Skip to main content

Posts

Showing posts with the label News Freedom Religion

Menyikapi Kekerasan, Masyarakat Gagas Mekanisme Jaringan Penyelesaian Konflik

Mediakeberagaman.Com, Solo. Kekerasan adalah Violent behaviour that is intended to hurt or kill ( Perilaku keras yang dimaksudkan untuk menyakiti atau membunuh). Sementara konflik adalah a situation in which people, groups or countries are in volved in a serious disagreement or argument (Situasi dimana orang-orang, kelompok atau Negara terlibat dalam perselisihan serius. (Oxford Dictionary, 2003). Konflik dengan kekerasan dengan demikian merupakan perselisihan yang diwarnai oleh prilaku kekerasan yang dapat membuat pihak lain terbunuh atau terluka. Pada derajat tertentu, konflik – termasuk didalamnya protes politik, kriminalitas dan gangguan social lainnya – terdapat pada setiap masyarakat. Bagaimana dengan Kota Solo? Berdasarkan catatan dari forum Focus Group Discussion (FGD) yang mengambil thema “Dialog Kritis Menyusun Model Mekanisme Jaminan dan Perlindungan Kebebasan Beragama dan berkeyakinan dengan Semangat Kearifan Lokal di Kota Surakarta” di Hotel Indah Palace (HIP), Selasa (30/

Menyikapi Kekerasan, Masyarakat Gagas Mekanisme Jaringan Penyelesaian Konflik

Mediakeberagaman.Com, Solo. Kekerasan adalah Violent behaviour that is intended to hurt or kill ( Perilaku keras yang dimaksudkan untuk menyakiti atau membunuh). Sementara konflik adalah a situation in which people, groups or countries are in volved in a serious disagreement or argument (Situasi dimana orang-orang, kelompok atau Negara terlibat dalam perselisihan serius. (Oxford Dictionary, 2003). Konflik dengan kekerasan dengan demikian merupakan perselisihan yang diwarnai oleh prilaku kekerasan yang dapat membuat pihak lain terbunuh atau terluka. Pada derajat tertentu, konflik – termasuk didalamnya protes politik, kriminalitas dan gangguan social lainnya – terdapat pada setiap masyarakat. Bagaimana dengan Kota Solo? Berdasarkan catatan dari forum Focus Group Discussion (FGD) yang mengambil thema “Dialog Kritis Menyusun Model Mekanisme Jaminan dan Perlindungan Kebebasan Beragama dan berkeyakinan dengan Semangat Kearifan Lokal di Kota Surakarta” di Hotel Indah Palace (HIP), Selasa (30/

Negara, Agama dan KTP

Oleh Agus Sopian Konstitusi dan birokrasi membuat mereka jadi “atheis”. Hak-hak sipil terhambat, ancaman fisik hanya tinggal tunggu waktu. Ada tanda strip di Kartu Tanda Penduduk (KTP) milik Engkus Ruswana. Atheiskah orang ini? Kesalahan komputer di catatan sipil? Atau lebih serius lagi: dia sedang dalam kontrol negara? Hampir tak bisa dibantah, KTP bisa menjadi celah kecil negara untuk mengintip gerak-gerik rakyatnya, terutama mereka yang dianggap berbahaya. Lihat apa yang terjadi pada eks tahanan politik (tapol) Partai Komunis Indonesia. Mereka dianggap bahaya laten, bisa bangkit kapan waktu dan kembali ke gelanggang politik. Negara merasa perlu untuk terus memonitor mereka. Ekornya, sebuah kebijakan sarkastis diberlakukan: KTP berlabel ET, singkatan dari “eks tapol”. Hasilnya cespleng. Mereka kini tak punya kemampuan untuk leluasa bergerak. Paralel dengan ini, langkah mereka untuk memasuki pintu politik pun mandeg sama sekali. Mereka malahan tak bisa mengetuk pintu-pintu lainnya. Se

Rahayu bagi PerkawinanPenghayat Kepercayaan

ANGIN para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa paska diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 37 Tahun 2007 tentang Pelaksaan Undang-undang No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Para penghayat kepercayaan termasuk yang tinggal di Kebumen sudah bisa mengatur tata cara pencatatan perkawinan dan pemerintah telah mengakui perkawinan mereka. Ya, sebelum ada aturan tersebut perkawinan para penghayat kepercayaan belum bisa disahkan di catatan sipil, sehingga pasangan tersebut dianggap kumpul kebo. Saat itu para penghayat kepercayaan sulit mencatatkan perkawinannya karena tidak diakomodasi oleh instansi cacatan sipil. Seperti dikemukakan Ketua Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) Kebumen Drs Sukiman, diterbitkannya PP No 37 tahun 2007 mengurangi diskriminasi terhadap penganut kepercayaan yang selama ini dikesampingkan hak-hak sipilnya. Padahal saat ini di Indonesia terdapat sekitar 248 organisasi aliran kepercayaan dengan anggota sekitar 9 juta orang. Adapu

What ??? KTP Indonesia pake kolom Agama??

Coba Bandingkan di kolom Agama Indonesia dan negara lain ada apa??? KTP INDONESIA : Id card negara lain: Hanya di Indonesia yang mencantumkan kolom agama pada kartu pengenalny a sebenarnya untuk apa mencantumkan agama dalam KTP??? Apakah perlu??? Gimana klo ada orang yg beragama d luar 6 agama yg da d Indonesia??Apa yg harus d tulis?? menurut ane, pencantuman agama pada KTP menunjukan perbedaan.. kita adalah satu, Bangsa Indonesia Setelah saya dengar dari bbrp tokoh, ternyata itu hanyalah permainan politik Jaman Orde Baru dimana kaum minoritas disingkirkan terutama warga keturunan Tiong Hua yg beragama Khonghucu. Sy ngangkat masalah ini gan jadi skripsi . Bagaimana di Indonesia ternyata identitas agama merupakan sebuah legitimasi politik kepentingan penguasa. Dari mulai keluarnya UU no.1 PNPS 1965 mengenai pengakuan 6 agama formal udh keliatan bahwa indonesia hanya mengakui identitas 6 agama tersebut tanpa melihat adanya org2 yg masih menganut agama lokal atau kepercayaan. FYI, se

What ??? KTP Indonesia pake kolom Agama??

Coba Bandingkan di kolom Agama Indonesia dan negara lain ada apa??? KTP INDONESIA : Id card negara lain: Hanya di Indonesia yang mencantumkan kolom agama pada kartu pengenalny a sebenarnya untuk apa mencantumkan agama dalam KTP??? Apakah perlu??? Gimana klo ada orang yg beragama d luar 6 agama yg da d Indonesia??Apa yg harus d tulis?? menurut ane, pencantuman agama pada KTP menunjukan perbedaan.. kita adalah satu, Bangsa Indonesia Setelah saya dengar dari bbrp tokoh, ternyata itu hanyalah permainan politik Jaman Orde Baru dimana kaum minoritas disingkirkan terutama warga keturunan Tiong Hua yg beragama Khonghucu. Sy ngangkat masalah ini gan jadi skripsi . Bagaimana di Indonesia ternyata identitas agama merupakan sebuah legitimasi politik kepentingan penguasa. Dari mulai keluarnya UU no.1 PNPS 1965 mengenai pengakuan 6 agama formal udh keliatan bahwa indonesia hanya mengakui identitas 6 agama tersebut tanpa melihat adanya org2 yg masih menganut agama lokal atau kepercayaan. FYI

Pemohon Hadirkan Saksi Penghayat Soal Penodaan Agama

Antara news, Rabu, 3 Maret 2010 14:11 WIB Ilustrasi sidang penodaan agama (ANTARA/Widodo S. Jusuf) Jakarta (ANTARA News) - Pemohon penghapusan UU No.1/PNPS/1965 menghadirkan saksi seorang penghayat kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa, Sardy, yang memberikan kesaksian tentang diskriminasi yang dialaminya, dalam sidang uji materi di Mahkamah Kontitusi (MK), Jakarta, Rabu. "Pada tahun 1995, saya mengalami perlakuan diskriminasi saat hendak mendaftar sebagai anggota ABRI karena saya merupakan seorang penghayat kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa," kata Sardy dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Mahfud MD. Sardy mengatakan, pada saat itu ia terhambat untuk menjadi tentara saat dalam tahap permohonan surat berkelakuan baik di Polres Bekasi. Surat-surat lain, seperti keterangan dari desa atau kelurahan, ijazah SMA, dan surat kesehatan, telah dipersiapkan. Namun, ia gagal saat ingin meminta surat berkelakuan baik. Menurut polisi yang berjaga saat itu, kata Sardy, orang yang menganut kepercay

Aliran Kepercayaan Semakin Mendapat Legitimasi Hukum

Para penganut aliran/penghayat kepercayaan kini semakin mendapat ruang di mata hukum. Belum lama ini Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menerbitkan Peraturan Menteri (Permendagri) No. 12 Tahun 2010 yang antara lain memungkinkan penghayat aliran kepercayaan mencacatkan dan melaporkan perkawinan mereka ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sekalipun perkawinan mereka dilangsungkan di luar negeri. Bagi penghayat kepercayaan WNA juga dimungkinkan mencatatkan perkawinan dengan menyertakan surat keterangan terjadinya perkawinan dari pemuka penghayat kepercayaan. Permendagri itu bukan satu-satunya regulasi yang memberi legitimasi hukum aliran/penghayat kepercayaan. Tahun lalu, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) telah menandatangani Peraturan Bersama Menteri No. 43/41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Peraturan administrasi kependudukan yang lebih tinggi tingkatannya seperti

Aliran Kepercayaan Semakin Mendapat Legitimasi Hukum

Para penganut aliran/penghayat kepercayaan kini semakin mendapat ruang di mata hukum. Belum lama ini Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menerbitkan Peraturan Menteri (Permendagri) No. 12 Tahun 2010 yang antara lain memungkinkan penghayat aliran kepercayaan mencacatkan dan melaporkan perkawinan mereka ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sekalipun perkawinan mereka dilangsungkan di luar negeri. Bagi penghayat kepercayaan WNA juga dimungkinkan mencatatkan perkawinan dengan menyertakan surat keterangan terjadinya perkawinan dari pemuka penghayat kepercayaan. Permendagri itu bukan satu-satunya regulasi yang memberi legitimasi hukum aliran/penghayat kepercayaan. Tahun lalu, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) telah menandatangani Peraturan Bersama Menteri No. 43/41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Peraturan administrasi kependudukan yang lebih tinggi tingkatannya seperti

Nasib penganut aliran kepercayaan di Cireundeu

Konstitusi jelas menyatakan, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing. Namun ini ternyata tak berlaku di kampung Cireundeu, Cimahi, Jawa Barat. Para penganut kepercayaan Sunda Wiwitan di kampung ini tak dijamin kemerdekaannya untuk menjalankan keyakinan. Anak-anak yang terlahir dari penganut kepercayaan, bahkan tak diakui oleh negara. Di sekolah, mereka terpaksa mengakui dan mempelajari agama lain, supaya nilai pelajaran agama tak kosong di rapor. Reporter KBR68H Suryawijayanti berbincang dengan remaja Sunda Wiwitan yang tak sudi jadi pengkhianat kepercayaan mereka. Takut FPI Setahun lalu gerombolan beratribut Front Pembela Islam menyerbu Aliansi Keberagaman di Tugu Monas Jakarta. Deis, Irma, Rini dan Enci saat itu ada di sana. Di kepala mereka, masih terekam jelas peristiwa beringas di hari jadi Pancasila itu. Anak-anak: "Takut, kayak dilempar-lempar batu, takut saja ... Ya tegan

HAK WARGA NEGARA Penghayat Kepercayaan Minta Dilindungi UU

Jumat, 20 Juli 2007 JAKARTA (Suara Karya): Musyawarah nasional kedua Badan Kerja Sama Organisasi-organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan YME (BKOK) yang berlangsung sejak Minggu (15/7), ditutup secara resmi oleh mantan Ketua DPR Akbar Tandjung, Selasa (17/7). Munas berhasil menyusun pengurus baru periode 2007 - 2012. Pengurus terdiri dari lima presidium yaitu Naen Suryono, SH, MH, Hartini Wahyono, Engkus Ruswana, MM, Ir Harry Noegroho, dan Arnold Panahal serta dilengkapi pengurus inti dan departemen. Untuk pertama kali dibentuk dewan penasihat terdiri dari Djoko Soemono Soemodisastro, Brigjen (Purn) Sumarsomo Wiryowijoyo SH, Kartini Soedono, Prof Dr Wila Chandrawila Supriadi, dan Bambang Soeratman. Mereka dilantik oleh Akbar Tandjung. Munas bertemakan "Kembali ke Jatidiri Bangsa" yang berlangsung di Kompleks Candra Wilwatikta, Pandaan, Pasuruan, Jawa Timur juga memperjuangkan eksistensi kepercayaan terhadap Tuhan YME agar diakui dan dilindungi dalam peru

Sedulur Sikep Memandang Negara dan Penegakan Hukum

Selasa, 3 November 2009 | 03:22 WIB Oleh Susana Rita Batas desa sudah tampak. ”Anda memasuki Desa Sukolilo”. Demikian sambutan pertama yang tertera pada dua tembok putih yang mengapit jalan aspal yang sudah tak rata. Setelah berkendaraan selama lebih kurang 40 menit ke arah selatan ibu kota Kabupaten Pati, Jawa Tengah, akhirnya saya dan dua teman sampai juga di tanah para Sedulur Sikep. Di sini, sekitar 200 kepala keluarga komunitas Sikep atau lebih dikenal dengan masyarakat Samin tinggal. Mereka adalah pengikut Samin Surosentiko alias Raden Kohar (1859-1914), pencetus gerakan sosial melawan Belanda dengan cara menentang segala aturan dan kewajiban yang dibuat pemerintah kolonial kala itu, di antaranya menolak membayar pajak. Beberapa ciri/identitas perlawanan digunakan sejak zaman Belanda, seperti tidak bersekolah, tidak memakai peci, tetapi memakai ikat kepala (mirip orang Jawa zaman dahulu), tak memakai celana panjang (tetapi memilih