Skip to main content

Kolom Agama dalam KTP



31 Oktober 2008
Kolom Agama dalam KTP

Oleh Tedi Kholiludin

Sedikit pun tidak ada manfaat yang ditimbulkan dari pencantuman kolom agama di KTP. Pencantuman merupakan bentuk manifestasi dari politik pengakuan negara atas agama. Negara mengakui agama tidak didasarkan atas tanggung jawabnya sebagai pelayan dan pelindung rakyatnya.

BAGI masyarakat pada umumnya, mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) bukanlah perkara sulit. Hanya dengan membayar kurang dari Rp 10.000, dan waktu yang singkat, mereka bisa memiliki kartu identitas ini. Kartu itulah yang menjadi prasyarat mutlak saat seseorang akan mengurus dokumentasi kependudukan lainnya.

Meski demikian, bagi beberapa kelompok masyarakat tertentu, pengurusan KTP terkadang memunculkan dilema baru. Dari problem kepengurusan itu, yang menyolok adalah identitas pemilik KTP tersebut.

Sesuai dengan UU No 23/2006 tentang Administrasi dan Kependudukan (Adminduk), KTP mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila, peta wilayah NKRI, memuat keterangan tentang NIK, nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pasfoto, masa berlaku, tempat/tanggal dikeluarkan KTP, tandatangan pemilik KTP, serta nama dan nomor induk pegawai pejabat yang menandatanganinya (Pasal 64 Ayat 1).

Atas dasar klausul itu, KTP juga berarti peneguhan atas jati diri agama seseorang. Meski berkesan datar, aturan ini sesungguhnya berkelok. Tikungan tajam yang membahayakan itu muncul, karena UU Adminduk menghendaki identitas agama dicantumkan dalam KTP.

Persoalannya, identitas agama apa yang bisa dicantumkan di KTP? Tentang hal ini, Pasal 64 ayat 2 menjelaskan, kalau keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, atau bagi penghayat kepercayaan, tidak diisi. Tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

Tidak Beragama

Muatan dalam pasal itulah yang membuka ladang diskriminasi bagi sekelompok warga negara yang dianggap ”tidak beragama” oleh negara. Seperti diberitakan harian ini (Suara Merdeka, 16/10/2008), komunitas Sedulur Sikep baik yang berada di Kudus, Pati, atau Blora diberi kesempatan untuk memiliki KTP. Tetapi, kolom agama dalam KTP mereka dikosongkan atau ditulis strip (-).

Dalam beberapa kali kesempatan bersua dengan komunitas Sedulur Sikep (terutama di Pati), saya melihat pengosongan kolom agama itu sedikit bisa diterima. Mengapa? Gunretno, salah seorang dari komunitas ini, menuturkan sebenarnya mereka ingin ditulis jati diri kepercayaannya sebagai penganut ”Agama Adam”.

Mereka tidak bisa menerima jika kolom agama dalam KTP ditulis dengan model keyakinan yang mereka tidak mengerti maksudnya. Perjuangan minimal yang dituju Sedulur Sikep setidaknya adalah membuat kolom agama cukup diisi strip.

Pengalaman yang menimpa Sedulur Sikep itu juga yang saya temukan dalam beberapa komunitas penghayat kepercayaan atau penganut agama-agama lokal. Sebut saja penganut Agama Sunda Wiwitan (ASW) di Jawa Barat.

Gumirat Barna Alam dan Engkus Ruswana, dua orang penganut ASW yang pernah saya temui, juga memiliki pengalaman yang sama. Identitas agama di KTP-nya diisi dengan tanda strip.

Yang menarik, ada beberapa penganut agama lokal yang dapat mencantumkan identitas keyakinannya. Ini misalnya ditemukan dalam komunitas penganut Kaharingan di Kalimantan Tengah. Begitu pun dengan komunitas Parmalim di Sumatera Utara. Hanya saja dalam amatan saya, kasus serupa jarang ditemukan, kecuali memang ada desakan dari sebuah kekuatan politik yang besar.

Diskriminasi

Bagi saya, pencantuman tanda strip dalam kolom agama di KTP tetap bisa diidentifikasi sebagai perilaku negara yang diskriminatif. Ada kesan mereka yang memiliki identitas strip adalah orang-orang yang tidak beragama. Karena mereka dianggap ”tak beragama”, maka tanda strip dalam KTP menunjukkan bahwa mereka dalam bayang-bayang pengawasan negara.

Ini mengingatkan kita pada situasi tahun 1965-1966, di mana tanda strip sangat identik dengan komunisme. Mereka yang di KTP-nya ada tanda strip kerap dikaitkan dengan tuduhan komunis/ateis.

Atas dasar itu, sedikitpun tidak ada manfaat yang ditimbulkan dari pencantuman kolom agama di KTP. Pencantuman ini hemat saya tidak lain dari sebentuk manifestasi dari politik pengakuan negara atas agama.

Negara mengakui agama tidak didasarkan atas karena tanggung jawabnya sebagai pelayan dan pelindung rakyatnya. Tetapi ia mengakui, karena dominannya aspek politik bukan karena didasarkan atas kewajiban moralnya.

Perlu diingat, dalam konstitusi kita (Pancasila dan UUD 1945) peran yang ditahbiskan kepada negara adalah menjamin kebebasan beragama bagi para pemeluknya. Sementara peran negara dalam kategori ”pengakuan” itu kita temukan dalam dua konstitusi yang saat ini sudah tidak berlaku lagi, yakni UUDS 1950 dan UUD RIS.

Dalam UUDS 1950 Pasal 43 Ayat 3 disebutkan, penguasa memberi perlindungan yang sama kepada segala perkumpulan dan persekutuan agama yang diakui. Kemudian Ayat 4 (satu versi lain menyebutnya Ayat 5) menjelaskan, penguasa mengawasi supaya segala persekutuan dan perkumpulan agama patuh taat kepada undang-undang, termasuk aturan-aturan hukum yang tak tertulis. Dua klausul itu dapat kita lihat juga dalam UUD RIS Pasal 41 Ayat 1 dan 2, dengan kata-kata yang sama persis.

Dengan membubuhkan kata ”agama yang diakui” serta ”pengawasan”, pemerintah secara tak langsung sudah memiliki ”kewajiban” untuk menciptakan pengawasan dengan melakukan politik pembatasan.

Jadi, negara punya wewenang untuk mengakui secara resmi, memberi perlindungan, dan memberi bantuan hanya kepada agama-agama resmi. Inilah dasar legal formal tentang sejarah diskursus ”agama resmi” dikukuhkan oleh konstitusi.

Dengan kata lain, pada tubuh UUDS 1950 dan UUD RIS inilah semangat pengakuan dan pengawasan atas agama tertanam dalam. Dan sekarang, kedua dasar negara itu sudah tidak berlaku lagi. Kalau demikian faktanya, bukankah pengakuan dan jaminan yang dibatasi pada enam agama juga sudah seharusnya tidak berlaku lagi?
(32)

–– Tedi Kholiludin, mahasiswa Magister Sosiologi Agama UKSW Salatiga.

http://www.mail-archive.com/wanita-muslimah@yahoogroups.com/msg51583.html

Comments

Popular posts from this blog

PRIMBON JAWA LENGKAP

Sistim Penanggalan Jawa Sistim Penanggalan Jawa lebih lengkap dan komprehensif apabila dibandingkan dengan sistim penanggalan lainnya, lengkap dan komprehensifnya adalah suatu pembuktian bahwa ketelitian Jawa dalam mengamati kondisi dan pengaruh seluruh alam semesta terhadap planet bumi seisinya termasuk pengaruh kepada pranatan kehidupan manusia, dapat disampaikan antara lain adanya rumusan tata penanggalan jawa sebagai berikut : 1. Pancawara – Pasaran; Perhitungan hari dengan siklus 5 harian : 1. Kliwon/ Kasih 2. Legi / Manis 3. Pahing / Jenar 4. Pon / Palguna 5. Wage / Kresna/ Langking 2. Sadwara – Paringkelan, Perhitungan hari dengan siklus 6 harian 1. Tungle / Daun 2. Aryang / Manusia 3. Wurukung/ Hewan 4. Paningron / Mina/Ikan 5. Uwas / Peksi/Burung 6. Mawulu / Taru/Benih. 3. Saptawara – Padinan, Perhitungan hari dengan siklus 7 harian : 1. Minggu / Radite 2. Senen / Soma 3. Selasa / Anggara 4. Rebo / Budha 5. Kemis / Respati 6. Jemuwah / Sukra 7. Setu / Tumpak/Sa

Belajar dari Wirid Wirayat Jati Ronggowarsito

Banyak orang yang tidak tahu apa sih ilmu sejati itu? Banyak para salik yang mencari suluk untuk mendapatkan ilmu sejati yakni ilmu kasampurnan (kesempurnaan) hidup. Tidak ada salahnya jika kita belajar ilmu kasampurnaan hidup itu dari Raden Ngabehi Ronggowarsito dari Serat Wirid Wirayat Jati yang ditulisnya. Bagaimana ilmu kasampurnan itu? Anênggih punika pituduh ingkang sanyata, anggêlarakên dunung lan pangkating kawruh kasampurnan, winiwih saking pamêjangipun para wicaksana ing Nungsa Jawi, karsa ambuka pitêdah kasajatining kawruh kasampurnan, tutuladhan saking Kitab Tasawuf, panggêlaring wêjangan wau thukul saking kawêningan raosing panggalih, inggih cipta sasmitaning Pangeran, rinilan ambuka wêdharing pangandikaning Pangeran dhatêng Nabi. Musa, Kalamolah, ingkang suraosipun makatên: Ing sabênêr-bênêre manungsa iku kanyatahaning Pangeran, lan Pangeran iku mung sawiji. (Inilah sebuah petunjuk benar yang menjelaskan ilmu sirr kesempurnaan hidup, yang berakar dari

Agama asli jawa Indonesia

HONG WILAHENG NGIGENO MESTUTI, LUPUTO SARIK LAWAN SANDI, LUPUTO DENDANING TAWANG TOWANG, DJAGAD DEWO BATORO HJANG DJAGAD PRAMUDITO BUWONO LANGGENG AGOMO BUDDODJAWI-WISNU hing TANAH DJOWO ( INDONESIA ) ---oooOooo--- Lambang Cokro Umbul - Umbul Klaras            Wiwitipun ngadeg Agami Buddodjawi-Wisnu wonten ing Suroboyo, nudju dinten Tumpak cemengan (Saptu Wage), tanggal kaping 11 Palguno 1856. (Djumadilawal) utawi tanggal 25 November 1925 mongso kanem, windu sengsoro, Tinengeran condro sangkolo. Ojaging Pandowo Angesti Buddo 1856. Utawi tahun Ismoyo 8756.            Tujuan Agami Buddodjawi-Wisnu anenangi soho angemuti dumateng Agami soho Kabudayan kita ing Indonesia ingkang asli soho murni, kados dene wontenipun negari Modjopait sapanginggil sederengipun wonten Agami penjajahan. Agami Buddodjawi-wisnu puniko mengku punjering Kabudayan Nasional ingkang asli soho murni ing Indonesia. Dene Punjering Kabudayan wau ingkan ngawontenaken adat t