan hal yang kebetulan,
tetapi ada kekuatan luar yang membawa dampak ini. Kekuatan luar
tersebut, tentunya tidak dapat berjalan secara mulus, kalau tidak ada
penghianat-penghianat bangsa ini yang membantu masuknya produk asing,
dan mempersulit berkembangnya produk dalam negeri.
Hal tersebut mengingatkan kita pada pristiwa penghianatan Raden Patah
YTPHN, terhadap ayah kandungnya sendiri demi membantu penyebaran agama
pendatang. Pada priode tersebut, mulailah terasa bahwa banyaknya opini
negatif terhadap penganut Agami Jawi yang dibuat oleh kelompok agama
pendatang tersebut. Mulai dari konsep syirik, yang tadinya tidak dikenal
kosa kata tersebut di Tanah Jawa ini, karena memang sebenarnya Agami
Jawi tidak menyembah berhala / Mahluk Halus / Jin atau roh-roh lainnya,
seperti yang selalu dituduhkan agama pendatang kepada pemeluk Kedjawen.
Di lain pihak, sifat orang Jawa secara mayoritas adalah orang tidak
senang berkonflik, maka tuduhan tersebut tidak ditanggapi secara serius.
Akibatnya, dari generasi ke generasi selanjutnya, terkikislah pemeluk
Agami Jawi. Yang terjebak dalam opini agama pendatang.
Yang perlu diingat, semua agama di dunia ini pasti mempunyai atau
memiliki satu titik fokus untuk mereka melalukan ritual Sembah Hyang.
Agama Hindu dengan patung-patung sucinya, Agama Budha juga demikian,
Agama Kristen dengan patung Bunda Maria dan Tuhan Yesus, Agama Islam
dengan Ka’bah-nya. Bagaimanapun mereka berkelit, semua benda-benda
tersebut adalah sebagai sarana arah konsentrasi dan pembentukan
imajinasi mereka. Lagi-lagi masalah ke-Iman-an dan Dogma yang
ditonjolkan dalam mengkunci definisi benda yang mereka Sembah sebagai
arah imajinasi dan konsentrasi, sebagai definisi yang mereka terjemahkan
menurut keyakinan pendahulunya. Memang, pemeluk agama dimanapun,
mungkin hanya segelintir saja dari pemeluknya yang mau benar-benar
mengerti makna yang terkandung dalam ritual-ritualnya.
Kedjawen, sebenar-benarnya adalah satu-satunya agama di muka bumi ini,
yang tidak membutuhkan benda apapun untuk melakukan ritual. Hanya saja,
tidak setiap orang memilki daya konsentrasi yang tinggi, sehingga bagi
mereka inilah dibutuhkan sebuah benda untuk arah konsentrasinya. Hal ini
dikarenakan tidak setiap orang dapat melakukan Olah Roso dengan penuh
rasa pasrah kepadaNya.
Sementara banyak ilmu beladiri di Nusantara ini, yang menggunakan
kekuatan Ghaib. Seperti di semua dan setiap bangsa yang ada di Dunia
ini, memiliki ilmu-ilmu beladiri yang berkekuatan Ghaib pula.
Orang Modern Percaya Adanya Dunia Gaib
Saya perlu mengatakan bahwa saya pernah berdomisili dan mengunjungi negara-negara Jerman, Belanda, Belgia, Luxemburg, Italia, Taiwan, Singapura, Malaysia,
Filipina. Hal ini dikarenakan untuk mengetahui bahwa dari pengalaman
saya, saya mendapat beberapa kejutan kepercayaan dari negara-negara
modern di Eropa.
Satu saat (tahun 1982) saya pernah kerja di pinggiran kota Hamburg.
Karena saya jenuh, bekerja sendiri di pojokan gudang, maka untuk
menyemangati, saya bekerja sambil bersiul (singsot). Tanpa diduga, saya
didatangi oleh seorang ibu-ibu setengah baya (Supervisor), ia berkata
kepada saya, "Sie durfen hier nicht pfeifen, weil es eine Menge von
Dämonen, die kommen werden" Artinya, kamu nggak boleh siul di sini,
karena nanti akan banyak setan yang datang. Kalau dulu Eyang saya selalu
bilang, "Ojo singsot mbengi-mbengi, ngundang setan". Dari pengalaman
saya di atas, di negara yang modern dan selogis Jerman, hal itu masih
dipercayai oleh masyarakatnya.
Jadi kalau para tokoh agama mengatakan bahwa itu tahayul, dan di negara
modern hal itu sudah tidak ada lagi. Dapat dipastikan si tokoh agama
tadi, tidak memiliki pengalaman seperti di atas, atau bahkan ia
mengatakan hal itu berdasarkan pesanan dari negara asal agama yang
diwakilinya.
Tahun 2004 kebetulan saya harus bekerja di Berlin,
dan saya mencari tempat tinggal di wilayah penduduk yang masih Asri.
Hari-hari pertama saya harus melengkapi bumbu dapur, sehingga saya harus
ke supermarket besar terdekat. Saat saya sudah membeli berbagai
kebutuhan, saya melihat roncean bawang lanang (rangkaian
bawang putih tunggal helai) dan saya pun mengambilnya. Ketika saat saya
berada di depan Kasir, saya pun menanyakan, “Bawang putih semacam ini
untuk memasak apa?” Kasir yang saat itu, wanita muda yang masih
berumuran 20 tahunan menjelaskan kepada saya, bahwa rangkaian bawang
semacam itu untuk digantungkan di depan pintu masuk, atau di dapur yang gunanya untuk menolak mara bahaya yang datang dari mahluk halus.
Dari dua pengalaman saya di atas, jelas bahwa orang-orang di negara modern masih mempercayai adanya Dunia Gaib.
Dari mayoritas blog yang mengatasnamakan untuk kepentingan Kejawen,
ternyata mereka adalah milik orang-orang beragama Rasul, yang intinya
ingin memutarbalikan fakta Agami Jawi. Bagi yang ingin memeluk Agami
Jawi apapun suku bangsa anda, anda hanya perlu dengan mencoba dengan
Olah Roso.
Agami Jawi adalah agama yang benar-benar mempercayai dan meyakini kebesaran Gusti.
Sesungguhnya tidak ada yang namanya Kejawen Hindu, Kejawen Budha,
Kejawen Islam ataupun Kejawen Kristen. Nilai-nilai Agami Jawi memang
sudah digeser oleh agama-agama pendatang. Agami Jawi adalah agama yang
sudah tumbuh berkembang, jauh sebelum agama-agama import itu datang ke Indonesia.
Mengapa begitu? Orang Jawa yang terkenal dengan sifatnya yang senkretis,
sehingga hal ini dimanfaatkan oleh orang-orang pembawa agama import
tersebut, agar nilai-nilai mereka dapat diterima oleh Agami Jawi, maka
mereka mencoba untuk mengawinkan agama mereka dengan Agami Jawi yang
sudah tumbuh jauh lebih lama dari agama mereka.
Dan, setelah Soeharto jatuh, mereka menganggap sudah sangat kuat,
sehingga mereka berniat untuk menggeser Agami Jawi dari Bumi Nusantara
ini. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya ancaman, baik fisik maupun non
fisik yang mereka lakukan kepada orang-orang awam di Indonesia. Dengan
keteguhan Para Kejawen Sejati sepertia anda, saya yakin Agami Jawi
lambat laun akan menjadi tuan rumah kembali di tanah kelahirannya
sendiri.
Evolusi Dalam Kejawen
Bicara mengenai evolusi bagi orang yang beragama, maka dapat dilihat ada tiga kubu, yakni:
Kubu pertama yaitu yang meyakini agama-agama Rasul. Dalam dogma dan
keimanan beberapa agama mengkisahkan awal mulanya kehidupan manusia
adalah dikarenakan adanya kutukan terhadap Adam dan Hawa, yang artinya
mereka turun ke bumi sudah berbentuk atau dengan wujud manusia
seutuhnya, seperti manusia sekarang ini.
Kubu kedua yaitu yang ditentang oleh agama-agama Rasul. Dalam pemahaman
Generatio Spontanea, bahwa evolusi dimulai dari munculnya kehidupan
secara kebetulan, yang lalu berevolusi menjadi manusia seutuhnya. Atau
faham teori tersebut, berkeyakinan bahwa awalnya mahluk hidup, muncul
dari benda mati, dan berkembang terus. Hingga penyempurnaannya melalui
evolusi.
Kubu ketiga yang diyakini oleh Agami Jawi. Dalam logika seorang Kejawen,
bahwa Tuhan Yang Maha Esa memberikan Kehidupan Awal Yang Hakiki,
selanjutnya mereka Berevolusi. Logika inilah yang diyakini oleh seorang
Kejawen, sehingga kami tidak memerlukan dogma dan keimanan, karena
semuanya logis adanya.
Setelah pemberian nyawa atau kehidupan yang merupakan hak absolut Tuhan
Yang Maha Esa, untuk memberikan kehidupan. Dari sinilah, atau pemahaman
inilah yang diyakini oleh seorang Kejawen sebagai awal permulaan
terbentuknya mahluk hidup, dan kemudian terbentuklah manusia purba,
hingga berevolusi menjadi manusia seutuhnya, seperti sekarang ini.
Hal yang menguatkan logika berfikir seorang Kejawen, adalah kita lupa
bahwa Bapak Teori Evolusi adalah Charles Darwin, dimana dalam bukunya The Origin of Species
yang diterbitkan tahun 1859, sesungguhnya ia pun mengakui bahwa,
kehidupan pada mulanya dihembuskan oleh sang Pencipta ke dalam satu atau
beberapa bentuk. Selanjutnya seorang Kejawen melakoni Olah Roso, hingga
akhinya seorang Kejawen dapat menemukan atau awalnya hanya merasakan
adanya Tuhan Yang Maha Esa.
Mencari Tuhan
Ketika saya kecil saya sering dengar bahwa Agami Jawi itu agama yang
tidak mempunyai Tuhan atau agama yang Tuhannya belum diketemukan, karena
mereka adalah orang-orang yang mencari Tuhan. Memang kalau kita hanya
menterjemahkannya sebatas kalimatnya saja terkesan memang demikian.
Kalau kita bertanya? Apakah orang-orang yang Mencari Kedamaian adalah
orang-orang yang kehilangan akan konsep Kedamaian itu sendiri? Saya
pikir anak kecil pun tahu, bahwa bagi orang-orang yang Mencari Kedamaian
tersebut adalah orang-orang yang belum mengerti akan arti Kedamaian itu
sendiri.
Jadi dalam arti Kejawen, Mencari Tuhan bukan berarti mencari Tuhan,
tetapi lebih dalam lagi artinya, yakni bahwa dirinya dalam Olah Roso,
belum mendapatkan hubungan yang transendental dengan Gusti.
Sehingga seorang Kejawen akan terus melakukan pencarian tersebut,
manakala dirinya belum dapat berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa
secara transendental.
Gusti Allah
Banyak orang Indonesia yang menyebut Tuhan Yang Maha Esa dengan Gusti Allah. Di sisi lain kita tahu, bahwa hukum Tata Bahasa kita adalah hukum DM (diterangkan menerangkan) sehingga dari kata Gusti Allah jelas bahwa kata Gusti ada sebelum kata Allah (2000 tahun SM), sementara kata Gusti
yang digunakan oleh Kedjawen sebagai penghargaan tertinggi dalam
menyebut Tuhan Yang Maha Esa sudah ada pada 4425 tahun Sebelum Masehi.
Dari hukum DM dapat dibuktikan bahwa, konsep Tuhan Yang Maha Esa sudah
ada terlebih dahulu dalam diri seorang Kejawen, sebelum sebutan Allah
disosialisasikan di dunia. Ketika agama pendatang ingin mamasukan pola
pikirnya ke dalam masyarakat yang sudah terlebih dahulu mengenal konsep
Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutannya sendiri. Pertama-tama mereka
mencoba menggantikan kata Gusti dengan kata Tiada Tuhan Selain Allah, namun karena orang-orang Indonesia pada saat itu adalah orang-orang yang Internalistik Religius,
sehingga sangat sulit untuk menggantikan kata Gusti dengan kata Allah.
Untuk itu, mereka merubah strategi dengan menyisipkan kata Allah pada kata Gusti, tetapi lagi-lagi, karena kata Gusti sudah mendarah daging dalam pikiran orang Indonesia, sehingga mereka menurunkan kata Allah itu sendiri menjadi kata sifat. Yakni Gusti Allah, yang dalam terjemahannya Gusti adalah Allah.
Analoginya Jas Merah adalah Jas berwarna Merah.
Setelah kata Gusti Allah diterima oleh penduduk lokal, maka mereka melakukan strategi berikutnya, yakni dengan mensosialisasikan bahwa Gusti adalah sanjungan pada kata Allah. Kemudian Gusti diartikan dengan Sang Pangeran, lagi-lagi ini pemutarbalikan fakta oleh agama pendatang.
Bagi anda yang ingin menjadi Kejawen Sejati, seyogyanya setelah mengerti
Jas Merah (jangan suka melupakan sejarah), mulai sekarang hanya
menggunakan kata Gusti untuk mengagungkanNYA.
Internalistik Religius adalah sebuah prilaku yang sudah sangat melekat pada motorik orang Indonesia.
Iman dan Dogma
Iman dan dogma adalah sebuah proses pembuntuan yang sistematis bagi
pikiran seseorang dalam mengembangkan pola pikirnya yang kritis. Dengan
iman dan dogma jelas-jelas orang tidak diperkenankan mengkritisi isi
dari ayat-ayat yang tidak masuk akal.
Agami Jawi mengajarkan kita, bahwa segala sesuatu dalam sebuah agama
atau kepercayaan haruslah mempunyai landasan logika yang benar dan
menyeluruh. Keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, bagi sebagian besar agama
merupakan keimanan yang datangnya dari dogma, dan tidak boleh
dipertanyakan.
Bagi seorang Kejawen, kita tidak perlu mempercayai yang tidak ada.
Tetapi dengan Olah Roso yang benar, seorang Kejawen pasti merasakan
adanya Kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Jadi dalam Agami Jawi, tidak
diajarkan untuk mempercayai yang kita tidak dapat rasakan, apalagi kita
tidak tahu.
Jelas dengan proses Cuci Otak yang dilandasi dari ayat-ayat Kitab Suci
agama tertentu. Saat ini banyak sekali kejahatan yang mengatasnamakan
demi keimanan sebuah agama, dirinya rela melakukan pembunuhan.
Karena saya yakin, orang tersebut tidak tahu akan adanya Kebesaran Tuhan
Yang Maha Esa, apalagi merasakannya, yang didapat dari proses Olah
Roso. Sebab kalau orang tersebut dapat merasakan adanya Kebesaran Tuhan
Yang Maha Esa di sekelilingnya, dapat dipastikan orang tersebut tidak
akan melakukan pembunuhan kepada ciptaanNya.
Akal sehat adalah sebuah proses pemahaman atau proses analisa pikiran
yang logis, yang tentunya tidak merugikan pihak lain. Jadi kalau agama
itu memang ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, mana mungkin Sang Pencipta Yang
Maha Kuasa dan Maha Tahu Segala-galanya membiarkan penganut agama-agama
ciptaanNya bertarung sendiri berebut kebenaran. Yang tentunya merugikan
pihak lain.
Dengan menggunakan akal sehat maka dalam Agami Jawi, kita tidak
memerlukan dogma, seperti yang digunakan oleh agama-agama rosul atau
agama-agama import, sebagai alat untuk menegasi pikiran-pikiran yang
kritis yang tidak dapat terjawab oleh Kitab Suci mereka.
Secara psikologis, pikiran yang dikooptasi memerlukan apa yang disebut
pengakuan eksistensi dari eksistensinya yang hilang karenanya. Oleh
sebab itu, maka dogma perlu memberikan pengakuan kepada yang memberikan
komitmen kepadanya. Untuk kepentingan itu, iman adalah predikat yang
diberikan kepada orang-orang yang mengikatkan diri pada dogma itu
sendiri.
Pahlawan adalah orang yang berjuang demi membela Bangsa dan Negara
(Kerajaan), sementara penghianat adalah orang yang tidak setia kepada
Bangsa dan Negara (Kerajaan), dan bahkan menghalalkan segala cara (machiavellian) untuk menelikung teman, saudara atau bahkan orang-tuanya sendiri.
Dalam mayoritas agama yang ada di dunia, iman adalah senjata ampuh
ketika penganut atau calon penganut agama tersebut mulai bertanya dengan
logika. Kaitan-kaitan ayat-ayat yang ada di kitab sucinya, dengan
membandingkan dengan kehidupan sehari-hari.
Kedjawen adalah agama yang logis, karena keyakinan harus dibarengi
dengan logika yang masuk akal. Karena keberadaan Dzat yang disebut Gusti
tersebut eksistensinya dalam pikiran manusia didapat dari Olah Roso.
Banyak agama yang memulai dari Adam dan Hawa, di satu sisi, tetapi di
sisi lain mereka tahu adanya proses evolusi manusia purba ke manusia
modern. Di sinilah senjata ke-imanan dipermainkan oleh agama-agama yang
mengandalkan kitab suci.
Bagi Kedjawen, kontradiksi itu tidak perlu terjadi. Karena proses
evolusi terjadi di pulau Jawa, atau di lokal tempat Agami Jawi
berkembang. Jadi proses adanya Tuhan Yang Maha Esa dalam pikiran Manusia
adalah sebuah proses pencarian Olah Roso, yang sudah dimulai sekitar
4425 tahun Sebelum Masehi. Di sinilah mengapa Agami Jawi adalah agama
yang logis dan dapat dibuktikan, tanpa perlu adanya dogma yang
dipaksakan kepada penganutnya.
Manunggaling Kawula Gusti
Manunggaling Kawula Gusti, merupakan makna yang dalam bagi seorang
Kejawen. Oleh karenanya banyak pemuka-pemuka agama yang non Kejawen,
memelintir esensi dari makna Manunggaling Kawula Gusti itu sendiri. Hal
ini tidak lain dan tidak bukan, untuk memuluskan pemasaran agama import
yang dibawanya ke dalam masyarakat Jawa yang sengkretis. (Mudah-mudahan
di kemudian hari masyarakat Jawa lebih waspada dengan pengaruh budaya
asing)
Manunggaling Kawula Gusti sama sekali bukan bermakna bersatunya kita
dengan Tuhan Yang Maha Esa. Makna sebenarnya dari Manunggaling Kawula
Gusti adalah, bahwa hubungan seorang Kejawen dengan Tuhan Yang Maha Esa,
tidak melalui perantara apapun seperti yang dilakukan oleh agama-agama
Rasul.
Dalam pemahaman Kejawen, hubungan setiap orang kepada Tuhan Yang Maha
Esa adalah hubungan yang unik, karena pada awalnya setiap orang yang
lahir di muka bumi adalah Titipan Tuhan Yang Maha Esa. Pemelintiran
tersebut, jelas untuk kepentingan penyebaran agama impor tersebut.
Unik adalah tidak ada duanya. Seperti dot com misalnya, tidak ada dot com
yang kembar. Lebih mudahnya: blokkejawen.blogspot.com sementara secara
formal ini milik saya, tidak ada orang lain secara formal yang dapat
mengakui bahwa ini miliknya.
Analogi lain, jika kita mencintai dan menyayangi ibu kandung kita, dan
mengatakan bahwa ibuku ada dalam diriku (hatiku) dan segenap aliran
darahku. Apakah berarti badan ibu kita ada dalam badan kita? Itulah yang
juga dimaksud dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Adalah sebuah rasa yang
mendalam, dan komitmen untuk berprilaku dengan segenap hati yang
bersih. Bukan seperti yang diartikan: mempersatukan Tuhan dengan diri
kita. Lagi-lagi ini adalah sebuah pemelintiran dari agama import.
Banyak orang memvonis bahwa Kedjawen bukanlah agama, melainkan hanya
kepercayaan semata. Dalilnya, karena Kedjawen tidak memiliki kitab
sebagai rujukan. Bagi agama rasul, kitab menjadi penting karena memang
agar para penganut agama mereka, tidak dapat atau tidak diizinkan
berinteraksi langsung dengan sang Penciptanya.
Ibarat pancing dan ikan, dalam agama rasul, para penganutnya langsung
diberi ikan. Sehingga para penganutnya seolah akan dapat lebih mudah
untuk mengerti kaidah-kaidah komunikasi dengan sang Pencipta, dengan
pola menghafal. Sementara pada Kejawen, kita diberi pancing untuk
mencari tahu bagaimana heningnya berkomunikasi dengan sang Pencipta, hal
ini tidak perlu dihafal. Karena Olah Roso membuat kita berinteraksi
sesungguhnya dengan sang Pencipta.
Agama = Ideologi?
Sejarah bukanlah sebuah dongeng, banyak agama yang berkisah berdasarkan
dogma, dan akhirnya menuntut keimanan seseorang. Hal ini dikarenakan
sulit untuk membuktikannya, atau mungkin memang tidak ada buktinya.
Seorang Kejawen harus selalu bertanya secara logika, agama yang
dianutnya (Agami Jawi), sehingga ia tidak merasa atau mengalami
pembodohan. Dengan adanya sejarah yang benar, dimana selalu ada waktu
dan tempat kejadiannya, seorang Kejawen tidak memiliki keimanan yang
dipaksakan oleh dogma. Karena menjadi seorang Kejawen, kita selalu
dituntut kejujuran. Maka keimanan adalah sebuah ketidak jujuran kepada
diri sendiri. Hal ini dikarenakan adanya percaya yang dipaksakan.
Agama adalah bukan sesuatu yang perlu diperlihatkan dalam kaitannya
dengan eksistensi seseorang. Memang, ada agama yang memiliki fashion
sendiri, untuk mencirikan agama mereka. Kalau hal itu yang menjadi
esensi dari orang-orang yang memeluknya, itu sama saja orang-orang
tersebut membeli barang abal-abal, yang penting seolah-olah mereka
memiliki barang yang asli.
Berpakaianlah yang sopan dan bertutur katalah yang santun, kalau kita
ingin menjadi seorang Kejawen Sejati. Dari sopan santun kita, tentunya
kita akan memperkecil kemungkinan menyakiti pihak lain (orang lain,
alam, mahluk halus, sesepuh, dsb). Dengan menjaga sopan santun tadi,
sesungguhnya itu merupakan hal dasar, kalau kita ingin mengakui dalam
hati bahwa kita adalah seorang Kejawen Sejati.
Agama Tuhan adalah, agama yang berorientasi pada satu Tuhan, atau yang
disebut Tuhan Yang Maha Esa, dalam Kedjawen disebut sebagai Gusti.
Proses adanya Tuhan dalam pikiran manusia, adalah karena adanya Olah
Roso, dimana seorang Kejawen menemukan hubungan perasaan yang unik
dengan zat yang dinamakan orang-orang di dunia ini: Allah, Tuhan, God, Gusti.
Jadi jelas, tidak ada satu agama pun di dunia ini, yang dibuat oleh
Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dikarenakan beberapa nalar matahati kita.
Kita saja sebagai orang tua, tidak akan membiarkan atau merelakan
anak-anak kita bertengkar satu sama lain. Apalagi Tuhan Yang Maha Esa.
Banyak agama yang mengklaim sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, tapi
mereka bertengkar, bahkan sampai saling bunuh antar agama yang mengklaim
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Jadi, kalau memang ada agama
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, kita pasti hidup aman dan tentram.
Kalau benar ada agama ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, maka pasti tidak perlu dipelajari oleh manusia. Karena pasti sudah inheren didalam pikiran kita, semenjak lahir.
Agama adalah Roso, bukan matematis, sehingga tidak ada penyeragaman yang
strik terhadap sebuah aturan yang dihitung secara matematis. Hubungan
setiap manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa memiliki hubungan yang unik,
jadi setiap orang memiliki rasa kedekatannya sendiri masing-masing. Di
sinilah keimanan seseorang kepada Tuhan Yang Maha Esa diuji. Apakah ia
benar-benar ikhlas mengimani Tuhan Yang Maha Esa, tanpa harus ada
perantaranya.
Di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, kita ini memang semua sama. Hubungan itu
justru tergantung dari bagaimana kita mengimani Tuhan Yang Maha Esa itu
sendiri. Dengan keikhlasan dan kepasrahan kita dalam mengimani Tuhan
Yang Maha Esa, dalam saat yang bersamaan rasa tentram di hati kita akan
muncul.
Semua agama di dunia berawal, atau lahir dari nilai-nilai tradisi
setempat yang selanjutnya dilaksanakan dengan kepercayaan-kepercayaan
yang diritualkan sejalan dengan tradisi lokal tersebut, sehingga tidak
mengherankan kalau para pakar sosiologi menyatakan, bahwa semua agama di
dunia lahir pada awalnya dari agama local. Sementara ideologi lahir
dari pemikiran-pemikiran melalui proses thesis anti-thesis, yang pada
akhirnya melahirkan aturan-aturan sosial yang komplit pula.
Perbedaan esensial antara agama dengan ideology, adalah terletak pada pola hukuman dan penghargaannya (reward and punishment). Agama menerapkan hitungan hukuman dengan dosa,
yang masih sangat imajinatif dan harus dipercayai dengan melalui iman
dan dogma (kebalikan dari fakta dan data). Sementara ideologi menerapkan
hukumannya dengan hukum positif setempat yang berlaku, dan harus
dilaksanakan dengan fakta dan data (kebalikan dari iman dan dogma).
Persamaan antara agama dan ideology, adalah untuk dapat mengerti aturan-aturan agama atau ideologi secara ceteris paribus,
orang harus membaca dan menghafalkannya terlebih dahulu. Sehingga,
tidak mengherankan ketika seseorang yang hafal dan eksis di
lingkungannya karena pengetahuannya terhadap agama atau ideologi
tertentu, secara psikologis orang tersebut akan ketagihan untuk terus
membaca dan menghafalkan segala sesuatunya, agar dia dapat tetap eksis
sebagai narasumber.
Ketagihan untuk menjadi seorang ahli dalam sebuah agama atau ideologi
tertentu, membuat seseorang menjadi seorang yang fanatik terhadap apa
yang ia baca dan percayai. Kefanatikan seseorang inilah yang dapat
dipergunakan oleh orang-orang ahli cuci otak untuk menjadikan targetnya menjadi seorang teroris.
Agami Jawi bukan agama yang perlu dihafalkan, tetapi agama yang perlu
dirasakan dengan perasaan. Dengan proses Olah Roso. Seorang Kejawen
Sejati sudah menemukan surga dan nerakanya, jadi dirinya tidak lagi
perlu percaya dengan bacaan-bacaan yang menyesatkan. Dengan Olah Roso
seseorang akan merasakan Kebesaran Tuhan Yang Maha Esa, sehingga ia
tidak perlu menjadi orang yang fanatik. Karena Tuhan Yang Maha Esa ada
karena kita memang merasakannya. Jadi seorang Kejawen Sejati tidak
berangan-angan masuk ke surga, karena ia sudah menemukan kedamaian
ketika ia dapat berinteraksi langsung tanpa perantara (seperti agama
rosul, yang menggunakan rosul sebagai perantaranya) kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Jadi dapat dipastikan pemeluk Agami Jawi, tidak akan pernah terjerumus
menjadi seorang teroris. Karena ia sudah menadapat ketenangan yang
hakiki melalui Mangunggaling Kawulo Ghusti.
Cuci otak merupakan tindakan subyek mempengaruhi obyek dengan cara,
membawa logika berfikir obyek ke pola pikir yang diingini oleh subyek.
Prosesnya adalah: subyek dan obyek pertama-tama memiliki satu pijakan
nara-sumber yang sama. Nara-sumber dapat berupa kitab suci, atau
buku-buku yang diterjemahkan dengan merujuk pada kitab suci tersebut,
dengan beberapa ayat-ayat yang meyakinkan. Bagi orang-orang yang
berambisi untuk masuk surga, yang notabene belum ada bukti, bahwa orang
yang meninggal dengan menyakiti dirinya sendiri, maupun orang lain, bisa
masuk surga.
Bagi seorang Kejawen, dimana perasaan surgawi dan kejamnya neraka yang
hakiki ada dalam hatinya sendiri. Mengapa perasaan surgawi ada dalam
hati kita sendiri? Surga adalah sebuah perasaan yang membahagiakan, yang
mana dirinya sudah berhasil menikmati hidupnya yang bermanfaat, yang
mana sekaligus prilakunya dapat bermanfaat juga bagi pihak lain (orang
lain, alam, mahluk halus, sesepuh, dsb).
Mengapa kejamnya neraka ada dalam hati kita sendiri? Neraka adalah
sebuah perasaan bersalah, karena merugikan pihak lain (orang lain, alam,
mahluk halus, sesepuh, dsb). Perasaan benar dan bersalah bagi seorang
Kejawen, didapat dari hasil Olah Roso. Sehingga ketika perasaan kejamnya
neraka muncul dalam dirinya, maka seorang Kejawen tidak henti-hentinya
untuk meminta ampun pada Gusti, untuk memohon tuntunanNya.
Kalau perasaan surgawi tersebut sudah ada dalam diri seseorang, maka
seorang yang berbudi luhur, tidak akan lagi terpengaruh untuk berambisi
masuk surga. Tetapi bagi seorang Kejawen yang masih terlalu merasa
bersalah, dengan Olah Roso (tidak memerlukan nara-sumber apapun selain
dirinya) dirinya akan dapat menemukan jalan keluarnya sendiri.
Dengan penjelasan tersebut di atas, jadi boleh dibilang seorang Kejawen
Sejati tidak mungkin untuk dicuci otaknya dalam konteks hubungannya
dengan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dikarenakan, seorang Kejawen Sejati
sudah memiliki hubungan yang unik dengan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga
orang lain tidak dapat mencampurinya atau mempengaruhinya, pola hubungan
tersebut kepada janji-janji untuk masuk surga.
Dosa merupakan hukuman kepada seseorang dari perbuatan buruknya kepada
pihak lain (orang lain, alam, mahluk halus, sesepuh, dsb). Siapakah yang
berhak untuk menilai itu dosa atau tidak? Jawabannya absolut, hanya
Tuhan Yang Maha Esa.
Ada pepatah, ketidaktahuan membuat orang
lebih merasa nyaman dalam pikirannya, karena dosa seseorang, hanya Tuhan
Yang Maha Esa yang mengetahuinya. Jadi sebenarnya, semua orang tidak
akan terusik pikirannya jika dirinya berbuat kejahatan, kalau memang ia
lahir dan tumbuh dibesarkan di lingkungan yang jahat.
Tetapi perlu diingat, sebagai keluarga normal, dari kecil kita selalu
diajari oleh orang tua kita, untuk menjadi orang yang berbudi luhur.
Dengan nilai-nilai, atau horma-norma yang baik, akan menumbuhkan cognitif, affektif dan motorik
pikiran yang positif. Sehingga jika kita berbuat menyimpang dari norma
yang diajarkan oleh orang tua kita, maka dalam pikiran kita timbul rasa
bersalah.
Sedangkan rasa berdosa adalah, perasaan yang selalu menghantui kita,
karena perbuatan buruk kita sendiri kepada pihak lain (orang lain, alam,
mahluk halus, sesepuh, dsb). Bagaimana seseorang dapat merasa berdosa?
Hanya jika ia mengerti makna dari do’a yang diucapkan.
Beruntunglah bagi anda yang berdo’a dengan bahasa yang anda sendiri
tidak mengerti, karena anda tidak pernah merasa bersalah. Tetapi,
semakin banyak orang yang seperti anda, maka semakin cepat pulalahh
dunia ini akan hancur.
Bagaimana seorang Kejawen melihat dosa? Dosa adalah perasaan yang timbul
sebagai hasil dari perbuatan yang merugikan pihak lain (orang lain,
alam, mahluk halus, sesepuh, dsb)
Bagaimana kita bisa merasa berdosa? Dalam Budi Jawi yang
dipentingkan adalah Olah Roso, karena dari Olah Roso maka kita tahu
apakah sebuah perbuatan itu benar atau salah. Untuk memudahkan, perasaan
seseorang selalu dikembalikan kepada dirinya sendiri. Sebagai contoh,
jika kita memukul orang lain, bagaimana kalau kita dipukul oleh orang
lain? Karena rasa sakit itu akan ada kesamaannya, jika kita yang
dipukul.
Apakah dosa dicatat oleh Gusti? Gusti tidak mencatat dosa kita. Yang
mencatat adalah diri kita sendiri (Kalau dianalogikan saat ini, setiap
manusia membawa Smart Chipsnya masing-masing). Semua berpulang
pada keikhlasan kita masing-masing. Apakah kita dapat berbuat ikhlas
dalam kondisi yang dibalik? Jawabannya ada pada Olah Roso.
Apa itu Roso dalam Budi Jawi? Roso merupakan sebuah atmosfir dalam diri
seseorang yang diterjemahkan oleh hati, panca indra, dan pikiran kita
sendiri.
Dapatkah Roso kita bohongi atau berbohong kepada kita? Kalau kita
menjalankan dengan baik dan ikhlas, serta menggunakan hati nurani, panca
indra dan pikiran kita sendiri, maka Roso itu tidak dapat berbohong
atau dibohongi. Jadi jelas bahwa Seorang Kejawen harus menjaga
keseimbangan sopan-santun dengan pihak lain (orang lain, alam, mahluk
halus, sesepuh, dsb)
Persamaan dan perbedaan Agami Jawi dengan beberapa agama-agama di dunia,
adalah bahwa: Tuhan Yang Maha Esa berada di atas segala-galanya.
Artinya sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan perbedaan
Kedjawen tidak mempunyai standar ganda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut Agami Jawi, Tuhan Maha Segala-galanya dan Maha Menyayangi
ciptaannya. Karena Maha Segala-galanya, Tuhan Yang Maha Esa tidak bodoh,
seperti yang dituduhkan agama pendatang, dimana Tuhan Yang Maha Esa
hanya mengerti satu bahasa untuk menerima do’a dari manusia ciptaannya.
Kalau memang Tuhan Yang Maha Esa hanya bisa mengerti satu bahasa atau
hanya mau mengerti satu bahasa, maka sama saja mereka mengatakan bahwa
Tuhan Yang Maha Esa tidak lagi maha segala-galanya dan Maha Menyayangi
ciptaannya.
Bagi seorang Kejawen Sejati, yakin bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak
pernah menghukum. Oleh karenanya, seorang Kejawen Sejati terus menjalani
Olah Roso untuk dapat ikhlas, memuji, menyembah, beryukur, berpasrah,
memohon ditunjukan kebaikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Mengukum demi
kebaikan itu hanya ada dalam sudut pandang pikiran Manusia, sementara
Tuhan Yang Maha Esa bukanlah manusia.
Pujian dan menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan
bahasa, gerak, pikiran, dan hati nurani, tidak dapat diseragamkan,
seperti gerak tertentu dan bahasa tertentu. Bagi seorang Kejawen, berdoa
selalu dengan bahasa ibu. Karena, kita sama-sama tahu bahwa Tuhan Yang
Maha Esa adalah maha tahu dan maha segala-galanya, sehingga Tuhan Yang
Maha Esa sudah tahu sebelum kita tahu dan mengungkapkannya dengan
kata-kata. Dengan keyakinan niat yang positif, didapat dengan Olah Roso,
berkomunikasi dengan Tuhan Yang Maha Esa, tidak diperlukan perantaraan
apa dan siapapun. Hubungan komunikasi inilah, yang justru akan
menciptakan ketenangan yang lebih esensial. Sementara beberapa agama di
dunia menempatkan Nabi/Rasul sebagai perantaranya.
Pujian dan rasa terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa,
juga dibarengi dengan menghormati pihak lain (alam, mahluk halus,
sesepuh, orang lain, dsb). Karena Kedjawen tidak menempatkan manusia
(dirinya) sebagai mahluk yang paling sempurna dibanding dengan lainnya.
Sementara, beberapa agama di dunia menempatkan manusia sebagai mahluk
sempurna, dibanding maluk lainnya di dunia ini.
Berderma tidak bisa dihitung dengan matematis, tetapi dengan
keikhlasan. Sebagai mahluk yang tumbuh dari titipan Tuhan, maka
keikhlasan bisa diperoleh dengan cara OlahRoso. Sementara, beberapa
agama di dunia menempatkan hukum matematis, untuk berderma.
Agama lain menggunakan Kitab Suci sebagai acuan bagi penganutnya
untuk berinteraksi dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan bagi Agami
Jawi, seorang Kejawen justru dituntut untuk mendekatkan dirinya sendiri
kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan cara Olah Roso yang ikhlas, agar
mendapatkan jalan menuju Manunggaling Kawulo Gusti. Sementara, agama di
dunia mengatakan bahwa kitab suci adalah buatan Tuhan Yang Maha Esa.
Kalau diibaratkan mainan, esensinya, semua orang pada saat kecilnya
mempunyai kecintaan pada sesuatu (bisa konkrit maupun imajinatif)
melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri, maka ibarat beberapa
agama-agama di dunia lainnya adalah sebuah rumah-rumahan yang sudah jadi
(si anak tinggal memainkannya), sementara Agama Jawi adalah
rumah-rumahan yang dibuat dari lego (atas kreasi keseimbangan anak itu
sendiri, antara pikiran dan
hatinya). Lagi-lagi yang perlu untuk diingat, Tuhan Yang Maha Esa,
adalah maha tahu dan maha segala-galanya, sehingga Tuhan Yang Maha Esa
sudah tahu sebelum kita ingin memberitahukan kepada Nya.
Empat Sila Utama Pola Hubungan
1. Eling Lan Bekti marang Ghusti Kang Murbeng Dumadi: artinya,
kita yang ingat, seyogyanya harus selalu mengingat dan menyembah Gusti
(Tuhan Yang Maha Esa) dalam setiap tarikan nafas kita. Dimana Gusti Yang
Esa telah memberikan kesempatan bagi kita untuk hidup dan berkarya di
alam yang indah ini.
2. Setyo marang Penggede Negoro: artinya, sebagai manusia yang
tinggal dan hidup di suatu wilayah, maka adalah wajar dan wajib untuk
menghormati dan mengikuti semua peraturan yang di keluarkan pemimpinnya
yang baik dan bijaksana.
3. Bekti marang Bhumi Nuswantoro: artinya, sebagai manusia yang
tinggal dan hidup di bumi nusantara ini, wajar dan wajib untuk merawat
dan memperlakukan bumi ini dengan baik, dimana bumi ini telah memberikan
kemakmuran bagi penduduk yang mendiaminya. Dengan berbakti dan menjaga
kelestarian alam, maka alam akan memberikan yang terbaik untuk kita yang
hidup di atasnya.
4. Bekti Marang Wong Tuwo: artinya, kita tidak dengan serta merta
ada di dunia ini, tetapi melalui perantara ibu dan ayah, maka
hormatilah, mulyakanlah orang tua yang telah merawat kita. Berbakti
kepada ayah dan ibu yang telah memberikan kita jalan untuk meraih
kehidupan disini.
5. Bekti Marang Sedulur Tuwo: artinya, menghormati saudara yang
lebih tua dan lebih mengerti dari pada kita, baik tua secara umur,
secara derajat, pengetahuan maupun kemampuannya.
6. Tresno Marang Kabeh Kawulo Mudo: artinya, menyayangi orang
yang lebih muda, memberikan bimbingan, dan menularkan pengalaman dan
pengetahuan kepada yang muda. Dengan harapan, yang muda ini akan dapat
menjadi generasi pengganti yang tangguh dan bertanggung jawab.
7. Tresno Marang Sepepadaning Manungso: artinya, yang perlu
diingat dan dicamkan dalam hati yang terdalam adalah, bahwa semua
manusia sama nilainya dihadapan Gusti. Karenanya, hormatilah sesamamu,
dimana mereka memiliki harkat dan martabat yang sama denganmu, dan
sederajat dengan manusia lainnya. Cintailah sesamamu dengan tulus
ikhlas.
8. Tresno Marang Sepepadaning Urip: artinya, semua yang di
ciptakan Ghusti adalah mahluk yang ada karena kehendak Gusti yang Kuasa,
karena mereka memiliki fungsi masing-masing, dalam melestarikan kita
bersama alam ini. Dengan menghormati semua ciptaanNya, maka kitapun
telah menghargai dan menghormatiNya.
9. Hormat Marang Kabeh Agomo: artinya, hormatilah semua agama
atau aliran, dan para penganutnya. Agama adalah ageming aji, yang
mengatur dan menata diri meng-Olah Roso untuk menjadikan manusia-manusia
yang berbudi pekerti luhur.
10. Percoyo Marang Hukum Alam: artinya, selain Gusti menurunkan
kehidupan, Gusti juga menurunkan hukum alam dan menjadi hukum sebab
akibat, siapa yang menanam maka dia yang menuai. Kita ini hidup di alam
dualitas, dan akan terikat dengan hukum-hukum yang ada selama masih
berdiam di pangkuan alam tersebut, dan hormatilah alam dan hukumnya.
11. Percoyo Marang Kepribaden Dhewe Tan Owah Gingsir: artinya,
manusia ini rapuh, dan hatinya berubah-ubah, maka hendaklah menyadarinya
dan dapat menempatkan diri di hadapan Gusti, agar selalu mendapat
lindungan dan rahmatNya dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. Dengan
terus melakukan Olah Roso, berarti kita terus menata diri demi meraih
pribadi yang berbudi pekerti luhur memayu hayuning bawono.
12. Bekti Marang Mahluk Liane: artinya, menghormati mahluk lain ciptaanNya juga, seperti ia menghormati manusia lainnya Tresno marang sepepadaning manungso.
Duabelas (12) makna di atas sebenarnya merupakan penjabaran, bagaimana sebaiknya seorang Kejawen harus berprilaku dengan 4 Sila Dasar Utama Pola Hubungan dengan apa yang ada di luar dirinya:
1. Hubungan Manusia dengan Ghusti (Tuhan Yang Maha Esa)
2. Hubungan Manusia dengan Alam Semesta
3. Hubungan Manusia dengan Mahluk lain
4. Hubungan Manusia dengan sesama Manusia
Dalam urutan di atas, jelas bahwa hubungan manusia dengan sesama manusia
adalah hubungan yang paling rendah. Di sinilah filosofinya, bahwa
manusia harus menyayangi semua kehidupan, agar hidup ini bahagia. Jadi
seorang Kejawen Sejati, jangan pernah mengatakan bahwa manusialah mahluk
yang paling sempurna, karena pikiran itu hanya akan membuat diri ini
ingin menang sendiri.
Jadi jelas bahwa seorang Kejawen harus menjaga keseimbangan Sopan Santun
dengan pihak lain (orang lain, alam, mahluk halus, sesepuh, dsb).
Menyayangi semua kehidupan bukan berarti memberi toleransi pada
kejahatan yang dilakukan oleh pihak lain (orang lain, dan mahluk lain).
Pola Komunikasi
Sesama manusia, maka kita bicara kemudian ditangkap oleh lawan bicara
dan dimengerti, lalu dijawab. Kepada Gusti, maka kita akan bicara dengan
diri sendiri, apakah benar yang kita rasakan dan pikirkan (sebelum kita
sampaikan kepada Gusti) Gusti sudah mengerti dan sudah langsung
menjawabnya.
Jadi kalau kita berdo’a atau Sembah Hyang dengan bukan bahasa ibu,
dimana yang terjadi antara perasaan dan pikiran kita, mungkin tidak
sesuai dengan bahasa yang kita sampaikan. Meskipun demikian Gusti akan
tetap mengerti dan menjawab tepat sesuai permohonan perasaan dan pikiran
kita, tetapi hal ini justru dapat memperolok-olok Tuhan Yang Maha Esa.
Mengapa? Karena kita tidak paham isinya.
Sebagai contoh, seorang pemuka agama yang paham benar dengan bahasa
agama import tertentu, memberikan do’a yang notabene mendoakan dirinya,
tetapi kita yang tidak mengerti menggunakan do’a tersebut untuk
permohonan kita. Bagaimana?
Jadi untuk tidak memperolok-olok Tuhan Yang Maha Esa, seyogyanya berdo’a
atau bersembahyang dengan bahasa ibu. Karena dengan bahasa ibu kita
tahu persis, tidak hanya isi dan arti yang terkandung, tetapi makna yang
terkandung pun kita paham. Selain itu, kita dapat memilihkan dan
menggunakan kosa kata yang pantas kepada Gusti.
Sebagai contoh, kata minta dan mohon mempunyai arti yang sama, tetapi
pantaskah kita menggunakan kata minta kepada Tuhan Yang Maha Esa?
Seorang Kejawen Sejati, berbicara dengan sesama manusia saja ada
tingkatannya. Usia sebaya atau di bawahnya dan orang yang lebih tua.
Jadi untuk berkomunikasi atau menyampaikan perasaan dan pikirannya
kepada Gusti, selain pemilihan bahasa yang santun, juga dengan tehnik
Olah Roso.
Bahasa ibu seseorang adalah sebuah prilaku yang melekat pada diri orang
tersebut. Sehingga apapun yang dikatakan merupakan pengadilan bagi
dirinya sendiri. Oleh karenanya ada pribahasa: mulutmu harimaumu.
Intinya, jika kita bersembahyang dengan bahasa ibu, hal ini akan
mempunyai dampak yang lebih positif, ketimbang kita berdoa dengan bahasa
hafalan yang kita tidak mengerti maknanya. Karena dari apa yang kita
ucapkan, kita lebih mengerti akan tanggung jawab yang kita emban, yang
mana semuanya tercermin dalam rangkaian kosa kata kita dalam berdo’a.
Kita semua tahu, makna sembahyang itu tidak hanya memohon kepada Tuhan
Yang Maha Esa, tetapi juga bertanggung jawab atas apa yang kita
mohonkan. Bagi orang yang punya niat jahat, memang lebih enak sembahyang
dengan bahasa yang ia sendiri tidak mengerti, karena (secara
psikologis) hal itu tidak menimbulkan rasa tanggung-jawab pada dirinya,
yang ada hanyalah harapannya saja yang ia mohonkan. Dengan demikian,
bagi orang yang punya niat jahat, sembahyang dengan do’a-do’a yang ia
sendiri tidak mengerti maknanya, akan melindungi dirinya dari rasa
berdosa.
Sebagai seorang yang berbudi luhur, hendaknya kita dapat bersyukur,
sekaligus mempertanggung-jawabkan do’a yang kita panjatkan kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
Bagi seorang Kejawen, dendam adalah suatu yang membebankan dirinya.
apalagi, jika dirinya sedang melakukan puasa. Oleh karenanya, seorang
Kejawen seyogyanya tidaklah memiliki dendam kepada siapapun. Semua
perbuatan yang menyakitkan oleh orang lain kepada dirinya, seyogyanya
harus cepat-cepat dimaafkan (diminta atau tidak).
Masuknya agama-agama import, membungkus pemaafan kepada seseorang
diikuti, keharusan orang itu menerima kembali orang yang menyakitkan
dirinya sebagai orang yang seolah baru lahir kembali tanpa kesalahan.
Hal ini dimaksudkan agar orang-orang lokal lengah terhadap pembusukan
nilai-nilai lokal oleh para tokoh-tokoh agama import tadi. Mengingat
budaya orang-orang lokal yang sangat sengkretis, hal ini dimanfaatkan
untuk merusak nilai-nilai yang sudah ada.
Sekarang, sebagai orang Kejawen yang belajar dari pengalaman buruk, dari
pengaruh buruk budaya asing (yang dibawa oleh agama-agama import), kita
harus mengasah Kewaspadaan yang bukan dendam, sehingga orang tadi tidak
bisa serta-merta membodohi lagi, perasaan orang lokal yang sangat luhur
(salah satunya tanpa prasangka buruk).
Banyak apologi yang mengatakan bahwa tidak baik memutus tali
silahturahmi kepada siapapun. Tetapi demi kewaspadaan memutus tali
silahturahmi kepada orang jahat adalah suatu keharusan. Sebagai contoh:
waspada terhadap orang yang pernah menipu/ merampok kita, adalah langkah
yang benar agar kita tidak tertipu untuk kedua kalinya.
Kedjawen Tidak Perlu Guru Agama
Mengapa Kedjawen tidak perlu guru? Hal ini karena di satu sisi Empat Sila Utama Pola Hubungan
bisa didapat dari Olah Roso, di sisi lain pola hubungan manusia dengan
Tuhan Yang Maha Esa adalah pola hubungan yang unik. Sehingga tidak ada
guru yang lebih paham dari diri kita sendiri, dalam konteks hubungan
diri kita sendiri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Alasan lain, Guru Agama
cenderung membodohi muridnya demi keuntungan dirinya sendiri.
Di negara berkembang, Guru Agama menjadi profesi untuk cari makan. Jadi,
Kedjawen adalah hal yang mengancam bagi mereka yang mencari makan dari
mengakali silabus pengajaran agama menjadi semakin panjang.
Dari penelitian kecil saya, selama saya berkunjung ke berbagai negara-negara maju di seluruh dunia. Di sana tidak yang namanya Guru Agama, karena agama adalah hal yang sangat pribadi, atau yang saya selalu sebut sebagai Hubungan Manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa adalah Hubungan Yang Unik
Mengapa Kedjawen tidak mempunyai Rasul? Dalam pemahaman Kedjawen, kita
semua ini UtusanNya, jadi kita tidak memerlukan Rasul atau perantara
untuk dapat berinteraksi dengan Tuhan Yang Maha Esa. Inti dari Kejawen
adalah Manunggaling Kawulo Gusti, Karena dengan Manunggaling Kawulo
Gusti, kita mengerti arti kebenaran yang sesungguhnya dan seutuhnya.
Seorang Kejawen memiliki hubungan yang khusus kepada sang Pencipta,
tidak perlu memakai perantara untuk mencapainya. Oleh karenanya, untuk
menjadi seorang Kejawen Sejati kita memerlukan usaha yang ekstra untuk
memahaminya, melalui Olah Roso. Tetapi, ketika kita sudah mendapatkan
pola interaksi yang sakral tersebut, semuanya akan lebih mudah,
dibanding dengan ritual semua agama yang ada di dunia ini.
Do’a Dasar
Yang dimaksud do’a dasar adalah, do’a yang dapat dilakukan dalam
berbagai kesempatan. Bacaannya: Gusti, hanya padaMu aku berpasrah, hanya
padaMu aku berterimakasih, hanya padaMu aku memohon. Setelah itu
sebutkan niat kita berdo’a. Contohnya, kita ingin memohon kesembuhan.
Gusti, hanya padaMu aku berpasrah, hanya padaMu aku berterimakasih,
hanya padaMu aku memohon. Gusti, saya/aku/hamba memohon atas kesembuhan
penyakit yang sudah saya/aku/hamba derita selama ini, dsb.
Do’a tersebut di atas hanyalah contoh. Bukan berarti anda harus meniru
100%. Seperti kesepakatan, bahwa hubungan setiap individu dengan Gusti
memiliki hubungan yang unik. Yang perlu benar-benar diingat adalah, do’a
seorang Kejawen tidaklah sama seperti doa agama-agama import yang gemar
menggunakan kalimat perintah kepada Tuhan Yang Maha Esa, adalah
perasaan dan pikiran kita yang ingin kita sampaikan kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Dalam tradisi Jawa, seseorang dapat mewujudkan do’a dalam bentuk lambang
atau simbol. Lambang dan simbol dilengkapi dengan sarana ubo rampe
sebagai pelengkap kesempurnaan dalam berdo’a.
Lambang dan simbol mengartikan secara kiasan bahasa alam yang dipercaya
manusia Jawa sebagai bentuk isyarat akan kehendak Tuhan Yang Maha Esa
(Gusti). Manusia Jawa akan merasa lebih dekat dengan Tuhan jika do’anya
tidak sekedar diucapkan di mulut saja (NATO), melainkan dengan diwujudkan dalam bentuk, seperti: tumpeng, sesaji dan sebagainya, sebagai simbol kemanunggalan tekad bulat.
Oleh karenanya, manusia Jawa dalam berdo’a melibatkan empat unsur tekad bulat
yakni: hati, fikiran, ucapan, dan tindakan. Upacara-upacara tradisional
sebagai bentuk kepedulian pada lingkungannya, baik kepada lingkungan
masyarakat manusia, maupun masyarakat ghaib yang hidup berdampingan,
agar selaras dan harmonis dalam melakukan penyembahan kepada Tuhan Yang
Maha Esa (Gusti).
Bagi manusia Jawa, setiap rasa syukur dan do’a harus diwujudkan dalam
bentuk tindakan riil (atau diiringi dengan usaha), sebagai bentuk
ketabahan dan kebulatan tekad yang diyakini dapat membuat do’anya
dikabulkan.
Tapa
Apapun nama dan pelaksanaannya, bila dilakukan dengan niat yang tulus,
maka tak mungkin akan membuat manusia yang melakoninya akan celaka.
Intinya adalah, ketika seseorang melakoni tapa dengan ikhlas, maka orang
tersebut akan terbersihkan tubuh fisik dan eteriknya dari segala macam
kotoran. Berikut ini beberapa macam topo:
1. Topo Jejeg, tidak duduk selama 12 jam.
2. Topo Lelono, melakukan perjalanan (jalan kaki) dari jam 12 malam sampai jam 3 pagi (waktu ini dipergunakan sebagai waktu instropeksi diri).
3. Topo Kungkum,
masuk kedalam air sungai dengan tanpa pakaian selembarpun dan posisi
duduk bersila didalam air dengan kedalaman setinggi leher. Biasanya di
pertemuan dua buah sungai, menghadang arus, namun demikian diperbolehkan
memilih tempat yang baik, yang arusnya tidak terlalu deras serta tidak
berlumpur. Lingkungan harus sepi, dan diusahakan tidak ada orang lain
ditempat itu. Dilaksanakan mulai jam 12 malam (jam 10 keatas) sampai
kurang lebih tiga jam (beberapa orang hanya 15 menit), tidak boleh
tertidur dan tidak boleh banyak bergerak. Disarankan mandi terlebih
dahulu sebelum melakukan ritual ini. Do’a sesaat sebelum masuk sungai: “Putih-putih mripatku, ireng-ireng mripatku, telenging mripatku, semua krana Gusti.”
Pada saat masuk air, mata harus tertutup dan tangan disilangkan di dada
serta nafas teratur. Kungkum dilakukan selama 7 malam.
4. Topo Ngalong, yaitu bertindak seperti kalong
(kelelawar besar) dengan posisi tubuh kepala dibawah dan kaki diatas
(sungsang). Pada tahap tertentu, topo ini dilakukan dengan kaki yang
menggantung di dahan pohon, dan posisi kepala di bawah. Pada saat
menggantung dilarang banyak bergerak. Secara fisik bagi yang melakukan,
topo ini melatih keteraturan nafas. Biasanya puasa ini dibarengi dengan
puasa ngrowot.
5. Topo Ngeluwang, adalah tapa paling menakutkan bagi orang-orang awam, dan membutuhkan keberanian yang sangat besar. Topo Ngeluwang disebut-sebut sebagai cara untuk mendapatkan daya penglihatan ghaib dan menghilangkan sesuatu. Topo Ngeluwang
adalah topo dengan dikubur di suatu pekuburan atau tempat yang sangat
sepi. Setelah seseorang selesai dari topo ini biasanya keluar dari kubur
maka akan melihat hal-hal yang mengerikan (seperti arwah gentayangan,
jin dsb). Sebelum masuk kekubur, disarankan membaca doa: “Niat
ingsun Ngelowong, anutupi badan kang bolong siro mara siro mati, kang
ganggu marang jiwa ingsun, lebur kaya dene banyu krana Gusti.”
Puasa (Poso)
Berbagai macam puasa bagi seorang Kejawen:
1. Poso Mutih,
yaitu tidak boleh makan apa-apa kecuali hanya nasi putih dan air putih
saja. Nasi putihnya pun tidak boleh ditambah apa-apa lagi (seperti gula,
garam dll.) jadi betul-betul hanya nasi putih dan air putih saja.
Sebelum melakukan puasa mutih ini, biasanya seorang pelaku puasa harus
mandi keramas dulu sebelumnya, dan membaca do’a: “Niat ingsun mutih, mutihaken awak kang reged, putih kaya bocah mentas lahir, kabeh krana Gusti.”
2. Poso Ngeruh, yaitu hanya boleh makan sayuran / buah-buahan saja. Tidak diperbolehkan makan daging, ikan, telur dsb (vegetarian).
3. Poso Ngebleng, adalah menghentikan segala aktifitas normal sehari-hari. Seseorang yang menjalani Poso Ngebleng
tidak boleh makan, minum, keluar dari rumah/kamar, atau melakukan
aktifitas seksual. Waktu tidur pun harus dikurangi. Biasanya seseorang
yang melakukan poso ngebleng tidak boleh keluar dari kamarnya
selama sehari semalam (24 jam). Pada saat menjelang malam hari tidak
boleh ada satu lampu atau cahaya pun yang menerangi kamar tersebut.
Kamarnya harus gelap-gulita tanpa ada cahaya sedikitpun. Dalam melakukan
puasa ini diperbolehkan keluar kamar hanya untuk buang air saja.
4. Poso Patigeni, hampir sama dengan Poso Ngebleng.
Perbedaannya adalah, tidak boleh keluar kamar dengan alasan apapun,
tidak boleh tidur sama sekali. Biasanya puasa ini dilakukan sehari
semalam, ada juga yang melakukannya 3 hari, 7 hari dst. Jika seseorang
yang melakukan Poso Patigeni ingin buang air, maka harus dilakukan didalam kamar (dengan memakai pispot atau yang lainnya). Do’anya : “Niat ingsun patigeni, amateni hawa panas ing badan ingsun, amateni genine napsu angkara murka krana Gusti”.
5. Poso Ngelowong, lebih mudah dibanding puasa-puasa diatas. Seseorang yang melakukan Poso Ngelowong
dilarang makan dan minum dalam kurun waktu tertentu. Hanya
diperbolehkan tidur 3 jam saja (dalam 24 jam). Diperbolehkan keluar
rumah.
6. Poso Ngrowot, adalah puasa yang lengkap dilakukan dari jam 3 pagi sampai jam 18. Saat sahur seseorang yang melakukan Poso Ngrowot
ini, hanya boleh makan buah-buahan saja. Diperbolehkan untuk memakan
buah lebih dari satu, tetapi hanya boleh satu jenis yang sama, misalnya
pisang 3 buah saja. Dalam puasa ini diperbolehkan untuk tidur.
7. Poso Nganyep, adalah puasa yang hanya memperbolehkan makan yang tidak ada rasanya. Hampir sama dengan Poso Mutih, perbedaanya makanannya lebih beragam asal dengan ketentuan tidak mempunyai rasa.
8. Poso Ngidang, hanya diperbolehkan memakan dedaunan dan air putih saja. Selain daripada itu tidak diperbolehkan.
9. Poso Ngepel, mengharuskan
seseorang untuk memakan dalam sehari satu kepal nasi saja. Terkadang
diperbolehkan sampai dua atau tiga kepal nasi sehari.
10. Poso Ngasrep, hanya diperbolehkan makan dan minum yang tidak ada rasanya, minumnya hanya diperbolehkan 3 kali saja dalam sehari.
11. Poso Senin-Kemis, puasa yang dilakukan setiap hari Senin dan Kamis saja seperti namanya. Dari jam 3 pagi sampai jam 18.
12. Poso Wungon, adalah puasa pamungkas, tidak boleh makan, minum dan tidur selama 24 jam.
Sembah Hyang
Bagaimana sembahyang? Untuk sembahyang sehari-hari bisa dilakukan pada
saat bangun tidur dan ketika menjelang tidur. Maknanya, orang lahir
(bangun tidur) dan meninggal (tidur).
Bagaimana posisi sembahyang? Cukup terlentang layaknya orang tidur,
dengan telapak tangan kiri diletakan tepat di atas jantung, dan telapak
tangan kanan diletakan tepat di atas puser. Maknanya, jantug adalah
organ vital kehidupan yang membersihkan darah dan puser adalah tali kehidupan ketika kita di dalam kandungan.
Do’a ketika sembahyang bangun tidur: “Terimakasih Gusti, saya diberi
kesempatan kembali untuk hidup hari ini. Sedulur papat limo pancer, mari
kita sama-sama menikmati hari ini dengan baik, semoga hidup kita juga
bermanfaat bagi Gusti dan pihak lain (alam, mahluk halus, sesepuh, orang
lain, dsb).
Do’a sembahyang menjelang tidur: “Gusti, terimakasih untuk hari ini.
Niat saya tidur, ikhlas dan pasrah pada Gusti. Sedulur papat limo
pancer, selamat tidur, badan tidur hati tetap bangun. Terimakasih, sudah
bersama-sama dengan saya dari bangun tidur hingga tidur kembali.
Sebelum melakukan segala sesuatu, sebagai seorang Kejawen harus Eling lan Waspodo.
Arti kekiniannya, kita harus selalu sadar dan konsentrasi pada apa yang
kita akan lakukan. Tetapi arti yang sebenarnya, kita harus selalu ingat
dengan Gusti, dan bahwa segala sesuatu kejadian tidak lepas dari
interaksi kita dengan segala sesuatu di sekitar kita termasuk alam,
sesepuh, dan mahluk halus lainnya.
Sembayang lainnya, dapat dilakukan dalam keadaan duduk bersila, berdiri,
maupun terlentang. Selain sembahyang wajib, akan lebih baik dilakukan
dalam keadaan duduk atau sila, telapak tangan kiri menempel di dada, dan
telapak tangan kanan menempel pada puser, atau dengan tangan kanan di
bawah tangan kiri. Makna tangan kanan di bawah tangan kiri adalah, yang
kotor di bawah yang bersih (darah bersih dari jantung mengalir pada
bagian tubuh sebelah kiri, sementara aliran darah kotor mengalir pada
bagian tubuh sebelah kanan).
Mahluk Halus, Jin, dan Setan
Mereka adalah mahluk yang hidup di dunia ini juga. Cuma bedanya, mereka
memiliki frequensi yang berbeda dengan frequensi manusia. Selain itu,
zat badan mereka pun, tidak terdiri dari zat-zat yang kasar, seperti
yang kita biasa temui di dunia nyata kita ini. Sehingga tidak
mengherankan, jika mereka disebut dengan mahluk halus.
Tetapi pada prinsipnya, pola kehiduan sosial mereka secara umum, sama
seperti kehidupan kita-kita di dunia nyata ini. Singkat kata, mereka ada
yang baik dan ada yang jahat, ada yang pintar dan ada pula yang bodoh.
Pola pergaulannya pun hampir sama dengan pola pergaulan manusia secara
umum.
Jin adalah jenis mahluk halus yang termasuk dalam kategori pintar dan
pintar sekali, sehingga ada sebagian dari mereka yang dapat berubah
wujud, menjadi berpenampilan seperti manusia normal. Dalam kehidupan
Jinpun ada yang punya sifat baik dan ada yang memiliki sifat buruk.
Jadi tidak ada alasan memusuhi jin yang bersifat baik. Tetapi seperti
manusia pula, dimana di dalam kehidupan nyata sehari-hari kitapun dapat
terkecoh oleh copet yang ber-jaz dan berdasi. Seperti dalam kehidupan
sehari-hari, kitapun ingat pepatah Don't See a Book from the Cover. Hal inilah yang membuat kita harus terus menjadi lebih waspada terhadap siapapun juga, baik itu jin atau manusia sekalipun.
Banyak sekali para tokoh agama import yang menyalah-artikan mahluk halus
dengan menyamaratakan semua mahluk halus tersebut dengan sebutan syetan.
Hal ini sebenarnya adalah untuk mengelabuhi orang-orang awam, agar
tidak bisa bergaul (ingat, bukan menyembah) dengan mahluk halus yang
baik, dan mau saling tolong-menolong dengan manusia.
Jadi bagi seorang Kejawen, seyogyanya tidak boleh cepat-cepat menghakimi bahwa mereka semua adalah syetan, karena
syetan sesungguhnya adalah sifat yang paling buruk dalam kehidupan di
tiga dunia ini (dunia nyata, dunia mahluk halus, dan dunia maya).
Tokoh agama import tersebut sebenarnya, ingin mengeliminasi pergaulan
manusia awam dengan mahluk halus (ada yang baik dan ada yang jahat). Hal
ini dikarenakan, agar tokoh agama tersebut dapat memanfaatkan
pertolongan mahluk halus tersebut lebih leluasa, untuk kepentingan dan
keuntungan tokoh agama import itu sendiri.
Jadi keterangan mereka atau pembelajaran mereka kepada pengikutnya,
adalah terbalik dengan apa yang mereka perbuat di balik itu semua. Romo
(seorang tokoh Agami Jawi) selalu menasehati kita, bahwa jangan pernah
buat janji pada mahluk halus. Makna tersebut sebenarnya sama dengan
"Jangan gampang membuat janji kepada orang lain, karena janji itu
hutang".
Kalau seseorang berjanji kepada orang lain, pasti orang yang mendapat
janji tersebut akan menagih janji jika dia butuh janji tersebut. Tetapi
karena manusia terikat dengan dimensi waktu dan tempat, maka si penagih
janji tidak dapat setiap saat muncul di hadapan orang yang memberi janji
tersebut. Sementara mahluk halus tidak mengenal dimensi tempat,
sehingga mereka bisa setiap saat menagih janji tersebut. Inilah yang
sangat mengganggu manusia yang mudah membuat janji tersebut.
Sesaji atau Sajen
Mengapa seorang Kejawen Sejati memberikan sajen? Hal ini dikarenakan
oleh tata krama sopan santun kepada pihak lain (alam, mahluk halus,
sesepuh, orang lain, dsb) yang harus dicerminkan oleh seorang Kejawen.
Analoginya, dengan kita menyembah Gusti, tidak berarti kita tidak
menyuguhkan kenalan atau tetangga kita yang berkunjung ke rumah kita.
Dalam kehidupan ini, agama mana yang tidak mempercayai alam gaib, atau
kehidupan lain di bumi ini? Dalam Kedjawen, kepercayaan itu dituangkan
pula dalam pola sopan santun kepada mahluk halus yang termasuk dalam
kategori pihak lain (alam, mahluk halus, sesepuh, orang lain, dsb) yang
ada di sekitar kita.
Atau sebaliknya, jika kita menyuguhkan sajian kepada tamu kita yang
datang ke rumah kita, apakah artinya kita menyembah tamu kita tersebut?
Jawabnya tentu tidak bukan?
Mengapa malam Jum’at? Seorang Kejawen mempercayai bahwa malam Jum’at adalah malam dimana para sesepuh (baik itu mahluk halus maupun orang tua/saudara/kerabat yang sudah tidak ada) mengunjungi anak wayahnya.
Apa yang disuguhkan? Untuk menghormati para sesepuh,
kita sebaiknya menyuguhkan hidangan seperti layaknya menyuguhkan tamu
kita, minuman teh atau kopi (tidak menutup kemungkinan jika kita juga
ingin menyediakan rokok, bunga melati sebagai wangi-wangian, dsb)
sebagai simbol penghormatan kita kepada para sesepuh
atau tamu kita. Jadi, hal ini merupakan bentuk sopan santun kita kepada
para sesepuh, maupun mahluk halus yang kita rasa sering berkunjung ke
rumah kita.
Mengapa disebut sesepuh? Karena mereka umumnya mempunyai umur yang jauh
di atas kita. Sehingga mereka layak disebut sesepuh. Begitu juga kakek
buyut kita atau orang tua kita yang sudah meninggal. Dimana mereka
selalu menengok anak-cucunya pada malam Jum’at.
Jadi kita tidak menyembah sesepuh kita melebihi Gusti? Absolut tidak,
kalau dibalik dengan pertanyaan, apakah anda menyuguhkan kenalan anda
waktu mereka bertamu ke rumah anda, berarti anda menyembah tamu anda?
Mengapa waktu memberikan sesajen, bersikap seolah menyembah? Ini memang ada kesalahan gesture
antara menyembah Gusti dengan memberi hormat kepada sesepuh. Sebenarnya
dalam Kejawen menjembah Gusti, tangan diletakan di atas kepala atau
bersentuhan dengan dahi. Yang memiliki makna, posisi Gusti adalah
absolut di atas segala-galanya. Sedangkan untuk memberi salam hormat
kepada sesepuh tangan/jempol menyentuh dagu, yang memiliki makna bahwa
seorang Kejawen tidak boleh berbuat sembrono/sembarangan (baik prilaku
maupun bertutur kata), kepada orang atau mahluk yang lebih sepuh.
Sementara memberi salam hormat kepada sesama adalah dengan tangan/jempol
menyentuh dada, yang memiliki makna, bahwa seorang Kejawen menghormati
sesamanya dengan hati yang tulus dan ikhlas.
Jadi jelas bahwa Seorang Kejawen harus menjaga keseimbangan sopan santun
dengan pihak lain (alam, mahluk halus, sesepuh, orang lain, dsb)
Kanuragan
Ilmu kanuragan dalam babad nusantara, khususnya tanah Jawa, menjadi hal
penting dan menjadi bagian budaya jaman Jawa kuno. Kita telah mengenal
beberapa ilmu metafisika yang dalam kebudayaan Jawa disebut Kanuragan,
seperti: Aji Gendam (hampir sama dengan Hipnotis), Aji Pameling (hampir
sama dengan telepati), Aji kijang kencana, Aji Bayu Bajra, Aji Bandung
Bondowoso dan lain-lain. Ilmu Kanuragan tersebut sempat mencapai
kejayaannya pada masa kerajaan kuno, terutama era Majapahit dan
Sriwijaya.
Orang-orang yang ingin menyesatkan pemahaman Agami Jawi, mereka
memutarbalikan fakta, dengan menyisipkan kedalam ajaran Kejawen, yakni
metode praktis untuk melatih ilmu tenaga dalam. Padahal ilmu tersebut
adalah ilmu bela diri tradisional orang-orang Jawa yang disebut
Kanuragan. Jadi Kanuragan sama sekali bukan bagian dari Agama Jawi,
karena Agama Jawi tidak mengajarkan seseorang untuk perang.
Seorang Kejawen Sejati tidak boleh memiliki rasa dendam, apalagi
berfikir untuk berperang, logikanya, kalau Tuhan Yang Maha Esa yang Maha
Kuasa menganggap perlu memusnahkan sesuatu yang merugikan, maka dalam
sekejap hal tersebut dapat terlaksana, sehingga proses tersebut tidak
perlu adanya campur tangan manusia.
Kalau logika berperang adalah untuk pembenaran, maka apa bedanya agama
tersebut dengan pola pikir negara-negara Barat yang sering melakukan
penyerangan atas nama pembenaran.
Bedanya, pembenaran negara-negara Barat dengan melakukan sosialisasi
logika mereka. Di lain pihak, orang-orang yang mengaku baragama, bahkan
mengklaim pembenaran mereka untuk menyerang sesama mereka sendiri dengan
ayat-ayat agama kepercayaannya. Kalau dipikir lagi, apakah Tuhan Yang
Maha Esa akan memberikan ayat-ayat untuk membunuh?
Ujian dari Tuhan Yang Maha Esa
Di agama lain, mungkin mempercayai bahwa kesusahan atau penderitaan
merupakan ujian dari Tuhan. Bagi Agami Jawi, Gusti hanya memutuskan 2
(dua) hal absolut (yang disebut takdir), yakni kehidupan (lahir di
bumi), dan kematian (meninggalkan bumi). Selain itu, Gusti memberikan
kita pilihan.
Pada saat kita dilahirkan, dapat dianalogikan kita berada di depan
sejuta persimpangan jalan. Pada saat itu memang kita belum dapat memilih
jalan mana yang akan kita tempuh. Di sinilah peran orang tua kita yang
memberikan warna samar-samar pada arah jalan hidup kita kemudian. Namun
pada saatnya kita menginjak besar/puber, seyogyanya kita sudah mempuyai
kapabilitas untuk menentukan jalan mana yang akan kita tempuh. Saat
itulah, kita menentukan nasib kita sendiri.
Dua pilihan besarnya adalah, apakah kita ingin menjadi orang baik atau orang jahat.
Dari dua pilihan besar itu, kita pun masih harus memilah-milah
deferensiasinya dalam menjalankan pilihan itu sendiri. Yang perlu
diingat adalah, jika kita sedang dalam masa-masa sulit atau kesusahan,
maka itu artinya kita sedang berada dalam jalan yang salah. Bukan ujian
dari Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan kita mengatakan bahwa kesulitan itu adalah ujian dari Tuhan Yang
Maha Esa, maka tak ubahnya kita mengecilkan Tuhan kita sendiri. Hal ini
yang banyak dilakukan oleh agama-agama import/pendatang. Menurut mereka
Tuhan tak ubahnya seperti satpam, hal ini pulalah yang membuat bangsa
kita selalu terpuruk dari eksistensi negara-negara lain. Ingatlah, Tuhan
ada di atas segala-galanya. Ketika kita mengecilkanNya, maka alam dan
seisinya yang akan mengecilkan kita.
Mungkin banyak dari anda, mempertanyakan tentang sangat berbedanya pola
pikir Agama Lokal Nusantara ini, dengan agama-agama import lainnya. Hal
ini dikarenakan, Agami Jawi tumbuh di alam yang bersahabat, sehingga
seorang Kejawen Sejati terbiasa melihat di luar dirinya adalah hal-hal
yang baik. Jadi, justru dirinyalah yang harus menyesuaikan dengan
kebaikan itu sendiri. Hal ini anda dapat memahaminya pada Empat Sila Utama Pola Hubungan.
Berdosakah karena pindah Agama?
Berdosa karena pindah agama, atau apapun sebutannya, banyak agama
mengutuk umatnya yang keluar dari agamanya. Bagi seorang Kejawen Sejati
yang berasal dari ajaran turun-temurun keluarganya, bersyukurlah
dirinya, karena ia tidak perlu mengalami pindah-pindah agama.
Tetapi, bagi seorang yang baru sadar akan keluhuran Agami Jawi setelah
dirinya dewasa, dan ingin kembali lagi sebagai seorang Kejawen Sejati.
Percayalah, Gusti / Tuhan Yang Maha Esa tidak akan pernah menghukumnya.
Karena, ketika dirinya menganut agama rosul yang menempatkan dirinya
tidak lagi sebagai titipan Tuhan Yang Maha Esa, dimana hubungannya
dengan Tuhan Yang Maha Esa harus melalui Perantara untuk menyampaikan
do’a atau pujian kepadaNya.
Tidak sedikitpun Tuhan Yang Maha Esa menghukumnya, apalagi ketika ia
sadar dan ingin memperbaiki kesalahan masa lalunya, dan kembali ke
keyakinan Agami Jawi yang hakiki tersebut. Di lain pihak, mengakui dan
meyakini bahwa kehidupan dirinya adalah pinjaman dari Gusti, yang pada
awalnya dititipakan kepada orang tua mereka yang melahirkannya.
Dosakah seorang Kejawen pindah ke Agama lain?
Tidak ada satu orang pun yang berhak untuk menghakimi seorang Kejawen,
yang pindah ke agama lain. Karena Tuhan Yang Maha Esa memberikan kita
hati dan pikiran, yang mana itu semua sudah diserahkannya sejak kita
lahir di muka bumi.
Dengan kepindahannya dari Agama Jawi ke agama lain, ini berarti ia
memilih pola hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, dan bagaimana
dirinya menempatkan Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Apakah dirinya
ingin memiliki hubungan yang langsung dengan Tuhan Yang Maha Esa (tetap
pada keyakinan Agama Jawi), atau dengan Perantara (pindah ke agama
Rasul).
Agama Rasul menempatkan Rasul sebagai Perantara komunikasi, antara
dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya, dalam sembahyang
atau do’a mereka, mereka tidak lupa menyebutkan atau bahkan mendo’akan
para Perantara mereka terlebih dahulu, sebelum memberikan puji syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di lain pihak, hal tersebut sebagai wujud
eksistensi mereka, bahwa mereka ada di jalur Perantara yang mana.
Kearifan Lokal
Mengapa Indonesia terpuruk? Karena manusia yang mayoritas menganut agama import tidak mengenal Kearifan Lokal
seutuhnya. Sedangkan dalam Agami Jawi, hal tersebut sudah termasuk di
dalamnya, bagaimana seorang Kejawen memperlakukan pihak lain (orang
lain, alam, mahluk halus, sesepuh, dsb).
Dalam keyakinan alam bawah sadar orang-orang yang hidup di wilayah Indonesia,
mempelakukan alam selayaknya kita memperlakukan orang lain (dalam
konteks Agami Jawi). Kalau perlakuan terhadap pihak lain, kita lakukan
dengan benar, maka masyarakat Indonesia tidaklah menderita seperti sekarang ini.
Ref:
http://kejawenonline.blogspot.com
Comments