Skip to main content

Posts

Showing posts with the label Sunda Wiwitan Kuningan

MK: Penghayat kepercayaan masuk kolom agama di KTP dan KK

Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa "negara harus menjamin setiap penghayat kepercayaan dapat mengisi kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK)". "Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," tegas Ketua MK Arief Hidayat, dalam sidang di Gedung MK, Selasa (07/11). Melalui putusan tersebut, para penggugat yang terdiri dari Komunitas Marapu di Pulau Sumba, penganut kepercayaan Parmalim di Sumatera Utara, penganut kepercayaan Ugamo Bangsa Batak di Sumatera Utara, serta penganut kepercayaan Sapto Darmo di Pulau Jawa, berhak untuk mengisi kolom agama pada KTP dan KK sesuai dengan kepercayaan mereka masing-masing. "Di KTP itu kami mohonkan agar dituliskan kepercayaan. Jadi kami mohonkan kesetaraan atau secara umum dari Sabang dan Merauke untuk kepercayaan. Di dalam kepercayaan itu tercakup semua mau Sapto Dharmo dan segala macam. (Dari) Sabang (sampai) Merauke sama," kata Arnol Purba, penganut kepercayaan Ug

Kala Sunda 1945 - 1953 (2009 Р2017 Mas̩hi)

Dihisab oléh: Drs. H. Irfan Anshory Mengenal Kala Sunda Seorang budayawan Sunda, Ali Sastramidjaja (Abah Ali), pada awal tahun 2005 memperkenalkan Kala Sunda , kalénder lunar yang sistem perhitungannya persis sama seperti kalénder Hijriyah-Jawa. Dalam sewindu ada tiga tahun kabisat ( taun panjang ), sehingga jumlah hari dalam satu windu (delapan tahun) adalah (354 x 8) + 3 = 2835 hari, angka yang habis dibagi 35 (7 x 5). Itulah sebabnya setiap awal windu ( indung poé ) selalu jatuh pada hari dan pasaran yang sama. Jika misalnya awal windu jatuh pada Ahad Manis, maka awal windu selanjutnya pasti Ahad Manis juga. Oleh karena kabisat Kala Sunda tiga dari delapan tahun (3/8 = 45/120), sedangkan kabisat kalénder lunar yang akurat adalah 11 dari 30 tahun (11/30 = 44/120), maka dalam setiap 15 windu (120 tahun), yang disebut satu tunggul taun (idéntik dengan satu kurup dalam kalénder Hijriyah-Jawa), kalénder Kala Sunda (seperti juga kalénder Jawa) harus hilang satu hari , agar akur

Sistem Perhitungan Pada Masyarakat Sunda

Dalam artikel yang saya bahas yakni mengenai sistem angka pada rumpun Awyu di Papua. Artikel tersebut menyajikan materi tentang sistem bilangan dari Kombai, Korowai, Wambon, Mandobo, Aghu, Sjiagha-Yenimu, dan Pisa, tujuh bahasa Papua dari keluarga Awyu di selatan Irian Jaya, Indonesia. Bagaimana mereka menamai masing-masing angka dan memperagakan setiap bilangan karena antara satu tempat dengan tempat lain memiliki perbedaan. Dalam hal ini, saya akan mengambil contoh dari masyarakat Sunda. Namun saya tidak akan membahas mengenai penamaan setiap bilangan dan bagaimana orang Sunda menyebut suatu bilangan melainkan sistem perhitungan yang biasa orang Sunda gunakan untuk menentukan hari baik dalam setiap melakukan sesuatu. Narasumber untuk informasi ini saya dapatkan dari kakek saya sendiri yakni H. Ma’mun. Beliau hingga saat ini masih menggunakan sistem perhitungan dalam melakukan segala sesuatu terutama yang menyangkut dengan hajat hidup keluarganya. Menurutnya, ada banyak

Film Karatagan Ciremai

Screening film "Karatagan Ciremai" yang digelar di salah satu warung kopi di Cirebon mendapat respon positif dari audiens yang hadir dalam acara tersebut. Pasalnya, Tidak hanya di hadiri oleh film maker Cirebon saja, film maker luar Cirebon juga turut hadir dalam acara tersebut, diantaranya Kuningan dan Indramayu. Kunjungi: CIREBONTRUST https://www.cirebontrust.com INDRAMAYUTRUST https://.indramayutrust.com MAJALENGKATRUST https://www.majalengkatrust.com KUNINGAN https://www.kuningantrust.com Follow Sosial Media Cirebon Trust: INSTAGRAM https://www.instagram.com/cirebontrus ... FACEBOOK CIREBON https://www.facebook.com/cirebontrustcom INDRAMAYU https://www.facebook.com/indramayutru ... MAJALENGKA http://www.facebook.com/majalengkatru ... KUNINGAN http://www.facebook.com/kuningantrustcom TWITTER CIREBON https://twitter.com/cirebontrustcom INDRAMAYU https://twitter.com/indramayutrustcom MAJALENGKA http://twitter.com/majalengkatrust KUNINGAN htt

Penghayat Sunda Wiwitan: Agama Impor Diakui, Mengapa Agama Leluhur Tidak?

BANDUNG,KOMPAS.com – Penghayat Sunda Wiwitan, Ira Indrawardana menilai, ramainya kasus pengosongan kolom agama di KTP lebih disebabkan imbas dari panasnya suhu politik di tanah air. Untuk itu, ia berharap persoalan ini tidak dipolitisasi. “Dengan kondisi politik sekarang, hal-hal yang disampaikan salah satu pihak bisa menjadi ramai oleh pihak lainnya,” ujar Ira di Bandung, Sabtu (15/11/2014). Ira menjelaskan, polemik ini muncul saat Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengeluarkan pernyataan warga negara Indonesia (WNI) penganut kepercayaan yang belum diakui secara resmi oleh pemerintah, untuk sementara boleh mengosongkan kolom agama di KTP elektronik. Ke depan, pihaknya akan bernegosiasi dengan Menteri Agama untuk membahas hal tersebut. Namun ide Tjahjo itu menuai protes, terutama dari lawan politiknya. Untuk mengakhiri polemik itu, Ira menyarankan sebaiknya semua pihak kembali ke Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap warga

Beginilah Diskriminasi yang Dialami Penghayat Sunda Wiwitan...

KUNINGAN, KOMPAS.com — Bukan hal mudah mempertahankan diri menjadi penghayat Sunda Wiwitan. Selain diskriminasi yang kerap diterima sejak lahir, mereka tak jarang dianggap remeh. Salah satunya dalam hal kartu tanda penduduk (KTP). Seorang penghayat Sunda Wiwitan, Dewi Kanti Setianingsih (39), menceritakan pengalamannya saat mengurus KTP. Kala itu, tahun 2010, saat masih tinggal di Jakarta, ia berniat mengganti KTP. Dalam KTP sebelumnya, kolom agama diisi tanda setrip (-). Namun, saat KTP-nya yang baru rampung, dia pun kaget sebab di kolom agama dituliskan Islam. Dewi pun kembali mengajukan pembuatan KTP untuk memperbaiki kolom agama. Lagi-lagi aparat menganggap enteng dan menuliskan agama di luar keyakinan Dewi. "Akhirnya, saya menulis surat ke Lurah Cilandak Jakarta Barat tertanggal 15 Juni 2010 atas kekeliruan yang dilakukan petugas di sana," kata Dewi, kepada Kompas.com belum lama ini. "Selain surat, saya sertakan bukti hidden camera percakapan saya deng

MEMELIHARA RUST EN ORDE: KASUS AGAMA JAWA SUNDA PASUNDAN

Mohammad Iskandar Abstract Many polemics took place because of the difference in interpretation about deviate religion, especially within the religious or the new beliefs. In this study, I select one case of deviationism which more or less represent two different era, namely the Religion of Java Sundanese Pasundan (Agama Jawa Sunda Pasundan-AJSP). According to colonial documents, the AJSP actually had appeared in Cigugur-Kuningan, West Java since the beginning of the 20th century. But the impact of its presence, especially that caused unrest among the society, only rose since the decade of the 1920s. Later, the unrest turned into a tension between support groups AJSP against Muslim Ummah around it. Especially after the AJSP leader, Kiai Madrais openly said that in the year of Alip, all religions will be disappeared but the AJSP. The tension eventually turned into some collective actions that accompanied by some violence. The AJSP side attacked group of Muslims and destroyed their prop