Skip to main content

Posts

Showing posts with the label Daerah

Jalan Panjang Perkawinan Penghayat Aliran Kepercayaan

PERKAWINAN antara Asep Setia Pujanegara, penduduk Jl. Wastukencana, Bandung, dengan Rela Susanti, penduduk Kampung Cipaku Desa Pakutandang Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung, ternyata harus menempuh perjalanan yang panjang hanya karena mereka adalah penganut Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pasangan itu menikah dengan tata cara adat Sunda pada hari Kamis 23 Agustus 2001 di rumah orangtua Rela Susanti, Kampung Cipaku, Desa Pakutandang Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung. Kampung itu memang dikenal sebagai tempat komunitas sejumlah keluarga masyarakat Sunda yang menganut Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di sanalah mereka secara turun temurun tinggal dan tidak pernah menganut salah satu agama, melainkan menganut Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pestanya cukup meriah, dihadiri kerabat, tetangga dan keluarga mereka. Akan tetapi, perkawinan mereka "tidak diakui negara", karena ketika pasangan itu mengajukan agar perkawinan mereka

Penghayat TYME di Bali

Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Sebagai Sumber Pendidikan Budi Pekerti Oleh: Drs. I Made Puma,M.Si. dan I Made Suarsana, SH. Balai Pelestarian Jarahnitra Bali, NTB, NTI’. Dewasa ini bangsa Indonesia tengah dilanda krisis multidimensi dan bencana demi bencana yang meluluh lantahkan segi-segi kehidupan. Krisis ekonomi, krisis moral, krisis keteladanan/kepemimpinan yang diiringi bencana demi bencana seperti jatuhnya pesawat Adam Air, tenggelamnya kapal Levina I, terbakarnya pesawat Garuda, tanah longsor, banjir bandang, tsunami, gempa bumi dan sebagainya telah membuat bangsa ini hampir lumpuh dari aktivitasnya sebagai sebuah bangsa yang memiliki semboyan agung Bhineka Tunggal Ika. Hal ini diperparah lagi dengan kasus-kasus sosial seperti kemiskinan, kriminalitas narkoba, prostitusi, korupsi, kolusi, nepotisme, pelecehan seksual, perselingkuhan dan lain-lain yang tiada habis-habisnya. Bangsa ini sudah mengalami degradasi moral yang cukup parah dan perlu waktu lama untuk mem

Protes Pada Sang Pelanduk

16 Juni 1990 GAJAH berkelahi dengan gajah, pelanduk yang muncul sebagai pemenang. Ini mungkin ungkapan yang pas untuk proses pemilihan ketua umum Himpunan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (HPK), yang sudah menyelenggarakan munasnya enam bulan lalu. Si Pelanduk, Djoko Mursito Humardani, terpilih memimpin himpunan yang beranggotakan 260 paguyuban se-Indonesia ini, 5 Maret lalu. Menurut rencana, acara pengukuhan kepengurusan ini akan diadakan di Gedung Krida Bhakti, Jakarta Pusat, Kamis pekan ini. Pemilihan ketua umum seharusnya berlangsung dalam munas HPK. 18-21 Desember lalu, di Kaliurang, Yogyakarta. Tapi munas sempat diperpanjang sehari karena tujuh formatur belum berhasil menyusun pengurus baru. Sebagian formatur ingin mempertahankan Zahid Hussein, ketua umum HPK dua periode berturut-turut sebelumnya, tapi ada juga yang ingin menggusurnya. Para penentang Zahid menilai pejabat Setneg itu kurang berhas

PAMA PUJA - the new Indigenous Peoples Organisation on Java

By Idham Kurniawan* In March this year, a new regional organisation for Indigenous Peoples on Java was established - Paguyuban Masyarakat Adat Pulau Java, or PAMA PUJA. When we talk about Indigenous Peoples, many people immediately think of people who live in remote areas on islands outside Java, such as Kalimantan and Papua. They think that on Java, there are no longer peoples who live according to traditional values and who hold on firmly to their adat (customary) way of life. In fact, there are many communities on Java who still lead their lives according to adat values and continue to stay outside the mainstream of modernisation. Masyarakat Adat (indigenous peoples) living on Java, have been living under cultural and political oppression since the Dutch colonial era. The fact that they endured this for so long, and the repressive measures that were taken against them by the colonial government (and also during President Suharto's 'New Order' regime) changed the way they