Skip to main content

Penghayat Kepercayaan (1) Keberadaannya Nyaris Tidak Diakui

https://groups.yahoo.com/neo/groups/wan … 7467?var=1
SUARA PEMBARUAN DAILY ——————————————————————————–
EKSKLUSIF
Penghayat Kepercayaan (1)
Keberadaannya Nyaris Tidak Diakui Oleh Elly Burhaini Faizal
"KETIKA kami mencoba untuk mengakui apa yang tidak pernah kami yakini, sebetulnya kami sedang menipu diri sendiri," Tuti Ekawati mengawali kisah pahit hidupnya sebagai seorang penghayat kepercayaan kepada Pembaruan.
Walaupun pemerintah sudah mengakui keberadaan para penghayat kepercayaan, segudang aturan menyangkut hal itu masih miskin implementasi. Dalam UUD 1945 hasil amendemen keempat, khususnya Pasal 28E (2) tentang Hak Asasi Manusia disebutkan, "Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nuraninya." Pada Pasal 29 (2) dinyatakan, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu."
Warisan budaya bangsa yang memuat nilai-nilai spiritual, termasuk kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha, diakui dalam Pasal 32 (1). Disebutkan di situ, "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya."
Sekilas eksistensi para penghayat kepercayaan diakui. Namun, praktiknya diskriminasi tetap menyelimuti. Dalam kartu identitas penduduk, contohnya, mereka tidak pernah bisa menorehkan penghayat kepercayaan. Dari KTP merembet ke masalah perkawinan, yang juga tidak bisa dicatat di Kantor Catatan Sipil apabila tetap mengaku sebagai seorang penghayat kepercayaan.
Kasus seperti itu menimpa Asep Setia Pujanegara (32), yang kemudian terpaksa menggugat Badan Koordinasi Catatan Sipil Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Gugatan diajukan setelah lembaga itu menolak mencatat perkawinannya dengan Rela Susanti. Padahal, mereka telah menikah memakai adat Sunda, 23 Agustus 2001. Kantor Catatan Sipil itu beralasan, Asep bersikeras menolak mengisi kolom agama di kartu tanda penduduknya. Pengisian kolom itu termasuk syarat mencatatkan perkawinan.
Penolakan juga didasarkan pada Surat Gubernur Jawa Barat tertanggal 16 Februari 2000. Surat itu menyebutkan, kantor Badan Koordinasi Catatan Sipil tidak dapat mencatat perkawinan para penghayat aliran kepercayaan. Selain itu, surat Mendagri tanggal 17 April 1989 juga menyebutkan, perkawinan harus disaksikan pemuka agama yang bersangkutan.
Badan Koordinasi Catatan Sipil juga merujuk Pasal 2 (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." Istilah "kepercayaannya" dianggap tidak bisa dimaknai sebagai penganut kepercayaan. Karena itu, para penghayat harus menganut salah satu agama yang diakui negara. Meski akibatnya hal itu hanya sebatas identitas saja.
Perlakuan itulah yang dianggap tidak adil. Sebagai seorang pituin atau orang Sunda asli, Asep dan keluarganya memegang teguh adat istiadat Sunda. Adat ini diwarisi secara turun-temurun dari para leluhur. Ia juga lebih memilih menganut aliran kebatinan, yang bersumber pada budaya spiritual masyarakat pasundan. Warisan budaya rohaniah itu sudah berkembang sejak lama. "Buat apa kami mengaku beragama, kalau cuma sebatas formalitas saja?" kata Tuti Ekawati, istri Engkus Rusmana (mantan Ketua Aliran Kebatinan "Perjalanan"), dengan nada tinggi.
Ia mengaku sebetulnya kecewa karena gugatan Asep Setia, adik kandungnya, kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, Maret 2002. Pengalaman buruk Asep bukan yang pertamakali dialami oleh seorang penghayat kepercayaan. Sering mereka putus asa, dan akhirnya terpaksa mengalah pada tekanan birokrasi. Namun demi merebut hak-haknya sebagai warga negara, Tuti sepakat ketika Asep memutuskan naik banding.
Cuma segelintir penghayat kepercayaan saja yang punya keberanian seperti Asep. Sejumlah pengikut aliran kebatinan yang berdomisili di Kampung Babakan, Bekasi, contohnya, tidak berani melawan pemaksaan aparat setempat. Meski formulir sengaja dikosongkan, atau diisi "penghayat kepercayaan", sering tiba-tiba muncul identitas agama tertentu. Mereka hanya bisa diam saja. Akibat tekanan berat, dan tidak mau susah payah berurusan dengan pengadilan, akhirnya mereka terpaksa tunduk, meskipun sehari-harinya mereka tetap saja penghayat.
Surat nikah dari catatan sipil sebetulnya untuk menghindari munculnya dampak hukum negatif bagi perkawinan para penghayat, yang selama ini sudah mengalami tekanan. Contohnya, anak dan istri tidak bisa memperoleh warisan dan perlindungan apabila terjadi perceraian, termasuk tunjangan bagi pegawai negeri sipil.
Secara psikologis, hidup bersama tanpa surat nikah, menimbulkan tekanan batin tersendiri. Tetapi, demi secarik kertas itu, mereka harus rela kehilangan hak-hak sipilnya.
Eksistensi para penghayat kepercayaan sempat muncul di permukaan ketika Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, menjadi presiden. Proses persidangan yang diwarnai perdebatan tentang Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, sejumlah di antaranya bisa dimenangkan para penghayat. Catatan sipil tidak bisa bersikukuh menolak perkawinan para penghayat, bila hakim sudah ketok palu menandai kemenangan gugatan para penghayat.
Namun sekarang catatan sipil bisa menolak keputusan hakim. Catatan sipil bisa mengatakan pihaknya tidak bertanggung jawab kepada pengadilan dan hanya mengacu aturan gubernur, walikota, serta tetek bengek birokrasi di departemennya. Ganti pejabat, ganti kebijakan, tampaknya bukan retorika belaka dalam urusan itu. Era kebebasan bagi penghayat kepercayaan semasa Gus Dur menjadi presiden, sekejap musnah seiring datangnya rezim baru. Seolah sudah kodrat mereka diombang-ambingkan kekuasaan rezim yang muncul silih-berganti. Seperti diakui Koesumo Hartami, Ketua Himpunan Penghayat Kepercayaan. Awalnya aliran kebatinan dan kepercayaan masuk struktur keagamaan. Tetapi, akibat perbedaan persepsi, di awal zaman Orde Baru aliran kebatinan disubordinasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah lengsernya rezim pada Orde Baru tahun 1998, aliran kebatinan dimasukkan ke Kementerian Negara Kebudayaan dan Pariwisata. "Bagi kami bukan masalah, tetapi kalau juga diharuskan memeluk salah satu agama, itu kan sama saja dipaksa. Wong keyakinan kok double (rangkap)," Hartami melontarkan kekesalannya.
Sebagai orang Jawa asli, ia menganut aliran kebatinan kejawen sebagai warisan budaya rohaniah leluhurnya. Tidak ada kultus yang amat rumit apalagi yang aneh-aneh, selain hanya mempercayai Gusti Ingkang Murbeng Dumadi, serta datangnya hari pembalasan.
Tekanan negara yang hanya mengakui lima agama, membuat Hartami terpaksa ikut memeluk satu agama. "Supaya bisa kawin, kami harus memilih agama yang ditentukan negara. Akibatnya kan melecehkan agama itu sendiri, karena resminya beridentitas agama tertentu, tapi tidak pernah betul-betul melaksanakannya," kata Hartami kepada Pembaruan. Sebab memang kenyataannya mereka tidak pernah memeluk agama, tetapi dipaksa birokrasi negara.
Aliran kebatinan bukan agama dan tidak ingin menjadi agama baru. "Itu sudah jaminan," Hartami menegaskan. Yang diharapkan hanyalah pengakuan negara terhadap hak-hak sipil mereka. Mampukah pemerintah sekarang mewujudkannya?

Comments

Popular posts from this blog

Belajar dari Wirid Wirayat Jati Ronggowarsito

Banyak orang yang tidak tahu apa sih ilmu sejati itu? Banyak para salik yang mencari suluk untuk mendapatkan ilmu sejati yakni ilmu kasampurnan (kesempurnaan) hidup. Tidak ada salahnya jika kita belajar ilmu kasampurnaan hidup itu dari Raden Ngabehi Ronggowarsito dari Serat Wirid Wirayat Jati yang ditulisnya. Bagaimana ilmu kasampurnan itu? Anênggih punika pituduh ingkang sanyata, anggêlarakên dunung lan pangkating kawruh kasampurnan, winiwih saking pamêjangipun para wicaksana ing Nungsa Jawi, karsa ambuka pitêdah kasajatining kawruh kasampurnan, tutuladhan saking Kitab Tasawuf, panggêlaring wêjangan wau thukul saking kawêningan raosing panggalih, inggih cipta sasmitaning Pangeran, rinilan ambuka wêdharing pangandikaning Pangeran dhatêng Nabi. Musa, Kalamolah, ingkang suraosipun makatên: Ing sabênêr-bênêre manungsa iku kanyatahaning Pangeran, lan Pangeran iku mung sawiji. (Inilah sebuah petunjuk benar yang menjelaskan ilmu sirr kesempurnaan hidup, yang berakar dari

PRIMBON JAWA LENGKAP

Sistim Penanggalan Jawa Sistim Penanggalan Jawa lebih lengkap dan komprehensif apabila dibandingkan dengan sistim penanggalan lainnya, lengkap dan komprehensifnya adalah suatu pembuktian bahwa ketelitian Jawa dalam mengamati kondisi dan pengaruh seluruh alam semesta terhadap planet bumi seisinya termasuk pengaruh kepada pranatan kehidupan manusia, dapat disampaikan antara lain adanya rumusan tata penanggalan jawa sebagai berikut : 1. Pancawara – Pasaran; Perhitungan hari dengan siklus 5 harian : 1. Kliwon/ Kasih 2. Legi / Manis 3. Pahing / Jenar 4. Pon / Palguna 5. Wage / Kresna/ Langking 2. Sadwara – Paringkelan, Perhitungan hari dengan siklus 6 harian 1. Tungle / Daun 2. Aryang / Manusia 3. Wurukung/ Hewan 4. Paningron / Mina/Ikan 5. Uwas / Peksi/Burung 6. Mawulu / Taru/Benih. 3. Saptawara – Padinan, Perhitungan hari dengan siklus 7 harian : 1. Minggu / Radite 2. Senen / Soma 3. Selasa / Anggara 4. Rebo / Budha 5. Kemis / Respati 6. Jemuwah / Sukra 7. Setu / Tumpak/Sa

Agama asli jawa Indonesia

HONG WILAHENG NGIGENO MESTUTI, LUPUTO SARIK LAWAN SANDI, LUPUTO DENDANING TAWANG TOWANG, DJAGAD DEWO BATORO HJANG DJAGAD PRAMUDITO BUWONO LANGGENG AGOMO BUDDODJAWI-WISNU hing TANAH DJOWO ( INDONESIA ) ---oooOooo--- Lambang Cokro Umbul - Umbul Klaras            Wiwitipun ngadeg Agami Buddodjawi-Wisnu wonten ing Suroboyo, nudju dinten Tumpak cemengan (Saptu Wage), tanggal kaping 11 Palguno 1856. (Djumadilawal) utawi tanggal 25 November 1925 mongso kanem, windu sengsoro, Tinengeran condro sangkolo. Ojaging Pandowo Angesti Buddo 1856. Utawi tahun Ismoyo 8756.            Tujuan Agami Buddodjawi-Wisnu anenangi soho angemuti dumateng Agami soho Kabudayan kita ing Indonesia ingkang asli soho murni, kados dene wontenipun negari Modjopait sapanginggil sederengipun wonten Agami penjajahan. Agami Buddodjawi-wisnu puniko mengku punjering Kabudayan Nasional ingkang asli soho murni ing Indonesia. Dene Punjering Kabudayan wau ingkan ngawontenaken adat t