Skip to main content

MENCERMATI ASAL USUL KEPERCAYAAN, RELIGI DAN AGAMA JAWA KUNA

 Oleh: Dr. Roibin, MHI
A. Pendahuluan
            Mengamati secara cermat asal-usul kepercayaan Jawa tidaklah sesederhana yang kita bayangkan. Kepercayaan Jawa yang banyak bersentuhan dengan mistik itu,[1] dalam realitasnya banyak menyimpan misteri yang sangat kompleks. Kompleksitas kepercayaan komunitas kejawen tidak jarang menampakkan berbagai sekte dan tradisi kehidupan dalam masyarakat Jawa. Sekte-sekte dan tradisi kehidupan itu sebagai bentuk manifestasi dari religiusitas  masing-masing wilayah kejawen.
       Lebih menarik lagi, hampir setiap wilayah kejawen memiliki pedoman khusus khas Jawa, memiliki kosmogoni (asal-usul) kepercayaan dan mitos yang berbeda-beda serta unik.
B. Cina, Islam Cina dan Religi Jawa Kuna
 Tidak sedikit para ilmuwan antropologi yang berbeda perspektif dalam melihat kosmogoni kepercayaan kejawen ini. Sebagian ilmuwan mengatakan bahwa kosmogoni kepercayaan Jawa diwarnai oleh kebudayaan Cina.[2] Pandangan ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa berita mengenai Cina di kepulauan Indonesia dapat dianggap sebagai sumber ke tujuh dalam sejarah politik Jawa pada abad ke-15 dan 16. Dalam catatan Narendra Agung dikatakan bahwa Cina ternyata sangat penting bagi pembentukan corak kepercayaan Islam di masyarakat Jawa. Demikian juga dalam catatan sejarah dari pusat-pusat perdagangan Cina di Jawa, menunjukkan bahwa telah ada orang Cina Muslim yang tinggal di Jawa.[3]
 Alasan di atas diperkuat oleh bukti historis bahwa pada saat Khubilai Khan berkuasa jauh sebelum abad ke-15 dan ke-16 M, yaitu pada tahun 1275 M, ia memberi kebebasan dan kepercayaan kepada orang-orang Islam dari Turkistan di Asia Tengah untuk keluar masuk negeri Cina. Orang-orang Turkistan Muslim itu selain beroleh kedudukan yang cukup baik, juga ada yang menduduki jabatan menteri di istana kaisar. Oleh karena itu orang-orang Turkistan dari Balkh, Bukhara dan Samarkand mulai melancarkan pengislaman terhadap orang-orang Mongol dan Cina serta orang-orang di wilayah kekuasaan Khubilai Khan. Pada saat itu sekalipun pengislaman di Cina hasilnya tidak seperti di Persia, India dan Turkistan, namun boleh dikatakan orang-orang Cina banyak yang masuk Islam. [4] Dari data di atas, tidak menutup kemungkinan bahwa Cina yang datang ke Jawa, baik  atas dasar kepentingan perdagangan maupun politik dimungkinkan membawa tradisi dan kebudayaan Islam, selain juga tradisi dan kebudayaan khas mereka sendiri.
             Pandangan lain yang agak senada juga diungkapkan oleh J.H. Kern asal Belanda.[5]Menurutnya orang Jawa dianggap dari keturunan orang-orang Melayu yang berasal dari Cina. Kurang lebih tiga ribu tahun sebelum Masehi menurut pandangan Kern telah terjadi gelombang pertama imigran Melayu yang berasal dari Cina yang membanjiri Asia Tenggara, yang disusul kemudian dengan gelombang kedua, kurang lebih dua ribu tahun lamanya. Pengaruh imigran Melayu Cina ini, bagi masyarakat Jawa tidaklah kecil, melainkan kultur Cina baik yang sudah bersentuhan dengan kebudayaan Islam sebagaimana yang terjadi pada masa kekuasaan Khubilai Khan, maupun yang belum berinteraksi dengan Islam, betapapun telah banyak mempengaruhi karakter asli kebudayaan Jawa.
 C. Akulturasi Islam Campa, Hindu Campa dan Agama Jawa Kuna
 Selain pengaruh kepercayaan dan kebudayaan Cina, kepercayaan Campa[6] juga tidak kalah pentingnya untuk mewarnai kepercayaan Jawa. Proses Islamisasi penyebaran Islam di Surabaya dan Gresik ternyata juga dilakukan oleh para penyebar Islam asal Campa.[7].
 Sekitar tahun 1446-1471 M telah terjadi pengungsian besar-besaran penduduk Campa ke Nusantara, utamanya di Pulau Jawa. Alasan pengungsian tersebut dikarenakan bangsa Campa diduduki oleh bangsa Vietnam. Tanpa disadari proses pengungsian tersebut telah terjadi proses asimilasi, kolaborasi dan akulturasi budaya maupun kepercayaan antara Bangsa Campa dan Jawa. Bangsa Campa sendiri adalah bangsa yang tinggal di kawasan pesisir Vietnam mulai dari daerah Bien Hoe di utara Saigon sampai ke Porte di Selatan Hanoi serta sebagian lagi tersebar ke Kampuchea. Bangsa Campa sudah dikenal eksistensinya sejak akhir abad ke-2 Masehi. Raja-raja Cina dari Dinasti Tsin telah melihat bahwa ada gerakan-gerakan mereka di selatan meski belum dikenali identitasnya. Pada abad ke-2 M inilah wilayah kekaisaran Cina sering diserbu oleh komunitas Barbar dari selatan. Orang-orang Barbar dari selatan itu ditengarahi berasal dari bangsa Campa.[8]
 Sejak itu pula Bangsa Campa telah menunjukkan pengaruh Hinduismenya. Hal ini membuat bangsa Campa harus berbenturan dengan bangsa Vietnam yang terpengaruh Cina. Sekalipun Bangsa Campa sepanjang sejarahnya tidak mampu mengembangkan wilayahnya ke utara, namun kebudayaannya yang terpengaruh India yang Hinduistik tetap bertahan selama berabad-abad dari desakan kebudayaan Cina-Vietnam.[9]
 Sejumlah sejarawan mengatakan pengaruh Islam di Campa tidaklah begitu besar sebelum tahun keruntuhannya pada tahun 1471 M akibat serangan dari Vietnam. Namun demikian persinggungan antara bangsa Campa dengan orang-orang Islam teridentifikasi sejak abad ke-10 M. Indikasi ini bisa dilihat ketika raja Campa Indravarman III mengirimkan seorang duta beragama Islam bernama Abu Hasan ke kaisar Cina pada tahun 951 dan 958 M.[10] Indikasi lain bisa dilihat pada berbagai prasasti bahasa Arab yang ditemukan di Campa pada tahun 1902-1907 setelah diteliti menunjukkan bahwa pada pertengahan abad ke-10 M. orang-orang Islam di Campa sudah memiliki otonomi dan pemukiman sendiri. Ini berarti Islam telah dikenal oleh Campa sejak abad ke-10 M.
 Dengan demikian, baik Cina maupun Campa sekalipun memiliki corak kepercayaan maupun kebudayaan yang khas pada wilayahnya masing-masing, namun proses interelasi dan inkulturisasi dengan  Islam, sedikit banyak telah merubah iklim dan wajah kepercayaan dari dua bangsa tersebut menjadi kepercayaan yang saling melengkapi dan berasimilasi. Lebih-lebih ketika kedua bangsa tersebut mengungsi ke Jawa,  maka kepercayaan Bangsa Campa utamanya telah berubah menjadi Hindu-Jawa dan Islam-Jawa.  Sentuhan kepercayaan dan kebudayaan yang telah banyak mewarnai corak kepercayaan maupun kebudayaan bernuansa Islam di satu sisi dan Hindu di sisi yang lain telah melengkapi karakter asli kepercayaan Jawa di kalangan masyarakat Jawa.
 H.J. de Graaf juga mengatakan pada konteks yang sama bahwa pada abad ke-15 dan ke-16 M para pedagang dari wilayah Cina selatan dan pesisir Vietnam, yang sekarang Campa semakin aktif melakukan kegiatan di Jawa. Menurutnya para penyebar kebudayaan dan kepercayaan dari Cina dan Campa di Jawa pada abad ke-14 dan ke-15 M ketika itu, tidak sedikit membawa pengaruh signifikan terhadap adat dan tradisi keagamaan serta kepercayaan kepada masyarakat  Jawa yang bercorak Hindu-Islam .[11] Dengan demikian kepercayaan asli Jawa, animisme dan dinamisme tidak menutup kemungkinan secara historis telah mengalami proses asimilasi dengan kepercayaan di atas. Uniknya elastisitas kepercayaan asli Jawa yang sanggup menampung berbagai kepercayaan yang datang dari luar itu, tetap mampu mempertahankan nilai keasliannya.
 D. Asal-usul Agama Jawa dan Leluhur Jawa
 Secara antropologis orang Jawa memang telah lama ada. Hal ini terbukti telah ditemukan fosil-fosil di sekitar Bengawan Solo, Jawa Tengah. Fosil yang tertua disebut Pithecantropus Erectus dan fosil yang termuda disebut Homosoloensis. Karena fosil ini ditemukan di Jawa Tengah dapat diduga bahwa propinsi ini yang menjadi nenek moyang orang Jawa. Orang Jawa selalu menyatakan bahwa mereka adalah keturunan leluhur Jawa. Leluhur Jawa adalah orang yang mendirikan tanah Jawa.[12]
 Hanya saja, siapa yang menjadi pemula dari leluhur orang Jawa tersebut  di antara para ahli masih berbeda pandangan. Pertama: pandangan yang beraggapan bahwa leluhur orang Jawa  berasal dari Timur Tengah yang mengembara dengan cara berdagang sampai ke Jawa. Kedua: leluhur Jawa berasal dari dewa, yaitu Dewi Laksmi dan Dewa Wisnu, atas dasar itulah mayoritas komunitas kejawen memiliki karakteristik untuk mempertahankan nilai dan status sosialnya sebagai keturunan Dewa.[13] Ketiga: berasal dari seorang pengembara yang gemar keliling dunia seperti halnya Marcopolo. Ketiga asal-usul tersebut sama-sama logis dan menduduki peranan penting dalam kehidupan orang Jawa. Hal ini menggambarkan bahwa tradisi kepercayaan nenek moyang Jawa pun terjadi sinkretis antara Hindu Jawa dan Islam Jawa.[14] Hindu Jawa berasal dari tradisi India dan Campa sementara Islam Jawa berasal dari Timur Tengah dan sebagian tradisi Campa dan Tradisi Cina.
 Sementara itu, ilmuwan lain mengatakan bahwa asal mula kepercayaan Jawa asli yang bersifat transendental lebih cenderung kepada paham animisme dan dinamisme.[15] Pandangan senada diungkapkan juga oleh Masroer. Menurutnya sebelum Hinduisme dan Budhisme masuk ke Jawa, agaknya orang-orang Jawa telah menganut agama asli yang bercorak animistik dan dinamistik.[16] Masih dalam konteks yang sama, Simuh juga mengatakan bahwa suku-suku bangsa Indonesia, khususnya suku Jawa sebelum kedatangan pengaruh Hinduisme telah hidup teratur dengan tradisi animistik dan dinamistik sebagai akar religiusitas, dan hukum adat sebagai pranata sosial mereka.[17] Lebih dari itu Simuh mengatakan bahwa religi animisme dan dinamisme yang menjadi akar budaya asli masyarakat Jawa cukup memiliki daya tahan yang kuat terhadap kebudayaan-kebudayaan yang telah berkembang maju.[18]
 Sedemikian kuatnya religi animisme dan dinamisme itu mengakar pada karakter asli masyarakat Jawa, hingga ragam budaya dan kepercayaan apapun yang bersentuhan dengan religi Jawa, tetap saja tidak banyak berpengaruh secara signifikan bagi perubahan esensial religi animisme dan dinamisme yang menjadi simbol kejawen tersebut.
 RM Sutjipto Wirjosuparto juga mempunyai pandangan yang sama, ia mengatakan sungguhpun kebudayaan Jawa asli menjalin hubungan dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang lebih tinggi, misalnya kebudayaan Hindu, Islam dan Barat yang menyebabkan termodifikasinya kebudayaan Jawa asli, ternyata pola kebudayaan asli Jawa tetap saja sama dengan sebelumnya, lantaran unsur-unsur kebudayaan lain tersebut terserap dalam pola kebudayaan dan kepercayaan kejawen. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa elastisitas kebudayaan kejawenlah yang mampu mempertahankan karakter dan ciri asli kejawennya.[19]
 Tidak kalah menarik  J.W.M. Bakker yang mengatakan walaupun sebagian besar masyarakat Jawa mengaku secara formal beragama Islam, namun demikian sikap dan praktik keagamaan sehari-hari yang mereka hayati, senantiasa dijiwai dalam batin yang paling dalam oleh agama asli kejawen tersebut, yaitu animisme dan dinamisme.[20]

Bermula dari kepercayaan animisme dan dinamisme Jawa--dengan varian-varian mitologinya yang ada pada masing-masing wilayah—yang dipertemukan dengan budaya luar yang lebih tinggi, misalnya Hindu, Budha, dan Islam telah memunculkan model kepercayaan baru berupa Islam Kejawen, Hindu Kejawen dan Budha kejawen  sesuai  dengan di wilayah mana mereka berada.
 E. Kosmogoni Jawa dan Latar Belakang Mitologi Jawa
 Perbedaan pandangan asal-usul kejawen tersebut selain dilatarbelakangi oleh cara pandang historis, juga karena dipengaruhi oleh perbedaan konstruksi mitologis yang ada pada masing-masing wilayah. Perbedaan mitologis yang ada pada masing-masing wilayah itu akan terlihat dengan jelas  dalam mitos dua tokoh misteri, yaitu Sri dan Sadono. Menurut kepercayaan mitis Jawa, Sri dan Sadono adalah asal-usul Kejawen. Sri sebenarnya dimitoskan sebagai penjelmaan dewi Laksmi, isteri Wisnu. Sedangkan Sadono adalah penjelmaan dari Wisnu itu sendiri.[21] Dalam kaitannya dengan mitologi ini sesungguhnya Sri dan Sadono adalah lambang Dewi Laksmi dan Dewa Wisnu sebagai suami istri yang menjadi cikal bakal kejawen. Atas dasar itu berbagai ritual mistik kejawen, keduanya selalu mendapatkan posisi khusus dalam masyarakat Jawa. Dewi Sri dipercaya sebagai dewa padi, sementara Wisnu dianggap sebagai dewa yang membuat alam dan seisinya ini damai dan teratur.
             Menurut Tantu Panggelaran,  Sri dan Sadono memang pernah diminta turun ke arcapada untuk menjadi nenek moyang di Jawa. Sumber ini tanpa terasa akan menjastifikasi kepercayaan mitis, bahwa orang Jawa itu keturunan dewa. Dengan kata lain orang Jawa menurut kepercayaan mereka berasal dari keturunan yang mulia dan tinggi derajatnya, status sosial dan kulturnya.[22]
             Ajaran kuno yang selalu menjadi pedoman dan dikaitkan dengan Dewi Sri (Dewi Laksmi) dan Sadono (Dewa Wisnu) adalah falsafah Ajisaka. Ada kepercayaan bahwa dari Ajisaka ini lahirlah aksara Jawa. Aji Saka, berasal dari kata Aji (raja, yang dihormati, dipuja dan disembah), sedangkan Saka berarti tiang atau cabang. Dengan demikian Ajisaka berarti tiang penyangga yang memperkokoh religiusitas manusia. Religiusitas Jawa tidak lain adalah mistik kejawen.
             Paham kejawen sejak mempercayai mitos Dewi Sri dan Dewa Sadono dianggap mencerminkan kebodohan, baru ketika Ajisaka datang ke tanah Jawa, masyarakat Jawa merasa memiliki ilmu. Atas dasar itu Ajisakalah yang dianggap penyangga keilmuan Jawa. Oleh karena itu dalam kisahnya, Ajisaka akan mengalahkan Dewata Cengkar, lambang masyarakat tempo dulu yang masih membawa tradisi bar-bar, yaitu masyarakat yang belum berperadaban. Dewata adalah simbol kebaikan, sedangkan Cengkar adalah simbol keburukan. Dewata Cengkar berarti gambaran baik dan buruk yang ada pada diri manusia. Hadirnya Ajisaka di Jawa bermaksud menyingkirkan berbagai keburukan dan kegersangan pada diri manusia, selanjutnya menghadirkan dan memenuhi sifat-sifat kebaikan yang menandainya sebagai makhluk yang berperadaban dan berkebudayaan.[23]
             Dari kisah mitis tersebut menggambarkan bahwa Ajisaka berasal dari pulau Majeti, adalah gambaran badan  wadag (kasar) manusia.  Gambaran alam semesta yang mudah rusak, di tempat inilah akan selalu dihuni oleh abdi Dora dan Sembada, yaitu nafsu yang jelek dan baik. Keduanya senantiasa berkecamuk dan tidak ada yang menang dan kalah. Sekilas dari kisah sugestif ini Ajisaka memang bukan asli kejawen, hanya saja ia mengajarkan kejawen menurut versinya. Artinya ajaran kejawen yang telah dikolaborasi dengan ajaran yang ada pada dirinya, namun bagi kejawen hal tersebut tidak menjadi masalah.[24]
             Perbedaan kosmogini dan mitologi lain juga dijumpai di Tengger. Menurut keyakinan mitis, Tengger berasal dari tokoh mistis Roro Anteng dan Joko Seger. Kedua tokoh ini sangat dipuji oleh masyarakat Tengger melalui ritual slametan. Termasuk juga mitos Minakjinggo dan Sinto yang terjadi di Banyuwangi yang menurut Beatty mitos ini sebagai simbol reproduksi.[25] Hal ini bisa dilacak dari terma jinggo (merah) dan sinta (putih). Warna merah dan putih  melambangkan sesaji jenang abang putih yang merepresentasi dari asal-usul manusia yang berasal dari seorang ibu dan ayah. Di wilayah lain yang hampir senada juga dijumpai di Pekalongan, Salatiga, Yogyakarta, Surakarta dan Ponorogo. Masing-masing memiliki legenda sebagai representasi mitos yang berkembang dalam pemikiran rakyat setempat. Masing-masing mitos diyakini memiliki local Genius atau kearifan tradisional yang luar biasa. Biasanya legenda tersebut dijadikan sebagai sandaran kehidupan mistik di kalangan mereka. Atas dasar itu kehidupan kejawen menjadi sentral mistik.[26] 
             Rachmad Subagya dalam memandang kosmogini kejawen, berbeda sama sekali dengan pandangan para ilmuwan antropologi sebelumnya. Kosmogini kejawen dalam pandangannya justru diawali dengan kepercayaan dan kebudayaan monoteistik dan teistik. Bagi Rachmad watak dasar kepercayaan orang-orang Jawa asli bukan berada pada kepercayaan animistik dan dinamistik sebagaimana menurut kebanyakan para antropolog yang lain. Pemikiran reflektif mereka tentang ketuhanan –menurut Rachmat--memang tidak selengkap dan seideal agama-agama besar yang secara normatif doktriner telah disiapkan  dalam kitab-kitab wahyu yang autentik. Pemikiran mereka terhadap Ilahi tersebut tumbuh dari pengalaman hidup, baik dalam suasana hari-hari gembira maupun suasana hari-hari sedih. Dalam hati sanubari terlintas adanya keyakinan magis (gaib) terhadap Ilahi yang dianggap mampu menaungi hal ikhwal insani. Dalam suka dan duka hidup manusia senantiasa dihadapkan pada Ilahi untuk memohon perlindungan terhadap bahaya yang mengancam, baik berupa bencana alam, penyakit, hantu atau manusia yang bertuah.
             Rasa ketuhanan yang terpendam dalam lubuk hati manusia sulit untuk diungkapkan, baik dari kalangan mereka yang telah mengenal pewahyuan dari tuhannya maupun yang belum mengenal sama sekali kecuali lewat pengalaman-pengalaman keagamaan secara natural.  Rasa ketuhanan itu pada akhirnya memanifestasi menjadi dua bentuk. Pertama: komunitas yang mengakui bahwa Ilah itu sebagai Fascinosum, yaitu dzat yang menarik, mempesona, mesra dan menimbulkan rasa cinta pada-Nya. Kedua: Ilah diakui sebagai Tremendum, yaitu yang menakutkan, jauh dan dahsyat.
             Menurut Rachmat, perilaku keberagamaan sejenis ini dalam realitasnya juga dialami oleh agama-agama yang maju, hanya saja terdapat perbedaan teknis-eksoterik, utamanya dalam penggunaan terma-terma  maupun simbol-simbol keagamaan. Bagi agama maju misalnya, menggunakan istilah iman tatkala mereka membayangkan kasih sayang dan keadilan Tuhan, dan istilah taqwa tatkala mereka membayangkan kekhawatiran-kekhawatiran akan kesalahan di hadapan Tuhan. Ia mengatakan bila kedua sikap tersebut, yaitu sikap kasih dan sikap taqwa seimbang,  saling melengkapi dan keduanya diarahkan kepada pribadi Tuhan yang baik dan adil, maka muncullah sikap keagamaan yang disebut dengan teisme dan monoteisme.[27]
             Dua sikap keagamaan di atas dalam praktiknya selalu kabur dan samar dalam diri manusia, sehingga tidak ada lagi kekuatan untuk menggugah emosi keagamaan manusia. Berawal dari ini semua, Tuhan pencipta kemudian dianggap tersembunyi jauh di atas ciptaan. Tuhan dianggap barang gaib yang berjarak jauh dan paling asing bagi mereka, apalagi yang tidak berani untuk mengungkapkannya. Keadaan inilah yang membuat mereka masuk ke dalam sikap keagamaan yang disebut dengan deisme.
             Dengan menjauhkan Tuhan dari ruang lingkup insani, maka manusia terbawa oleh kecenderungan hatinya yang selalu dekat dengan hal ghaib selain Tuhannya. Misalnya dengan mempersonifikasikan Tuhan dalam bentuk alam semesta ini, yaitu matahari, bulan dan bumi, inilah yang disebut dengan proses mitologisasi alam. Sikap ini juga bisa dikatakan sebagai upaya konkritisasi hal-hal yang abstrak.
 Model lain adalah dengan mengkhayalkannya sebagai penghuni pohon atau arwah para leluhur yang sering disebut dengan animisme dan manisme. Akhirnya daya ghaib dianggap bersemayam dalam benda alam seperti gunung, batu, air dan api inilah yang disebut dengan dinamisme. Alur pemikiran Rachmat di atas menunjukkan cara pemikiran yang berbeda dari yang lainnya. Rachmat meletakkan paham animisme dan dinamisme berada jauh setelah paham monoteisme dan teisme.  Lebih menarik lagi, ketika Rachmat mensejajarkan perilaku keberagamaan orang Jawa asli identik dengan perilaku keberagamaan dari kalangan orang-orang yang beragama besar yang telah maju.
 F. Kesimpulan
 Karagaman cara pandang keagamaan di atas, secara esoterik terdapat titik-titik kesamaan sekalipun berbeda dari sisi eksoteriknya. Pandangan ini secara spesifik, semakin menguatkan suatu pandangan yang meyakini adanya perjumpaan antara sinkretisme kejawen  dan sufisme Islam. Sinkretis kejawen mengatakan adanya konsep sangkan paraning dumadi[28] (arah kehidupan) dan manunggaling kawula gusti[29], sementara konsep sufisme Islam mengatakan adanya teori ittihad dan ilhad yang mengkristal menjadi wahdatu al-wujud[30]



[1] Masroer Ch. Jb., The History Of Java: Sejarah Perjumpaan Agama-agama di Jawa (Yogyakarta : al-Ruzz, 2004), 19-20.
[2] Purwadi dan Maharsi, Babad Demak: Sejarah Perkemabangan Islam di Tanah Jawa (Yogyakarta: Tunas Harapan, 2005), 22.
[3] Ibid.
[4] Agus Sunyoto, Melacak Kembali Dinamika Perjuangan Dakwah Islam di Jawa Abad XIV-XV M: Sunan Ampel Raja Surabaya ( Surabaya: Diantama, 2004), 45.
[5] Frans Magnis Suseno, Etika Jawa:Sebuah Analisis Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), 21.
[6] Ibid., 23-24.
[7] Ibid.
[8] Ibid., 43.
[9] G. Coedes, The Making of Southeast Asian ( London, 1966), 70.
[10] Agus Sunyoto, Melacak Kembali Dinamika, 44.
[11] Ibid.,46-47.
[12] Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa (Yogyakarta: Cakrawala, 2006), 1.
[13] Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, 1.
[14] Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa ,1-2.
[15] Purwadi dan Djoko Dwiyanto,  Filsafat Jawa: Ajaran Hidup Yang Berdasarkan Nilai Kebijakan Tradisional (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2006), 19.
[16] Masroer Ch. Jb, The History Of Java, 19-20.
[17] Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa ( Jakarta: Teraju, 2003), 39-40.
[18] Ibid., 40.
[19] RM. Sutjipto Wirjosuparto, A Short Cultural History of Indonesia (tt), 1.
[20] J.W.M. Bakker, Agama Asli Indonesia ( tt ), 217.
[21] Harun Hadiwijono, Konsepsi Tentang Manusia Dalam Kebatinan Jawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), 21.
[22] Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, 1.
[23] Ibid., 3.
[24] Ibid., 4.
[25] Andrew Beatty, Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi, terj. Ahmad Fedyani Saefuddin  ( Jakarta: Murai Kencana, 2001), 223-224.
[26] Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, 5.
[27] Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia ( Jakarta: Sinar Harapan, 1981), 64-64.
[28] Seno Sastroamidjojo, Gagasan Tentang Hakikat Hidup dan Kehidupan Manusia ( Jakarta: Bhratara, 1972), 101. dalam buku itu dia mengatakan bahwa ungkapan sankan paraning dumadi adalah tergolong ngelmu kasampurnan. Ngelmu semacam ini diperoleh melalui laku prihatin. Oleh karena itu dalam kitab Serat Wirid yanag merupakan kitan suci penganut mistik kejawen istilah tersebut masih terbagi menjadi beberapa hal.
[29] Damarjati Supadjar, Nawang Sari, Butir-butir Renungan Agama, Spiritualitas dan Agama ( Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), 271. dalam buku tersebut ia mengatakan bahwa  Istilah manunggaling kawula gusti ini merupakan kata kunci dalam ajaran kejawen. Oleh karena itu manusia harus bersikap depe-depe, mendekat  kepada Tuhannya. Dengan cara ini antara manusia dan Tuhannya akan mengalami jumbuh. Bahkan menurut Ki Kusumowicitra  ketika konggres teosofi di Semarang, manunggaling kawula gusti itu akan menciptakan ketenangan batin, karena terjadi titik temu yang harmoni antara manusia dan Tuhannya.
[30] Simuh, Sufisme Jawa : Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa ( Yogyakarta: Bentang, 1995), 135. Dalam buku ini beliau mengatakan bahwa ada dua pendekatan yang berbeda dalam memaknai istilah manunggaling kawula gusti ini. Pertama manunggal diidentikan dengan konsep wihdatul wujud, yaitu Tuhan dan manusia menyatu melebur menjadi satu. Sedangkan pendapat kedua mengacu kepada jumbuh yang maknannya sejalan dengan wihdatu al-Syuhud, yang berarti manusia merasa dekat dengan Tuhannya.

Comments

Popular posts from this blog

Belajar dari Wirid Wirayat Jati Ronggowarsito

Banyak orang yang tidak tahu apa sih ilmu sejati itu? Banyak para salik yang mencari suluk untuk mendapatkan ilmu sejati yakni ilmu kasampurnan (kesempurnaan) hidup. Tidak ada salahnya jika kita belajar ilmu kasampurnaan hidup itu dari Raden Ngabehi Ronggowarsito dari Serat Wirid Wirayat Jati yang ditulisnya. Bagaimana ilmu kasampurnan itu? Anênggih punika pituduh ingkang sanyata, anggêlarakên dunung lan pangkating kawruh kasampurnan, winiwih saking pamêjangipun para wicaksana ing Nungsa Jawi, karsa ambuka pitêdah kasajatining kawruh kasampurnan, tutuladhan saking Kitab Tasawuf, panggêlaring wêjangan wau thukul saking kawêningan raosing panggalih, inggih cipta sasmitaning Pangeran, rinilan ambuka wêdharing pangandikaning Pangeran dhatêng Nabi. Musa, Kalamolah, ingkang suraosipun makatên: Ing sabênêr-bênêre manungsa iku kanyatahaning Pangeran, lan Pangeran iku mung sawiji. (Inilah sebuah petunjuk benar yang menjelaskan ilmu sirr kesempurnaan hidup, yang berakar dari

PRIMBON JAWA LENGKAP

Sistim Penanggalan Jawa Sistim Penanggalan Jawa lebih lengkap dan komprehensif apabila dibandingkan dengan sistim penanggalan lainnya, lengkap dan komprehensifnya adalah suatu pembuktian bahwa ketelitian Jawa dalam mengamati kondisi dan pengaruh seluruh alam semesta terhadap planet bumi seisinya termasuk pengaruh kepada pranatan kehidupan manusia, dapat disampaikan antara lain adanya rumusan tata penanggalan jawa sebagai berikut : 1. Pancawara – Pasaran; Perhitungan hari dengan siklus 5 harian : 1. Kliwon/ Kasih 2. Legi / Manis 3. Pahing / Jenar 4. Pon / Palguna 5. Wage / Kresna/ Langking 2. Sadwara – Paringkelan, Perhitungan hari dengan siklus 6 harian 1. Tungle / Daun 2. Aryang / Manusia 3. Wurukung/ Hewan 4. Paningron / Mina/Ikan 5. Uwas / Peksi/Burung 6. Mawulu / Taru/Benih. 3. Saptawara – Padinan, Perhitungan hari dengan siklus 7 harian : 1. Minggu / Radite 2. Senen / Soma 3. Selasa / Anggara 4. Rebo / Budha 5. Kemis / Respati 6. Jemuwah / Sukra 7. Setu / Tumpak/Sa

Agama asli jawa Indonesia

HONG WILAHENG NGIGENO MESTUTI, LUPUTO SARIK LAWAN SANDI, LUPUTO DENDANING TAWANG TOWANG, DJAGAD DEWO BATORO HJANG DJAGAD PRAMUDITO BUWONO LANGGENG AGOMO BUDDODJAWI-WISNU hing TANAH DJOWO ( INDONESIA ) ---oooOooo--- Lambang Cokro Umbul - Umbul Klaras            Wiwitipun ngadeg Agami Buddodjawi-Wisnu wonten ing Suroboyo, nudju dinten Tumpak cemengan (Saptu Wage), tanggal kaping 11 Palguno 1856. (Djumadilawal) utawi tanggal 25 November 1925 mongso kanem, windu sengsoro, Tinengeran condro sangkolo. Ojaging Pandowo Angesti Buddo 1856. Utawi tahun Ismoyo 8756.            Tujuan Agami Buddodjawi-Wisnu anenangi soho angemuti dumateng Agami soho Kabudayan kita ing Indonesia ingkang asli soho murni, kados dene wontenipun negari Modjopait sapanginggil sederengipun wonten Agami penjajahan. Agami Buddodjawi-wisnu puniko mengku punjering Kabudayan Nasional ingkang asli soho murni ing Indonesia. Dene Punjering Kabudayan wau ingkan ngawontenaken adat t