Skip to main content

Kirab Pathok Negoro Mahesa Lawung Paguyuban Tri Tunggal Jogjakarta

SEBUAH PROSESI AGUNG MENJAGA KULTUR BANGSA DAN NEGARA


Malam 1 Suro, bagaikan malam paling sakral dari sekian banyak malam di Jawa. Berbagai ritual digelar pada waktu hampir bersamaan di banyak daerah. Demikian pula para insan spiritualis, tak ketinggalan menggelar sejumlah prosesi ritual dengan berbagai tata dan cara seperti Kirab Pathok Negaro berikut ini.


Tri Tunggal sudah tak asing lagi di Jogjakarta. Paguyuban spiritual ini nyaris tak pernah absen dari berbagai gelar seni dan budaya spiritual. Baik berskala besar atau kecil, gelar ritual Paguyuban Tri Tunggal selalu mengusung derap Pathok Negoro sebagai basis kekuatan bangsa ini yang diakui multikultural dan plural. Pathok Negoro tak lain adalah serangkaian dasar Negara RI. Mulai dari UUD 1945, Pancasila dan berbagai peraturan serta perundangan lain. Sumber dari segala sumber kekuatan bangsa yang plural ini sengaja disimbolkan dalam Kirab Pathok Negoro, sebagai upaya penyadaran kontinyu terhadap masyarakat akan keberagaman bangsa. Kirab Pathok Negoro bukan kemasan seni dan budaya yang hanya bertujuan agar menarik ditonton. Melainkan sebuah upaya berkesinambungan yang terasa menjadi penting dan aktual di tengah masih seringnya peristiwa konflik agama yang terjadi, kemerosotan moral sebagai dampak buruk era globlalisasi dan lunturnya rasa nasionalisme berbangsa dan bernegara. Dengan prosesi yang dilakukan sarat dengan ritual sakral, Pathok Negoro seakan hendak membumikan berbagai konsep berbangsa dan bernegara di kalangan masyarakat Jawa yang spiritualistik dan magis.

Menyongsong tahun baru Suro 1942 Je, kemarin, Paguyuban Tri Tunggal kembali menggelar Kirab Pathok Negoro tersebut dengan skala ritual besar melibatkan 11 kerbau hitam dan satu kerbau bule sebagai lambang keselamatan yang diarak dari Tambakbayan menuju Tugu Jogjakarta. Kirab yang dikuti oleh sejumlah bregodo berasal dari berbagai daerah di DIJ itu merupakan laku spiritual dalam memepringati datangnya tahun baru Jawa.

Mahesa Lawung

Kirab Pathok Negoro malam 1 Sura 1942 Je menyertakan Mahesa Lawung, kerbau yang dipacak sedemikian rupa dengan berbagai hasil bumi. Mahesa Lawung yang berarti kerbau ini melambangkan kesungguhan, kesabaran, ketenangan, sikap tak gampang terpengaruh dan kesetiaan. Kerbau yang merupakan identitas desa ini juga bermakna adanya potensi lokal yang terkandung dalam berbagai adat istiadat pedesaan. Desa adalah sumber kekuatan bangsa dan benteng terakhr dari pertahanan budaya yang tak lain adalah karakter serta kepribadian sekaligus potensi kehidupan masyarakat. Sumber dari segala sumber kekuatan jagat Nusantara.

Kirab Pathok Negoro dimulai sekitar pukul 20.00 wib dari Paguyuban Tri Tunggal Tambakbayan menuju Jalan Solo-Jalan Jenderal Sudirman dan berhenti di perempatan Tugu untuk melakukan ritual doa, menyebar sepasang gunungan dan ritual lawung jajar, soran monggangan dan kebo giro. Suguhan Tari Lawung yang dibawakan oleh delapan putra di peremapatan Tugu Jogjakarta menambah tingkat sakral prosesi Pathok Negoro. Demikian pla dengan alunan gendhing dari para wiyaga yang berasal dari berbagai paguyuban karawitan di Jogjakarta.

Tari Lawung merupakan maha karya Sultan HB I yang aslinya dibawakan oleh 16 putra. Sesudah semua prosesi ritual di Tugu Jogjakarta selesai, kirab yang ikuti puluhan warga Jogjakarta dan sekkitarnya itu menyusuri Jalan P Mangkubumi-Kotabaru-perempatan Gramedia-Jalan Solo dan kembali ke Tambakbayan.

Tradisi Paguyuban Tri Tunggal yang tahun ini bertepatan dengan tahun pertarungan menjelang pemilihan legislatif dan pilpres 2009, menjadi sasmita tentang perlunya sikap waspada terhadap berbagai kemungkinan terjadinya konflik. Pathok Negoro tahun ini menjadi salah satu bentuk ikhtiar nasional untuk menjaga keharmonisan dan ketentraman bangsa, yang harus pula diimbangi dengan langkah spiritual yang tak lain adalah mendekatkan diri kepada Tuhan YME.

Dihadirkannya Kebo Bule dalam Kirab Pathok Negoro yang merupakan lambang pengharapan keselamatan, menjadi simbol permohonan dari segenap elemen masyarakat Jogjakarta yang terwakili dalam Kirab Pathok Negoro Mahesa Lawung tersebut. KOKO T.

Comments

Popular posts from this blog

Belajar dari Wirid Wirayat Jati Ronggowarsito

Banyak orang yang tidak tahu apa sih ilmu sejati itu? Banyak para salik yang mencari suluk untuk mendapatkan ilmu sejati yakni ilmu kasampurnan (kesempurnaan) hidup. Tidak ada salahnya jika kita belajar ilmu kasampurnaan hidup itu dari Raden Ngabehi Ronggowarsito dari Serat Wirid Wirayat Jati yang ditulisnya. Bagaimana ilmu kasampurnan itu? Anênggih punika pituduh ingkang sanyata, anggêlarakên dunung lan pangkating kawruh kasampurnan, winiwih saking pamêjangipun para wicaksana ing Nungsa Jawi, karsa ambuka pitêdah kasajatining kawruh kasampurnan, tutuladhan saking Kitab Tasawuf, panggêlaring wêjangan wau thukul saking kawêningan raosing panggalih, inggih cipta sasmitaning Pangeran, rinilan ambuka wêdharing pangandikaning Pangeran dhatêng Nabi. Musa, Kalamolah, ingkang suraosipun makatên: Ing sabênêr-bênêre manungsa iku kanyatahaning Pangeran, lan Pangeran iku mung sawiji. (Inilah sebuah petunjuk benar yang menjelaskan ilmu sirr kesempurnaan hidup, yang berakar dari

PRIMBON JAWA LENGKAP

Sistim Penanggalan Jawa Sistim Penanggalan Jawa lebih lengkap dan komprehensif apabila dibandingkan dengan sistim penanggalan lainnya, lengkap dan komprehensifnya adalah suatu pembuktian bahwa ketelitian Jawa dalam mengamati kondisi dan pengaruh seluruh alam semesta terhadap planet bumi seisinya termasuk pengaruh kepada pranatan kehidupan manusia, dapat disampaikan antara lain adanya rumusan tata penanggalan jawa sebagai berikut : 1. Pancawara – Pasaran; Perhitungan hari dengan siklus 5 harian : 1. Kliwon/ Kasih 2. Legi / Manis 3. Pahing / Jenar 4. Pon / Palguna 5. Wage / Kresna/ Langking 2. Sadwara – Paringkelan, Perhitungan hari dengan siklus 6 harian 1. Tungle / Daun 2. Aryang / Manusia 3. Wurukung/ Hewan 4. Paningron / Mina/Ikan 5. Uwas / Peksi/Burung 6. Mawulu / Taru/Benih. 3. Saptawara – Padinan, Perhitungan hari dengan siklus 7 harian : 1. Minggu / Radite 2. Senen / Soma 3. Selasa / Anggara 4. Rebo / Budha 5. Kemis / Respati 6. Jemuwah / Sukra 7. Setu / Tumpak/Sa

Agama asli jawa Indonesia

HONG WILAHENG NGIGENO MESTUTI, LUPUTO SARIK LAWAN SANDI, LUPUTO DENDANING TAWANG TOWANG, DJAGAD DEWO BATORO HJANG DJAGAD PRAMUDITO BUWONO LANGGENG AGOMO BUDDODJAWI-WISNU hing TANAH DJOWO ( INDONESIA ) ---oooOooo--- Lambang Cokro Umbul - Umbul Klaras            Wiwitipun ngadeg Agami Buddodjawi-Wisnu wonten ing Suroboyo, nudju dinten Tumpak cemengan (Saptu Wage), tanggal kaping 11 Palguno 1856. (Djumadilawal) utawi tanggal 25 November 1925 mongso kanem, windu sengsoro, Tinengeran condro sangkolo. Ojaging Pandowo Angesti Buddo 1856. Utawi tahun Ismoyo 8756.            Tujuan Agami Buddodjawi-Wisnu anenangi soho angemuti dumateng Agami soho Kabudayan kita ing Indonesia ingkang asli soho murni, kados dene wontenipun negari Modjopait sapanginggil sederengipun wonten Agami penjajahan. Agami Buddodjawi-wisnu puniko mengku punjering Kabudayan Nasional ingkang asli soho murni ing Indonesia. Dene Punjering Kabudayan wau ingkan ngawontenaken adat t