Skip to main content

Pemerintah Godok Aturan Perkawinan Penghayat Kepercayaan

[Selasa, 05 June 2007]
Undang-Undang Administrasi Kependudukan mewajibkan Pemerintah menerbitkan PP ini paling lambat Juni 2007.

Pemerintah tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Persyaratan dan Tata Cara Perkawinan bagi Para Penghayat Kepercayaan. Jika sudah disahkan, aturan ini akan jadi titik tolak pemenuhan hak para penghayat kepercayaan dalam catatan sipil.



Rancangan tersebut mengacu pada pasal 105 Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi dan Kependudukan (UU Adminduk). Semula, ketika masih draf awal, aturan penghayat kepercayaan itu sebenarnya belum masuk. Tetapi DPR mendengar suara lebih kurang sembilan juta penghayat kepercayaan di seluruh Indonesia, ujar Sri Hartini, Kasubdit Kelembagaan Kepercayaan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depudpar).



Berdasarkan pasal tersebut, paling lambat enam bulan sejak UU Adminduk disahkan, Pemerintah wajib menerbitkan PP yang mengatur tentang penetapan syarat dan tata cara perkawinan bagi penghayat kepercayaan. Sebab, syarat dan tata cara itu menjadi dasar perolehan kutipan akta perkawinan dan pelayanan pencatatan peristiwa penting.



Selama ini, para penghayat kepercayaan mengklaim mengalami diskriminasi. Anak-anak para penghayat sulit mendaftar sekolah karena tidak beragama. Sedangkan, penghayat yang bekerja sebagai pegawai negeri tidak mendapat tunjangan istri dan anak karena tidak memiliki akta perkawinan.



Santi, Kasubdit Pengangkatan, Pengakuan dan Pengesahan Anak serta Perubahan dan Pembatalan Akta Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, mengatakan sebenarnya masalah anak-anak seharusnya telah teratasi dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Anak. Tetapi, karena akta kelahiran hanya ada tiga jenis (anak sah, anak ibu saja, dan anak asal-usul tidak jelas) maka anak para pengahayat cenderung tercatat sebagai anak ibunya saja alias anak luar kawin. Padahal, perkawinan ayah ibunya sah berdasarkan kepercayaan mereka.



Pada dasarnya, para penghayat kepercayaan tidak mengenal pencatatan sipil. Menurut dosen Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Afdol, pencatatan sipil dilakukan berdasarkan ingatan yang diturunkan turun temurun. Hal ini dimungkinkan karena segala kejadian besar di hidup anggotanya selalu dilakukan secara terang dan tunai dihadapan para pemimpin adatnya.



Karena itu, RPP yang sekarang sedang dalam proses ke Sekretariat Negara tidak akan mengatur perkawinan para penghayat melainkan hanya tata cara pencatatannya, dari lisan menjadi tulisan. Nanti, perkawinan para penghayat kepercayaan boleh dicatatkan asal ditandatangani oleh pemuka kepercayaannya, jelas Santi di depan peserta seminar dari sejumlah Kantor Catatan Sipil di Depok Rabu pekan lalu.



Muhtarom Sumakarti, Sekjen Paguyuban Masyarakat Adat Pulau Jawa menyambut baik substansi RPP yang baru. Sudah saatnya negara bersikap cerdas karena kalau negara tidak mengakui kami, maka kami tidak akan mengakui negara, tandas Muhtarom mengutip pandangan dasar Kongres Masyarakat Adat Nusantara I, Maret 1999 lalu.



Komunitas adat

Tidak hanya pencatatan perkawinan, RPP ini nantinya akan mencoba mentertibkan lebih dari 540 komunitas adat dan 249 organisasi kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Sri Hartini menyatakan ini akan mempermudah inventarisasi komunitas adat mana yang sekedar komunitas dan mana yang juga merupakan organisasi kepercayaan tersendiri. Misalnya Dayak Kaharingan. Selama ini, Kaharingan digolongkan sebagai kepercayaan. Tapi baru-baru ini, Komunitas Dayak menyatakan Kaharingan sebagai komunitas adat. Pembedaan ini mempengaruhi pembinaan dari pemerintah, jelas Sri.



Syafrudin Bahar, Anggota Komnas HAM yang kebetulan hadir turut menyambut substansi lain dari RPP yang dibicarakan. Saat ini, kami juga sedang menyusun naskah akademis RUU Masyarakat Hukum Adat dan merencanakan ratifikasi konvensi PBB tentang Indigenous People, tambahnya di depan peserta seminar Hak Masyarakat Adat atas Pencatatan Sipil yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Hukum Perdata dan organisasi dari Jerman, GTZ.



Muhtarom tampak tidak terlalu gembira dengan kemajuan itu. Selama hak-hak kami dibatasi oleh frase �sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat', kami masih skeptis, kata dia.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16853/pemerintah-godok-aturan-perkawinan-penghayat-kepercayaan

Comments

Popular posts from this blog

Belajar dari Wirid Wirayat Jati Ronggowarsito

Banyak orang yang tidak tahu apa sih ilmu sejati itu? Banyak para salik yang mencari suluk untuk mendapatkan ilmu sejati yakni ilmu kasampurnan (kesempurnaan) hidup. Tidak ada salahnya jika kita belajar ilmu kasampurnaan hidup itu dari Raden Ngabehi Ronggowarsito dari Serat Wirid Wirayat Jati yang ditulisnya. Bagaimana ilmu kasampurnan itu? Anênggih punika pituduh ingkang sanyata, anggêlarakên dunung lan pangkating kawruh kasampurnan, winiwih saking pamêjangipun para wicaksana ing Nungsa Jawi, karsa ambuka pitêdah kasajatining kawruh kasampurnan, tutuladhan saking Kitab Tasawuf, panggêlaring wêjangan wau thukul saking kawêningan raosing panggalih, inggih cipta sasmitaning Pangeran, rinilan ambuka wêdharing pangandikaning Pangeran dhatêng Nabi. Musa, Kalamolah, ingkang suraosipun makatên: Ing sabênêr-bênêre manungsa iku kanyatahaning Pangeran, lan Pangeran iku mung sawiji. (Inilah sebuah petunjuk benar yang menjelaskan ilmu sirr kesempurnaan hidup, yang berakar dari

PRIMBON JAWA LENGKAP

Sistim Penanggalan Jawa Sistim Penanggalan Jawa lebih lengkap dan komprehensif apabila dibandingkan dengan sistim penanggalan lainnya, lengkap dan komprehensifnya adalah suatu pembuktian bahwa ketelitian Jawa dalam mengamati kondisi dan pengaruh seluruh alam semesta terhadap planet bumi seisinya termasuk pengaruh kepada pranatan kehidupan manusia, dapat disampaikan antara lain adanya rumusan tata penanggalan jawa sebagai berikut : 1. Pancawara – Pasaran; Perhitungan hari dengan siklus 5 harian : 1. Kliwon/ Kasih 2. Legi / Manis 3. Pahing / Jenar 4. Pon / Palguna 5. Wage / Kresna/ Langking 2. Sadwara – Paringkelan, Perhitungan hari dengan siklus 6 harian 1. Tungle / Daun 2. Aryang / Manusia 3. Wurukung/ Hewan 4. Paningron / Mina/Ikan 5. Uwas / Peksi/Burung 6. Mawulu / Taru/Benih. 3. Saptawara – Padinan, Perhitungan hari dengan siklus 7 harian : 1. Minggu / Radite 2. Senen / Soma 3. Selasa / Anggara 4. Rebo / Budha 5. Kemis / Respati 6. Jemuwah / Sukra 7. Setu / Tumpak/Sa

Agama asli jawa Indonesia

HONG WILAHENG NGIGENO MESTUTI, LUPUTO SARIK LAWAN SANDI, LUPUTO DENDANING TAWANG TOWANG, DJAGAD DEWO BATORO HJANG DJAGAD PRAMUDITO BUWONO LANGGENG AGOMO BUDDODJAWI-WISNU hing TANAH DJOWO ( INDONESIA ) ---oooOooo--- Lambang Cokro Umbul - Umbul Klaras            Wiwitipun ngadeg Agami Buddodjawi-Wisnu wonten ing Suroboyo, nudju dinten Tumpak cemengan (Saptu Wage), tanggal kaping 11 Palguno 1856. (Djumadilawal) utawi tanggal 25 November 1925 mongso kanem, windu sengsoro, Tinengeran condro sangkolo. Ojaging Pandowo Angesti Buddo 1856. Utawi tahun Ismoyo 8756.            Tujuan Agami Buddodjawi-Wisnu anenangi soho angemuti dumateng Agami soho Kabudayan kita ing Indonesia ingkang asli soho murni, kados dene wontenipun negari Modjopait sapanginggil sederengipun wonten Agami penjajahan. Agami Buddodjawi-wisnu puniko mengku punjering Kabudayan Nasional ingkang asli soho murni ing Indonesia. Dene Punjering Kabudayan wau ingkan ngawontenaken adat t