Skip to main content

Menimbang Nasib Aliran Penghayat Kepercayaan

“Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”—Abdurrahman Wahid, Presiden RI ke-4.
Sepintas, tak ada yang istimewa dari sebuah bangunan yang ada di Jalan Ir. H. Juanda, Jakarta Pusat ini. Hanya sebuah restoran khas Yogyakarta, yang menghidangkan gudeg Jogja dan ayam bakar. Namun, di dalam restoran ini, kita akan menemui sebuah kantor, yang mungkin tak semua orang mengetahuinya.
IMG_0008
Kantor DPP HPK (doc. Fandy Hutari)
Kantor ini adalah kantor Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) Pusat. HPK merupakan sebuah wadah untuk para penganut ajaran-ajaran leluhur, yang masih mau menjaga kelestarian ajaran nenek moyang. HPK berada di bawah lindungan pemerintah, melalui pengawasan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Saya berkunjung ke sana pada Desember 2013 lalu.
Menyambangi HPK                                                                                                 
Djon Eddy (82), saya temui tepat di depan restoran Gudeg Jogja tadi. Pria senja ini mengenakan baju lengan panjang putih, persis baju koko, dengan celana pangsit berwarna hitam. Ada sebuah bros berbentuk kujang kecil berwarna emas tersemat di dada kanannya.
Djon Eddy merupakan Ketua Bidang Budaya dan Spiritual HPK. Siang itu, dia baru tiba ke kantornya di HPK. Lalu, Djon mengajak saya berbincang di sebuah kursi kayu panjang yang melintang tepat di trotoar jalan depan restoran Gudeg Jogja tadi.
Menurut Djon, ada 234 organisasi penghayat yang terdaftar di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) dan Departemen Dalam Negeri (Depdagri).
“Itu belum termasuk mereka yang sifatnya pribadi dan lokal,” katanya.
Djon menerangkan, mereka yang termasuk penghayat ada tiga kriteria, yaitu organisasi, kelompok, dan perseorangan.
“Organisasi itu yang sudah punya aktenya, ada AD/ART-nya, ada inventarisasi dari Departemen Dalam Negeri maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,” kata Djon. Djon mengungkap, sebenarnya jumlah anggota kepercayaan di Indonesia itu banyak. Hanya mereka ada yang tidak punya kartu tanda anggota organisasi.
Perbincangan kami terhenti, ketika datang seorang pria berkendara motor matik, yang kemudian parkir di sebelah kami. Pria ini adalah Achmad Ngusman (66), Kepala Sekretariat HPK.
Saya pun diajak masuk ke dalam kantor HPK. Kantor ini terletak di sudut kanan dalam restoran Gudeg Jogja. Kami melewati jejeran meja dan kursi, serta dapur restoran, di mana beberapa karyawannya sedang sibuk mempersiapkan bahan-bahan untuk memasak.
Kantor HPK dilindungi pintu kaca lebar.Ada beberapa meja kerja, kursi, dan seperangkat komputer, juga lemari berkas. Achmad Ngusman sendiri baru menganut aliran pengahyat Kepribaden pada 1971. Penghayat, menurut Achmad, menyinggung masalah gaib.
“Tidak hanya yang menyinggung masalah fisik, tapi yang metafisik juga dilaksanakan,” kata Achmad penghayat ajaran Romo Semono ini.
Lika-liku payung hukum
Payung hukum bagi para penganut kepercayaan diatur pemerintah melalui berbagai produk regulasi, sejak 1970. Di tahun tersebut, aliran penghayat kepercayaan berada di bawah lindungan Direktorat Bina Hayat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di tahun itu pula dibentuk HPK.
Kemudian, pada 1997 aliran penghayat kepercayaan dimasukkan dalam Garis-Garis Besar Halauan Negara (GBHN). Sejak itu, payung hukum bagi aliran penghayat kepercayaan semakin jelas.
Legitimasi bagi penghayat kepercayaan ada dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminsitrasi Kependudukan. Pada 2008, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata menandatangani Persaturan Bersama Nomor 43/41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2010 yang memungkinkan penghayat kepercayaan mencatatkan dan melaporkan pernikahan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil disahkan Menteri dalam Negeri Gamawan Fauzi pada 2010 lalu.
Namun, pada 2013 keluar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 yang dikenal pula Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Dalam Undang-Undang ini, diwajibkan setiap warga mencantumkan salah satu dari enam agama yang diakui pemerintah dalam KTP. Pasal 64 ayat 1 menegaskan, setiap warga negara harus memilih satu di antara enam agama yang diakui oleh pemerintah sebagai identitas dirinya.
“Dahulu jelas, ada aturan yang memisahkan antara agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sekarang, kita dipaksakan untuk masuk ke dalam (kolom) agama, ya nggak bisa,” kata Djon. Dalam KTP aliran penghayat, kolom agama ditandai dengan strip. Undang-Undang tadi jelas membatasi kebebasan beragama bagi warga negara.
Jangan lagi ada diskriminasi
Achmad yang merupakan penghayat perorangan ini mengatakan, kehidupan para penghayat masih terdiskriminasi. Dia menyontohkan, dirinya pernah kesulitan mengurus perizinan untuk membuat sebuah kios kecil di rumahnya.
“Saya pernah mengurus izin membuat warung sembako di rumah. Dilihat KTP saya (oleh petugas) tak ada agama, dia mempermasalahkan. Banyak, terutama penduduk DKI, sulit untuk melaksanakan perizinan. UU nomor 23 tahun 2006 yang namanya petugas saja nggak tau apalagi melaksanakan,” kata Achmad.
Achmad mengatakan, dulu juga pernah ada anggota kepercayaan yang disuruh pilih agama, ketika lulus ujian di sebuah instansi pemerintah.
“Setelah diterima dicek, ternyata penghayat itu tidak ada tulisan agama. Tapi, dia tetap bertahan,” katanya.
Pada akhir tahun 2014, menurut laporan beberapa media massa, ada jenazah aliran kepercayaan yang ditelantarkan selama 12 jam, karena pemakamannya ditolak warga. Kejadian ini menimpa jenazah Daodah, penganut aliran kepercayaan Sapta Darma di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Warga menolak Daodah dimakamkan di tempat pemakaman umum, dan akhirnya terpaksa dikebumikan di pekarangan rumahnya.
Padahal, dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pariwisata dan Kebudayaan Nomor 43 Tahun 2009 dan Nomor 41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa tercantum bahwa penghayat kepercayaan yang meninggal dunia dimakamkan di tempat pemakaman umum (Pasal 8 ayat 1, Bab IV tentang Pemakaman).
Lalu, di Pasal 8 ayat 2 dijelaskan, dalam hal pemakaman penghayat kepercayaan ditolak di pemakaman umum yang berasal dari wakaf, pemerintah daerah menyediakan pemakaman umum. Di ayat 3 dijelaskan, lahan pemakaman umum dapat disediakan oleh penghayat kepercayaan. Dan, di ayat 4 dijelaskan, bupati atau wali kota memfasilitasi administrasi penggunaan lahan yang disediakan oleh penghayat kepercayaan untuk menjadikan pemakaman umum. Artinya, pemerintah daerah tidak boleh lepas tangan pada masalah ini.
Angin segar diembuskan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada Mei 2015 lalu. Dia member instruksi semua kepala daerah untuk menuliskan nama aliran kepercayaan dan agama lokal di KTP. Ini dilakukan untuk mencegah praktik diskriminatif kepada para penghayat kepercayaan di Indonesia.
Tjahjo mengatakan, selama ini para penganut kepercayaan dipaksa menuliskan nama agama resmi yang diakui pemerintah di KTP mereka. Sejauh ini, kementerian yang dipimpinnya tengah mengoreksi keberadaan 139 Peraturan Daerah (Perda) yang dinilai diskriminatif dan tak sesuai peraturan perundang-undangan.
Sudah merupakan sebuah kewajiban mutlak, pemerintah melindungi kebebasan beragama dan kepercayaan warga negaranya. Agama lokal, seharusnya sederajat dengan agama resmi yang berasal dari luar negeri itu. Bukankah beragama adalah hak privasi setiap manusia?

Featured Photo courtesy of eLSA Online

Fandy Hutari

Journalist, writer & editor Bahasa.

http://midjournal.com/2015/09/menimbang-nasib-aliran-penghayat-kepercayaan

Comments

MD Ruhanda said…
Air mempunyai rasa air, yaitu menyejukkan. Gula mempunyai rasa gula, yaitu manis. Begitu pula Garam mempunyai rasa garam, yaitu asin. Semua yang ada dalam kehidupan ini memiliki rasa. Begitu juga manusia memiliki rasa, yaitu kemanusiaan. Tidak bisa kita memaksakan kehendak kita pada keyakinan siapapun.Biarlah semua mengalir apa adanya... maka saat saling mengerti dalam harmoni semesta pun akan memberikan kedamaiannya... Rahayu... Wassalam...Mugia berkah... aamiiin...
MD Ruhanda said…
Air mempunyai rasa air, yaitu menyejukkan. Gula mempunyai rasa gula, yaitu manis. Begitu pula Garam mempunyai rasa garam, yaitu asin. Semua yang ada dalam kehidupan ini memiliki rasa. Begitu juga manusia memiliki rasa, yaitu kemanusiaan. Tidak bisa kita memaksakan kehendak kita pada keyakinan siapapun.Biarlah semua mengalir apa adanya... maka saat saling mengerti dalam harmoni semesta pun akan memberikan kedamaiannya... Rahayu... Wassalam...Mugia berkah... aamiiin...

Popular posts from this blog

Belajar dari Wirid Wirayat Jati Ronggowarsito

Banyak orang yang tidak tahu apa sih ilmu sejati itu? Banyak para salik yang mencari suluk untuk mendapatkan ilmu sejati yakni ilmu kasampurnan (kesempurnaan) hidup. Tidak ada salahnya jika kita belajar ilmu kasampurnaan hidup itu dari Raden Ngabehi Ronggowarsito dari Serat Wirid Wirayat Jati yang ditulisnya. Bagaimana ilmu kasampurnan itu? Anênggih punika pituduh ingkang sanyata, anggêlarakên dunung lan pangkating kawruh kasampurnan, winiwih saking pamêjangipun para wicaksana ing Nungsa Jawi, karsa ambuka pitêdah kasajatining kawruh kasampurnan, tutuladhan saking Kitab Tasawuf, panggêlaring wêjangan wau thukul saking kawêningan raosing panggalih, inggih cipta sasmitaning Pangeran, rinilan ambuka wêdharing pangandikaning Pangeran dhatêng Nabi. Musa, Kalamolah, ingkang suraosipun makatên: Ing sabênêr-bênêre manungsa iku kanyatahaning Pangeran, lan Pangeran iku mung sawiji. (Inilah sebuah petunjuk benar yang menjelaskan ilmu sirr kesempurnaan hidup, yang berakar dari

PRIMBON JAWA LENGKAP

Sistim Penanggalan Jawa Sistim Penanggalan Jawa lebih lengkap dan komprehensif apabila dibandingkan dengan sistim penanggalan lainnya, lengkap dan komprehensifnya adalah suatu pembuktian bahwa ketelitian Jawa dalam mengamati kondisi dan pengaruh seluruh alam semesta terhadap planet bumi seisinya termasuk pengaruh kepada pranatan kehidupan manusia, dapat disampaikan antara lain adanya rumusan tata penanggalan jawa sebagai berikut : 1. Pancawara – Pasaran; Perhitungan hari dengan siklus 5 harian : 1. Kliwon/ Kasih 2. Legi / Manis 3. Pahing / Jenar 4. Pon / Palguna 5. Wage / Kresna/ Langking 2. Sadwara – Paringkelan, Perhitungan hari dengan siklus 6 harian 1. Tungle / Daun 2. Aryang / Manusia 3. Wurukung/ Hewan 4. Paningron / Mina/Ikan 5. Uwas / Peksi/Burung 6. Mawulu / Taru/Benih. 3. Saptawara – Padinan, Perhitungan hari dengan siklus 7 harian : 1. Minggu / Radite 2. Senen / Soma 3. Selasa / Anggara 4. Rebo / Budha 5. Kemis / Respati 6. Jemuwah / Sukra 7. Setu / Tumpak/Sa

Agama asli jawa Indonesia

HONG WILAHENG NGIGENO MESTUTI, LUPUTO SARIK LAWAN SANDI, LUPUTO DENDANING TAWANG TOWANG, DJAGAD DEWO BATORO HJANG DJAGAD PRAMUDITO BUWONO LANGGENG AGOMO BUDDODJAWI-WISNU hing TANAH DJOWO ( INDONESIA ) ---oooOooo--- Lambang Cokro Umbul - Umbul Klaras            Wiwitipun ngadeg Agami Buddodjawi-Wisnu wonten ing Suroboyo, nudju dinten Tumpak cemengan (Saptu Wage), tanggal kaping 11 Palguno 1856. (Djumadilawal) utawi tanggal 25 November 1925 mongso kanem, windu sengsoro, Tinengeran condro sangkolo. Ojaging Pandowo Angesti Buddo 1856. Utawi tahun Ismoyo 8756.            Tujuan Agami Buddodjawi-Wisnu anenangi soho angemuti dumateng Agami soho Kabudayan kita ing Indonesia ingkang asli soho murni, kados dene wontenipun negari Modjopait sapanginggil sederengipun wonten Agami penjajahan. Agami Buddodjawi-wisnu puniko mengku punjering Kabudayan Nasional ingkang asli soho murni ing Indonesia. Dene Punjering Kabudayan wau ingkan ngawontenaken adat t