SEMARANG- Sudah jatuh tertimpa tangga, kiasan
ini sepertinya tepat bagi penganut aliran kepercayaan di Jawa Tengah.
Kelompok ini sering kali mendapat perlakuan diskriminasi di lingkungan
mereka tinggal.
Rasa takut pun mulai timbul, bahkan, mereka tidak berani meminta hak mereka sebagai warga negara, seperti pembuatan KTP atau mengurus surat-surat lainnya.
Padahal hak dan kewajiban mereka sudah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 41/2009 dan Nomor 43/2009.
Informasi terkait perlakuan diskriminasi terhadap kelompok penghayat kepercayaan terungkap saat dilaksanakan pertemuan di Kementerian Dalam Negeri beberapa waktu lalu.
Kepala Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas) Jateng, Agus Tusono menegaskan semua terkait kepercayaan sudah diatur pemerintah. “Sesuai dengan PBM Nomor 41 dan 43 Tahun 2009 menyebutkan penganut kepercayaan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya,” jelas Agus, Senin (30/5/2011).
Menurut Agus, ada kasus penolakan pemakaman seorang penganut kepercayaan sehingga mereka harus menguburkan jenazah di halaman rumah mereka. “Kenyataannya dalam beberapa kasus banyak penganut kepercayaan yang belum memperoleh hak dan kewajibannya sesuai PBM tersebut. Seperti kasus di Brebes, ketika seorang penganut kepercayaan meninggal jenazahnya ditolak dimakamkan di pemakaman umum, sehingga keluarga terpaksa memakamkan jenazah di rumah. Hal yang sama diduga juga terjadi di Demak dan Rembang,” beber Agus.
Untuk itu, lanjut dia, Kesbangpolinmas akan menindaklanjuti implementasi PBM tersebut baik di kalangan Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah di Kabupaten/Kota ke 35 DATI II di Jateng.
Disebutkan juga dalam pertemuan yang dilakukan di Jakarta tersebut juga terungkap tidak hanya soal pemakaman yang didiskreditkan, namun termasuk pembuatan KTP, izin pernikahan atau tempat berkumpul di sanggar atau di padepokan juga dipermasalahkan. Bahkan sampai kasus dalam mencari pekerjaan.
“Karena itu implementasi PBM No 41 dan 43 ini akan segera dilakukan sehingga baik Pemerintahan Provinsi, Kota, dan Kabupaten bisa mengerti dan mengimplementasikan sehingga tidak terjadi ketakutan atau phobia para pengikut penghayat,” ucapnya.
Agus menjelaskan, di Jateng terdapat lebih dari 100 organisasi penghayat kepercayaan, namun mereka enggan menonjolkan diri sehingga yang tercatat secara resmi baru sekira 24 organisasi.
“Ini mungkin karena mereka masih ketakutan,” tutupnya.
(ton)Rasa takut pun mulai timbul, bahkan, mereka tidak berani meminta hak mereka sebagai warga negara, seperti pembuatan KTP atau mengurus surat-surat lainnya.
Padahal hak dan kewajiban mereka sudah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 41/2009 dan Nomor 43/2009.
Informasi terkait perlakuan diskriminasi terhadap kelompok penghayat kepercayaan terungkap saat dilaksanakan pertemuan di Kementerian Dalam Negeri beberapa waktu lalu.
Kepala Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas) Jateng, Agus Tusono menegaskan semua terkait kepercayaan sudah diatur pemerintah. “Sesuai dengan PBM Nomor 41 dan 43 Tahun 2009 menyebutkan penganut kepercayaan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya,” jelas Agus, Senin (30/5/2011).
Menurut Agus, ada kasus penolakan pemakaman seorang penganut kepercayaan sehingga mereka harus menguburkan jenazah di halaman rumah mereka. “Kenyataannya dalam beberapa kasus banyak penganut kepercayaan yang belum memperoleh hak dan kewajibannya sesuai PBM tersebut. Seperti kasus di Brebes, ketika seorang penganut kepercayaan meninggal jenazahnya ditolak dimakamkan di pemakaman umum, sehingga keluarga terpaksa memakamkan jenazah di rumah. Hal yang sama diduga juga terjadi di Demak dan Rembang,” beber Agus.
Untuk itu, lanjut dia, Kesbangpolinmas akan menindaklanjuti implementasi PBM tersebut baik di kalangan Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah di Kabupaten/Kota ke 35 DATI II di Jateng.
Disebutkan juga dalam pertemuan yang dilakukan di Jakarta tersebut juga terungkap tidak hanya soal pemakaman yang didiskreditkan, namun termasuk pembuatan KTP, izin pernikahan atau tempat berkumpul di sanggar atau di padepokan juga dipermasalahkan. Bahkan sampai kasus dalam mencari pekerjaan.
“Karena itu implementasi PBM No 41 dan 43 ini akan segera dilakukan sehingga baik Pemerintahan Provinsi, Kota, dan Kabupaten bisa mengerti dan mengimplementasikan sehingga tidak terjadi ketakutan atau phobia para pengikut penghayat,” ucapnya.
Agus menjelaskan, di Jateng terdapat lebih dari 100 organisasi penghayat kepercayaan, namun mereka enggan menonjolkan diri sehingga yang tercatat secara resmi baru sekira 24 organisasi.
“Ini mungkin karena mereka masih ketakutan,” tutupnya.
http://news.okezone.com/read/2011/05/30/340/462318/jenazah-penganut-aliran-kepercayaan-ditolak-di-tpu
Comments