Perjalanan panjang kami (saya dan seorang rekan kerja) tempuh dari Jakarta menuju Kampung Cilimus, Desa Indragiri, Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Dari mulai kendaraan kereta api, bus sepantaran kopaja, ojek sampai dengan becak kami manfaatkan agar bisa sampai di Kampung Cilimus. Sebuah kampung yang terletak di sebelah utara kabupaten Ciamis, kurang lebih memakan waktu 9 jam perjalanan jika menggunakan kendaraan umum.
Kampung Cilimus terletak di sebuah bukit, dengan kontur tanah berbatu, dikelilingi hutan, dan penduduknya belum begitu padat. Di kampung ini tinggal 4 Keluarga yang memeluk keyakinan pada ajaran yang diturunkan oleh leluhur mereka, selama ini mereka menamakan diri mereka sebagai penghayat. Sistem religi yang dulunya disebut Agama Djawa Sunda (ADS) yang sempat beberapa kali berganti nama ini mendasarkan ajaranya pada tradisi lokal masyarakat Sunda. Ajaran ini sempat beberapa kali dibubarkan oleh rezim dari mulai penjajahan jepang sampai dengan masa sebelum G 30 S.
Sebuah rumah sederhana dengan diterangi lampu bohlam 5 watt kami datangi malam itu. Ini adalah rumah dari salah satu keluarga penghayat yang memang sudah menjadi tujuanku dari Jakarta. Mang Suhya Kepala keluarga yang kami datangi ini sempat menelepon meminta bantuan untuk mendokumentasikan proses pencatatan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil Ciamis. Sudah dari sembilan tahun lalu (tahun 2001) ia dan istrinya tidak bisa mencatatkan perkawinannya dengan berbagai alasan, dari mulai penolakan petugas karena tidak ada Petujuk Pelaksanaan (Juklak) pencatatan perkawinan penghayat, sampai dengan alasan bahwa kepercayaan tidak masuk dalam agama sehingga perkawinanya tidak bisa dicatatkan.
Sepasang suami istri dengan dua anak laki-laki masing-masing berusia 8 dan 2 tahun menyambut kami dengan ramah malam itu. Yah dua anak ini adalah anak penghayat yang dalam akta kelahiranya masih berstatus anak luar kawin lantaran perkawinan orangtuanya belum bisa dicatatkan. Malam itu menjadi malam terahir bagi status anak luar kawin kedua anak ini, karena keesokan harinya akan ada peristiwa penting dalam hidup Keluarga Mang Suhya, yaitu pencatatan perkawinan yang otomatis akan mengesahkan status anak mereka.
“Walau prosesnya panjang dan berkali-kali harus mengulang mengurus dokumen, proses ini harus saya tempuh mba, saya tidak mau anak saya terus menerus menjadi anak luar kawin, lagipula tahun ini adalah tahun terahir pengurusan administrasi kependudukan, kalau tidak mengurus kedepanya harus bersidang di pengadilan” ungkap Mang Suhya sambil menemani kami makan malam. Saya kemudian bertanya bagaimana dengan posisi Mang Suhya yang tidak mau masuk dalam organisasi penghayat? “Saya terpaksa diresmikan oleh pemuka penghayat yang memiliki organisasi, tetapi ini hanya untuk menjembatani saja”.
Organisasi adalah syarat yang ditetapkan oleh Undang Undang Administrasi Kependudukan bagi penghayat agar perkawinan mereka bisa dicatatkan. Syarat ini ditolak setidaknya oleh sebagian besar pemeluk sunda wiwitan (Ajaran Sunda), pasalnya mereka berpendapat adat dan budaya tidak bisa dilembagakan, budaya ini sifatnya turun temurun dari leluhur, sehingga akan sangat aneh jika dipaksa untuk dijadikan sebagai organisasi. Belum lagi jika melihat kembali bahwa berorganisasi adalah hak bukan kewajiban, maka Negara telah melakukan pemaksaan ketika organisasi dijadikan sebagai kewajiban.
Saya lantas menanyakan berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh Mang Suhya untuk mengurus perkawinan dan syarat-syaratnya. Ia menjawab dengan agak sungkan, tapi tetap ia jawab, untuk membayar kantor catatan sipil Rp. 300.000,- sewa mobil (karena jarak dari kampung Cilimus ke Ciamis cukup jauh) Rp. 250.000,- belum lagi uang yang diberikan untuk kas kelurahan ketika mengurus akta kelahiran, dan foto coppy, kalau dihitung-hitung total pengeluaran sekitar Rp. 1.000.000,-. Pekerjaan Mang Suhya apa dan penghasilanya berapa? “Saya itu kalau di KTP tertulisnya tukang kayu, padahal sebenarnya tidak pasti kadang saya jadi kuli bangunan, kadang ikut nebang kayu di hutan, yah istilahnya kerja serabutan lah mba, penghasilanya ya ga tetap, sekarang saja saya menganggur.” Pertanyaan besar dalam benak saya yang terus mengiang sebelum saya tidur adalah dari mana mang suhya mendapatkan Uang Rp. 1.000.000,- jika kondisinya ia sedang menganggur? ditempat terpencil seperti ini?
Pagi harinya saya dan teman saya ikut ke kantor catatan sipil. Kami akan memenuhi permintaan Mang Suhya guna mendokumentasikan proses pencatatan perkawinan. Pada halaman Kantor catatan Sipil terlihat spanduk yang kurang lebih bertuliskan “Dengan Semangat HUT Kabupaten Ciamis……kita wujudkan keterbukaan informasi publik……”, tulisan ini sontak membuat saya sedikit lega karena proses mendokumentasikan mungkin akan semakin lancar karena kantor catatan sipil sudah menerapkan Undang Undang KIP.
Namun kenyataan berbanding terbalik, seorang perempuan berjilbab menanyakan dengan nada keras kepada saya “Anda siapa? sudah ijin belum?” saya kemudian menjawab “Saya dari ANBTI mau dokumentasikan bu, loh bukanya sekarang sudah ada undang Undang KIP bu?” Ibu petugas menjawab lagi “memang ada UU KIP tapi prosedurnya harus dipenuhi”. Saya kemudian menjawab “saya sudah ijin kok bu ke salah satu bapak yang ada di depan loket pendaftaran, saya malah dipersilahkan melihat lokasi pencatatan katanya” tak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulut ibu pejabat ini. Entah mengapa sang pejabat terlihat gugup ketika melaksanakan proses pencatatan perkawinan, dan mereka sampai minta maaf tiga kali kepada pasangan yang dicatatkan perkawinannya.
Setelah proses pencatatan selesai pekawinan Mang Suhya dan istrinya juga satu pasang penghayat lainya menjadi sah secara hukum, dibelakang akta perkawinan dilampirkan keterangan pengesahan anak yang intinya menyatakan kedua anak Mang Suhya adalah anak sah dari perkawinan antara mang Suhya dan Teh Titing. Sembari ikut berbahagia melihat kebahagiaan dua pasangan penghayat, saya meminta salah stau petugas pencatat untuk diwawancarai seputar prosedur pencatatan perkawinan penghayat, namun petugas ini menolak dengan alasan tidak ada perintah dari atasan.
Dua hari setelah hari itu, ketika saya sedang bertemu dengan penghayat lainya di kampung Susuru (Sebelah kampung Cilimus) pada acara ritual Sarasehan, Mang Suhya menceritakan kalau Pak Momon (pemuka penghayat yang membantu pencatatan perkawinan) di hubungi pihak catatan sipil, intinya kantor catatan sipil keberatan jika proses pencatatan perkawinan itu diberitakan karena saya tidak memiliki ijin meliput dari kantor tersebut. Mang Suhya menjawab dengan tegas kalau saya mengambil dokumentasi tidak untuk diberitakan tetapi untuk memberikan informasi pada penghayat lainya jika perkawinan penghayat sudah bisa dicatatkan dan Mang suhya memberikan nomor kontak saya agar catatan sipil menghubungi saya tapi sampai dengan hari saya tidak juga dihubungi pihak catatan sipil.
Lantun tembang sunda yang menutup sarasehan itu membuat saya berpikir, apa salahnya terlahir sebagai seorang penghayat? mereka sangat didiskriminasikan dalam perolehan hak sipil mereka. Mendokumentasikan pencatatan perkawinan saja tidak diijinkan, bandingkan jika orang yang memeluk agama yang selalu merekam proses pernikahan mereka sampai pencatatan, merka tidak pernah mendapatkan masalah. Bukankan pemeluk agama dan kepercayaan sama-sama dijamin dalam Pasal 28 E dan Pasal 29 (2) Undang Undang Dasar 1945? walaupun sebenarnya saya kurang setuju adanya pembedaan antara agama dan kepercayaan, karena esensi pemeluk agama dan kepercayaan sama-sama wujud relasi manusia dengan Sang Causa Prima.
Mang Suhya memang sudah berhasil mengurus pencatatan perkawiananya, tapi bagaimana dengan sekitar 200 penghayat lainya yang mengikuti ritual sarasehan bersamanya? belum lagi pemeluk sunda wiwitan dan pemeluk kepercayaan lain di beberapa daerah di Indonesia seperti Sedulur Sikep (Jawa Tengah), Tengger (Jawa Timur), Parmalim (Sumatra), Kaharingan (Kalimantan), Tolotang (Sulawesi Selatan), Merapu (Nusa Tenggara Timur) dan berbagai kepercayaan yang bersumber pada adat istiadat setempat, bisakah mereka mendapatkan hak sipil mereka? (Viri)
http://anbti.org/2010/06/salahkah-terlahir-sebagai-penghayat/
Kampung Cilimus terletak di sebuah bukit, dengan kontur tanah berbatu, dikelilingi hutan, dan penduduknya belum begitu padat. Di kampung ini tinggal 4 Keluarga yang memeluk keyakinan pada ajaran yang diturunkan oleh leluhur mereka, selama ini mereka menamakan diri mereka sebagai penghayat. Sistem religi yang dulunya disebut Agama Djawa Sunda (ADS) yang sempat beberapa kali berganti nama ini mendasarkan ajaranya pada tradisi lokal masyarakat Sunda. Ajaran ini sempat beberapa kali dibubarkan oleh rezim dari mulai penjajahan jepang sampai dengan masa sebelum G 30 S.
Sebuah rumah sederhana dengan diterangi lampu bohlam 5 watt kami datangi malam itu. Ini adalah rumah dari salah satu keluarga penghayat yang memang sudah menjadi tujuanku dari Jakarta. Mang Suhya Kepala keluarga yang kami datangi ini sempat menelepon meminta bantuan untuk mendokumentasikan proses pencatatan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil Ciamis. Sudah dari sembilan tahun lalu (tahun 2001) ia dan istrinya tidak bisa mencatatkan perkawinannya dengan berbagai alasan, dari mulai penolakan petugas karena tidak ada Petujuk Pelaksanaan (Juklak) pencatatan perkawinan penghayat, sampai dengan alasan bahwa kepercayaan tidak masuk dalam agama sehingga perkawinanya tidak bisa dicatatkan.
Sepasang suami istri dengan dua anak laki-laki masing-masing berusia 8 dan 2 tahun menyambut kami dengan ramah malam itu. Yah dua anak ini adalah anak penghayat yang dalam akta kelahiranya masih berstatus anak luar kawin lantaran perkawinan orangtuanya belum bisa dicatatkan. Malam itu menjadi malam terahir bagi status anak luar kawin kedua anak ini, karena keesokan harinya akan ada peristiwa penting dalam hidup Keluarga Mang Suhya, yaitu pencatatan perkawinan yang otomatis akan mengesahkan status anak mereka.
“Walau prosesnya panjang dan berkali-kali harus mengulang mengurus dokumen, proses ini harus saya tempuh mba, saya tidak mau anak saya terus menerus menjadi anak luar kawin, lagipula tahun ini adalah tahun terahir pengurusan administrasi kependudukan, kalau tidak mengurus kedepanya harus bersidang di pengadilan” ungkap Mang Suhya sambil menemani kami makan malam. Saya kemudian bertanya bagaimana dengan posisi Mang Suhya yang tidak mau masuk dalam organisasi penghayat? “Saya terpaksa diresmikan oleh pemuka penghayat yang memiliki organisasi, tetapi ini hanya untuk menjembatani saja”.
Organisasi adalah syarat yang ditetapkan oleh Undang Undang Administrasi Kependudukan bagi penghayat agar perkawinan mereka bisa dicatatkan. Syarat ini ditolak setidaknya oleh sebagian besar pemeluk sunda wiwitan (Ajaran Sunda), pasalnya mereka berpendapat adat dan budaya tidak bisa dilembagakan, budaya ini sifatnya turun temurun dari leluhur, sehingga akan sangat aneh jika dipaksa untuk dijadikan sebagai organisasi. Belum lagi jika melihat kembali bahwa berorganisasi adalah hak bukan kewajiban, maka Negara telah melakukan pemaksaan ketika organisasi dijadikan sebagai kewajiban.
Saya lantas menanyakan berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh Mang Suhya untuk mengurus perkawinan dan syarat-syaratnya. Ia menjawab dengan agak sungkan, tapi tetap ia jawab, untuk membayar kantor catatan sipil Rp. 300.000,- sewa mobil (karena jarak dari kampung Cilimus ke Ciamis cukup jauh) Rp. 250.000,- belum lagi uang yang diberikan untuk kas kelurahan ketika mengurus akta kelahiran, dan foto coppy, kalau dihitung-hitung total pengeluaran sekitar Rp. 1.000.000,-. Pekerjaan Mang Suhya apa dan penghasilanya berapa? “Saya itu kalau di KTP tertulisnya tukang kayu, padahal sebenarnya tidak pasti kadang saya jadi kuli bangunan, kadang ikut nebang kayu di hutan, yah istilahnya kerja serabutan lah mba, penghasilanya ya ga tetap, sekarang saja saya menganggur.” Pertanyaan besar dalam benak saya yang terus mengiang sebelum saya tidur adalah dari mana mang suhya mendapatkan Uang Rp. 1.000.000,- jika kondisinya ia sedang menganggur? ditempat terpencil seperti ini?
Pagi harinya saya dan teman saya ikut ke kantor catatan sipil. Kami akan memenuhi permintaan Mang Suhya guna mendokumentasikan proses pencatatan perkawinan. Pada halaman Kantor catatan Sipil terlihat spanduk yang kurang lebih bertuliskan “Dengan Semangat HUT Kabupaten Ciamis……kita wujudkan keterbukaan informasi publik……”, tulisan ini sontak membuat saya sedikit lega karena proses mendokumentasikan mungkin akan semakin lancar karena kantor catatan sipil sudah menerapkan Undang Undang KIP.
Namun kenyataan berbanding terbalik, seorang perempuan berjilbab menanyakan dengan nada keras kepada saya “Anda siapa? sudah ijin belum?” saya kemudian menjawab “Saya dari ANBTI mau dokumentasikan bu, loh bukanya sekarang sudah ada undang Undang KIP bu?” Ibu petugas menjawab lagi “memang ada UU KIP tapi prosedurnya harus dipenuhi”. Saya kemudian menjawab “saya sudah ijin kok bu ke salah satu bapak yang ada di depan loket pendaftaran, saya malah dipersilahkan melihat lokasi pencatatan katanya” tak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulut ibu pejabat ini. Entah mengapa sang pejabat terlihat gugup ketika melaksanakan proses pencatatan perkawinan, dan mereka sampai minta maaf tiga kali kepada pasangan yang dicatatkan perkawinannya.
Setelah proses pencatatan selesai pekawinan Mang Suhya dan istrinya juga satu pasang penghayat lainya menjadi sah secara hukum, dibelakang akta perkawinan dilampirkan keterangan pengesahan anak yang intinya menyatakan kedua anak Mang Suhya adalah anak sah dari perkawinan antara mang Suhya dan Teh Titing. Sembari ikut berbahagia melihat kebahagiaan dua pasangan penghayat, saya meminta salah stau petugas pencatat untuk diwawancarai seputar prosedur pencatatan perkawinan penghayat, namun petugas ini menolak dengan alasan tidak ada perintah dari atasan.
Dua hari setelah hari itu, ketika saya sedang bertemu dengan penghayat lainya di kampung Susuru (Sebelah kampung Cilimus) pada acara ritual Sarasehan, Mang Suhya menceritakan kalau Pak Momon (pemuka penghayat yang membantu pencatatan perkawinan) di hubungi pihak catatan sipil, intinya kantor catatan sipil keberatan jika proses pencatatan perkawinan itu diberitakan karena saya tidak memiliki ijin meliput dari kantor tersebut. Mang Suhya menjawab dengan tegas kalau saya mengambil dokumentasi tidak untuk diberitakan tetapi untuk memberikan informasi pada penghayat lainya jika perkawinan penghayat sudah bisa dicatatkan dan Mang suhya memberikan nomor kontak saya agar catatan sipil menghubungi saya tapi sampai dengan hari saya tidak juga dihubungi pihak catatan sipil.
Lantun tembang sunda yang menutup sarasehan itu membuat saya berpikir, apa salahnya terlahir sebagai seorang penghayat? mereka sangat didiskriminasikan dalam perolehan hak sipil mereka. Mendokumentasikan pencatatan perkawinan saja tidak diijinkan, bandingkan jika orang yang memeluk agama yang selalu merekam proses pernikahan mereka sampai pencatatan, merka tidak pernah mendapatkan masalah. Bukankan pemeluk agama dan kepercayaan sama-sama dijamin dalam Pasal 28 E dan Pasal 29 (2) Undang Undang Dasar 1945? walaupun sebenarnya saya kurang setuju adanya pembedaan antara agama dan kepercayaan, karena esensi pemeluk agama dan kepercayaan sama-sama wujud relasi manusia dengan Sang Causa Prima.
Mang Suhya memang sudah berhasil mengurus pencatatan perkawiananya, tapi bagaimana dengan sekitar 200 penghayat lainya yang mengikuti ritual sarasehan bersamanya? belum lagi pemeluk sunda wiwitan dan pemeluk kepercayaan lain di beberapa daerah di Indonesia seperti Sedulur Sikep (Jawa Tengah), Tengger (Jawa Timur), Parmalim (Sumatra), Kaharingan (Kalimantan), Tolotang (Sulawesi Selatan), Merapu (Nusa Tenggara Timur) dan berbagai kepercayaan yang bersumber pada adat istiadat setempat, bisakah mereka mendapatkan hak sipil mereka? (Viri)
http://anbti.org/2010/06/salahkah-terlahir-sebagai-penghayat/
Comments