Skip to main content

Menyoal Kebebasan Beragama dan Keyakinan (On The Freedom of Religion and Belief)

Menyoal Kebebasan Beragama dan Keyakinan
(On The Freedom of Religion and Belief)

Triyanto
Dosen Mata Kuliah Hak Asasi Manusia (HAM) Universitas Sebelas Maret (UNS-Solo)

Isu kebebasan beragama dan berkeyakinan kembali muncul. Ada aliran-aliran baru, seperti Komunitas Eden, Alquran Suci, Al Qiyadah, dan yang paling hangat adalah kasus Ahmadiyah. Aliran baru bernuansa Islam itu mendapat banyak pertentangan dari umat Islam karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa bahwa aliran tersebut sesat. Pimpinan Komunitas Eden (Lia) dan Al-Qiyadah (Ahmad Mushadeeq) akhirnya dipenjara. Kasus Alquran Suci tidak begitu jelas penyelesaiannya karena gerakannya yang terkesan sembunyi-sembunyi.

Yang masih menyisakan konflik horizontal berkepanjangan adalah Ahmadiyah. Masih segar dalam ingatan kita bentrok antara Front Pembela Islam (FPI) dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) pada 1 Juni lalu. FPI menduga AKKBB telah mendukung adanya keberadaan Ahmadiyah yang menimbulkan kemarahan umat Islam.

Aliran Ahmadiyah menimbulkan gejolak terbesar. Pendukung Ahmadiyah tidak kalah kuatnya dengan penentangnya, dari mantan Presiden Abdurrahman Wahid hingga para pegiat hak asasi manusia (HAM).

Bahkan, belakangan Ahmadiyah merapat ke sayap organisasi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Baitul Muslimin, untuk minta perlindungan politik. Kasus ini pun masuk ke ranah politik praktis yang membuat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) semakin ragu mengambil keputusan.
PDIP partai oposisi SBY. Apabila Ahmadiyah dibubarkan maka bisa memengaruhi perolehan suara SBY dan partainya pada pemilihan umum mendatang.

Saya tidak dalam kapasitas menyatakan sesat atau tidak sesat. Namun, saya akan mencoba menguraikan konsep kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia dalam perspektif HAM.

Konsep kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia mengandung konotasi positif. Artinya, tidak ada tempat bagi ateisme atau propaganda antiagama di Indonesia. Ini sangat berbeda dengan konsep di AS yang memahami freedom of religion, baik dalam arti positif maupun negatif seperti diungkapkan Sir Alfred Denning bahwa kebebasan beragama berarti bebas untuk beribadah atau tidak beribadah, meyakini adanya Tuhan atau mengabaikannya, beragama Kristen atau agama lain atau bahkan tidak beragama (Azhary, 2004).

Deklarasi HAM

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1948 menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan agama (Pasal 18). Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik mengakui hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (Pasal 18). Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam Pasal 22 UU No 39/1999 tentang HAM. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.
Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri. Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadatannya.

Negara berkewajiban menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang, serta asal usulnya. Dalam konsep HAM, hak kebebasan beragama masuk ke ranah hak sipil dan hak politik.

Hak ini termasuk ke dalam dimensi non-derogable, artinya tidak bisa ditawar atau dikurangi dalam keadaan apa pun sehingga negara harus memenuhinya.

Pembatasan HAM

Pihak-pihak pro-Ahmadiyah menggunakan pasal-pasal di atas untuk membenarkan dan membela kelompok Ahmadiyah. Mereka menerjemahkan HAM sebagai hak yang sebebas-bebasnya termasuk dalam beragama dan berkeyakinan. Dalam pemahaman secara sempit pendapat ini dapat dibenarkan.
Namun, jangan lupa bahwa dalam HAM juga dikenal adanya kewajiban asasi manusia dan pembatasan terhadap HAM itu sendiri. Pasal 28J UUD 1945 menyatakan bahwa: (1) Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.

Ketentuan ini diperkuat dalam Pasal 73 UU No.39/1999 tentang HAM. Jadi, implementasi kebebasan HAM tidak boleh melanggar HAM orang lain, tidak melanggar hukum, kesusilaan, ketertiban, maupun norma agama.
Pemerintah dapat mengatur atau membatasi kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan melalui undang-undang. Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik dari kekerasan, pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan, pendidikan, persamaan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga hak-hak kaum minoritas.

Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang dapat dibatasi demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak asasi dan kebebasan orang lain. Di antara kelima agama resmi yang diakui oleh pemerintah yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha di Indonesia tidak pernah ada penganut agama yang satu menuntut pembubaran agama lain karena pada dasarnya masing-masing agama tersebut mempunyai ajaran yang berbeda dan tidak terkait.

Dengan demikian, kelima agama tersebut dapat hidup berdampingan, tidak ada yang merasa terganggu dan hampir tidak ada konflik. Dalam kasus Alquran Suci, Al Qiyadah, dan Ahmadiyah, kelompok ini mengklaim sebagai agama Islam, tetapi ajarannya bertentangan dengan ajaran Islam yang benar. Hal ini membuat penganut agama Islam marah karena merasa terganggu keyakinan beragamanya.

Keberadaan kelompok Alquran Suci, Al Qiyadah, dan Ahmadiyah dapat dikatakan melanggar HAM dan agama orang lain sehingga bukan pada tempatnya apabila mendukung kelompok tersebut dengan mengatasnamakan HAM. Tidak ada yang melarang mereka untuk beragama dan berkeyakinan, tetapi hendaknya tidak mengganggu penganut agama yang lain, misalnya dengan membuat agama atau kepercayaan baru yang berbeda.

Meski demikian, satu-satunya pihak yang mempunyai otoritas pembatasan HAM adalah negara. Segala bentuk kekerasan dalam mengatasi persoalan agama justru akan kontraproduktif dengan upaya penegakan HAM. Pemerintah harus segera mengambil tindakan pencegahan agar konflik horizontal tidak membesar.
Pembubaran atau pelarangan Ahmadiyah bukan satu-satunnya jalan penyelesaian. Usulan dari mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Izha Mahendra agar Ahmadiyah dinyatakan pemerintah sebagai kelompok minoritas non-Islam juga dapat menjadi jalan tengah penyelesaian konflik. Namun, usulan Yusril juga harus diikuti larangan bagi Ahmadiyah untuk menggunakan atribut dan ritual Islam. Karena meskipun dinyatakan sebagai non-Islam apabila ritualnya ada kemiripan maka tetap akan ada konflik.

Peristiwa Monas merupakan hal yang patut disesalkan. Segala bentuk kekerasan dengan alasan apa pun tetap tidak dapat dibenarkan. Semoga ke depan pemerintah tidak akan ragu-ragu dan lambat dalam memutuskan suatu hal yang rentan konflik karena akan dibayar mahal dengan biaya sosial yang tinggi.

Ikhtisar:
- Kebebasan menjalankan agama atau kepercayaan dapat dibatasi demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik.
- Pemerintah dapat mengatur atau membatasi kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan melalui undang-undang.
(http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=337046&kat_id=16)

Comments

Popular posts from this blog

Belajar dari Wirid Wirayat Jati Ronggowarsito

Banyak orang yang tidak tahu apa sih ilmu sejati itu? Banyak para salik yang mencari suluk untuk mendapatkan ilmu sejati yakni ilmu kasampurnan (kesempurnaan) hidup. Tidak ada salahnya jika kita belajar ilmu kasampurnaan hidup itu dari Raden Ngabehi Ronggowarsito dari Serat Wirid Wirayat Jati yang ditulisnya. Bagaimana ilmu kasampurnan itu? Anênggih punika pituduh ingkang sanyata, anggêlarakên dunung lan pangkating kawruh kasampurnan, winiwih saking pamêjangipun para wicaksana ing Nungsa Jawi, karsa ambuka pitêdah kasajatining kawruh kasampurnan, tutuladhan saking Kitab Tasawuf, panggêlaring wêjangan wau thukul saking kawêningan raosing panggalih, inggih cipta sasmitaning Pangeran, rinilan ambuka wêdharing pangandikaning Pangeran dhatêng Nabi. Musa, Kalamolah, ingkang suraosipun makatên: Ing sabênêr-bênêre manungsa iku kanyatahaning Pangeran, lan Pangeran iku mung sawiji. (Inilah sebuah petunjuk benar yang menjelaskan ilmu sirr kesempurnaan hidup, yang berakar dari

Agama asli jawa Indonesia

HONG WILAHENG NGIGENO MESTUTI, LUPUTO SARIK LAWAN SANDI, LUPUTO DENDANING TAWANG TOWANG, DJAGAD DEWO BATORO HJANG DJAGAD PRAMUDITO BUWONO LANGGENG AGOMO BUDDODJAWI-WISNU hing TANAH DJOWO ( INDONESIA ) ---oooOooo--- Lambang Cokro Umbul - Umbul Klaras            Wiwitipun ngadeg Agami Buddodjawi-Wisnu wonten ing Suroboyo, nudju dinten Tumpak cemengan (Saptu Wage), tanggal kaping 11 Palguno 1856. (Djumadilawal) utawi tanggal 25 November 1925 mongso kanem, windu sengsoro, Tinengeran condro sangkolo. Ojaging Pandowo Angesti Buddo 1856. Utawi tahun Ismoyo 8756.            Tujuan Agami Buddodjawi-Wisnu anenangi soho angemuti dumateng Agami soho Kabudayan kita ing Indonesia ingkang asli soho murni, kados dene wontenipun negari Modjopait sapanginggil sederengipun wonten Agami penjajahan. Agami Buddodjawi-wisnu puniko mengku punjering Kabudayan Nasional ingkang asli soho murni ing Indonesia. Dene Punjering Kabudayan wau ingkan ngawontenaken adat t

PRIMBON JAWA LENGKAP

Sistim Penanggalan Jawa Sistim Penanggalan Jawa lebih lengkap dan komprehensif apabila dibandingkan dengan sistim penanggalan lainnya, lengkap dan komprehensifnya adalah suatu pembuktian bahwa ketelitian Jawa dalam mengamati kondisi dan pengaruh seluruh alam semesta terhadap planet bumi seisinya termasuk pengaruh kepada pranatan kehidupan manusia, dapat disampaikan antara lain adanya rumusan tata penanggalan jawa sebagai berikut : 1. Pancawara – Pasaran; Perhitungan hari dengan siklus 5 harian : 1. Kliwon/ Kasih 2. Legi / Manis 3. Pahing / Jenar 4. Pon / Palguna 5. Wage / Kresna/ Langking 2. Sadwara – Paringkelan, Perhitungan hari dengan siklus 6 harian 1. Tungle / Daun 2. Aryang / Manusia 3. Wurukung/ Hewan 4. Paningron / Mina/Ikan 5. Uwas / Peksi/Burung 6. Mawulu / Taru/Benih. 3. Saptawara – Padinan, Perhitungan hari dengan siklus 7 harian : 1. Minggu / Radite 2. Senen / Soma 3. Selasa / Anggara 4. Rebo / Budha 5. Kemis / Respati 6. Jemuwah / Sukra 7. Setu / Tumpak/Sa