Skip to main content

Posts

SERAT WEDHATAMA

Serat wedhatama ini adalah salah satu serat karangan KGPH Mangkunegara IV, berasal dari dua kata wedha yang berarti ajaran dan tama yang berarti utama, serat ini berisi tentang ajaran-ajaran kebaikan, budi pekerti dan akhlak yang hingga sampai sekarang masih dapat diterapkan dalam kehidupan, serat ini ditulis dalam bentuk tembang macapat agar mudah diingat dan digemari oleh masyarakat Jawa yang pada umumnya menyukai kesenian. Naskah aslinya sekarang masih dapat kita lihat di Museum Reksapustaka di Pura Mankunegaran lantai dua. PUPUH I P A N G K U R 01 Mingkar-mingkuring ukara, akarana karenan mardi siwi, sinawung resmining kidung, sinuba sinukarta, mrih kretarta pakartining ilmu luhung,kang tumrap ing tanah Jawa, agama ageming aji. 02 Jinejer ing Weddhatama, mrih tan kemba kembenganing pambudi,mangka nadyan tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti sepi sepa lir sepah asamun,samasane pakumpulan, gonyak-ganyuk nglelingsemi. 03 Nggugu karsane priyangga, nora nganggo peparah

45 Butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila benteng NKRI

Perlu kita renungkan kembali dan di hi dupkan kembali Pancasila sebagai dasar negara. Banyaknya kejadian yang terjadi di negeri ini seperti aksi teroris maupun adanya upaya pembentukan NII, adanya upacay a makar ormas- ormas k anan dan partai -partai yang tidak berlandaskan Pancasila. A pakah itu sebagai gambaran kecintaan kita  terhadap Pancasila sudah luntur? Pancasila sebagai benteng Negara Kesatuan Republik Ind onesia Pancasila sebagai dasar negara Indonesia mempunyai 45 butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Kenapa harus 45? karena angka 45 mempunyai sejarah yang luar biasa dalam perjalanan kemerdekaan negara Indonesia. Berikut 45 butir Pancasila yang saya kutip dari UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. I. Ketuhanan Yang Maha Esa Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan kepercayaannya masing-masing menurut dasar keman

Kalimasada bukan Kalimat Syahadat

Wayang merupakan hasil karya seni budaya masyarakat Indonesia yang sudah diakui oleh UNESCO. Di dalamnya tersimpan banyak mutiara-mutiara kehidupan yang bisa dijadikan sebagai hiasan dalam peradaban budaya bangsa. Banyak ajaran-ajaran luhur yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi kehidupan umat manusia (pandam pandoming dumadi). Lebih-lebih bagi masyarakat Jawa sebagai pendukung budaya tersebut. Tak dapat dipungkiri bahwa sastra lakon yang menjadi sumber cerita dalam pementasan pewayangan banyak diambil dari kisah-kisah kepahlawanan dalam epos Mahabharata dan Ramayana. Semua dalang yang ada di tanah Jawa ini tentu sepakat bahwa epos dalam Itihasa tersebut merupakan sumber utama dalam sastra lakon pewayangan. Akan tetapi yang sangat disayangkan adalah masih banyak terjadi pemutarbalikan fakta terhadap substansi ajaran yang ada dalam sastra lakon tersebut. Salah satunya adalah soal senjata jamus ‘Kalimasada’ milik Puntadewa atau Yudhistira yang dianggap sebagai ‘Kalimat Sy

Asal Usul dan Pengubahan Cerita Wayang Jawa Hindu ke versi Jawa Islam

WAYANG salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia. Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhada

SERAT JAYABAYA

Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran ---> Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda. Tanah Jawa kalungan wesi ---> Pulau Jawa berkalung besi. Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang ---> Perahu berjalan di angkasa. Kali ilang kedhunge ---> Sungai kehilangan mata air. Pasar ilang kumandhang ---> Pasar kehilangan suara. Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak ---> Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat. Bumi saya suwe saya mengkeret --- Bumi semakin lama semakin mengerut. Sekilan bumi dipajeki ---> Sejengkal tanah dikenai pajak. Jaran doyan mangan sambel ---> Kuda suka makan sambal. Wong wadon nganggo pakeyan lanang --->Orang perempuan berpakaian lelaki. Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking zaman ---> Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik. Akeh janji ora ditetepi ---> Banyak janji tidak ditepati. Akeh wong wani nglanggar sumpahe dhewe ---> Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri. Manungsa padha sen