Skip to main content

SELAMAT DATANG PENGHAYAT KEPERCAYAAN

 Oleh Drs. Sugeng WIbowo, MH

Demokrasi  di Indonesia memasuki babak baru terutama dalam kebebasan beragama dan berkepercayaan. Kegemaran membuat partai politik, menular ke wilayah kehidupan keagamaan, karena tidak lama lagi akan lahir agama atau aliran kepercayaan yang jauh lebih banyak dan lebih memusingkan.  Ini merupaka resiko dari penerapan     UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan yang dalam penjabaran peraturan dibawahnya   dengan jelas mengatur kelompok penghayat kepercayaan atau kebatinan sebagai komunitas yang diakui dalam dokumen kependudukan.
Demokrasi  di Indonesia memasuki babak baru terutama dalam kebebasan beragama dan berkepercayaan. Kegemaran membuat partai politik, menular ke wilayah kehidupan keagamaan, karena tidak lama lagi akan lahir agama atau aliran kepercayaan yang jauh lebih banyak dan lebih memusingkan.  Ini merupaka resiko dari penerapan     UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan yang dalam penjabaran peraturan dibawahnya   dengan jelas mengatur kelompok penghayat kepercayaan atau kebatinan sebagai komunitas yang diakui dalam dokumen kependudukan.
Perjalanan panjang  penganut aliran kebatinan di Indonesia untuk mengkonkritkan  hak sipilnya dalam produk hukum hampir mencapai kesempurnaan.  Bermula dari Undang-Undang Dasar 1945 dan Hak Asasi Manusia yang  memberikan kebebasan beragama. Penggalan akhir pada kalimat “kepercayaannya”  melahirkan polemik sejak undang-undang tersebut lahir, berlanjut dalam arena politik hingga sekarang ini.  Penghayat kepercayaan meyakini bahwa enam agama resmi yang diakui negara semua hasil impor yang tidak sesuai dengan kepercayaan asli masyarakat Indonesia. Sementara dalam pandangan agama, aliran kepercayaan merupakan tahapan perjalanan spiritual manusia yang belum selesai. Diawali dari animisme, dinamisme, politeisme dan monoteisme. Aliran kepercayaan dianggap masih hidup dalam dunia  anismisme dan dinamisme atau “alam pepeteng“.      
Meskipun tidak terlalu nampak, penganut kebatinan jumlahnya cukup banyak dan sebagian adalah para pejabat yang agama resminya Islam. Siapapun dan apapun alasannya yang tidak mengamalkan ajaran agama sering juga di klaim sebagai anggotanya. Batasan yang semu seperti inilah yang menjerumuskan penghayat kepercayaan untuk bersahabat  lebih dekat dengan kaum ateis dan komunisme pada tahun 1960 an, yang kemudian menimbulkan trauma di kalangan muslim Indonesia. Aliran kepercayaan jumlahnya cenderung terus bertambah. Coraknya bervariasi karena keyakinannya lahir dari hasil kontemplasi/perenungan dan pengalaman spiritual pendirinya yang merasa mendapatkan “wangsit” dari Yang Maha Kuasa. Dalam prakteknya banyak mencampur sejumlah keyakinan dari berbagai agama yang dianggap sama, atau bahkan hanya sekedar mengganti istilah-istilah baku dengan mereduksi kewajiban agama tertentu.  Oleh karena itu sebagian tidak memiliki konsep yang jelas tentang hal tertentu misalnya tata cara perkawinan atau tentang kematian.
Apabila selama ini di KTP ada kolom agama biasanya diisi dengan agama-agama besar yang diakui negara, maka dalam sistem kependudukan yang baru, bisa dikosongkan dengan pengertian yang bersangkutan penghayat aliran kepercayaan. Implikasi sosial dari kolom tersebut ternyata tidak sederhana. Ketika memutuskan untuk mengosongkan kolom agama, maka yang bersangkutan harus konsisten dengan ajarannya terutama terkait dengan peristiwa-peristiwa penting dalam hidupnya yang direkam dalam data kependudukan. Misalnya  meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan. Sementara, tidak semua aliran kepercayaan memiliki konsep yang jelas tentang peristiwa tersebut dan apabila dipaksakan maka akan bergesekan dengan norma sosial atau agama tertentu. Dalam kontek ini  yang perlu hati-hati adalah kelompok tahlilan yang tidak lagi bisa menjalankan tugasnya sebebas sekarang ini, sebelum memastikan KTP almarhum adalah Islam. Bisa jadi mereka penganut kepercayaan yang tidak mengenal bacaan seperti itu, dan keluarga mereka menolak tahlilan bukan karena dia penganut aliran Muhammadiyah melainkan kebatinan.
Pernikahan cukup dilakukan di hadapan pimpinannya dan dilaporkan kepada Pejabat  Pencatatan Sipil. Persoalan apakah ada prosesi pernikahan atau bentuknya seperti apa, tidak menjadi tanggungjawab pemerintah. Mungkin kelompok aliran kepercayaan tertentu cukup mensyaratkan pasangan mempelai suka sama suka. Ketika perasaan tersebut hilang, maka masing-masing bisa mencari pasangan lagi dengan tetap mempertahankan yang lama. Konsep perkawinan seperti diatas tentu saja banyak penggemarnya karena tidak berbeda dengan sex bebas. Belajar dari penelitian di Kintamani Bali, apabila ada konflik keluarga, masing-masing bisa memutuskan untuk mencari pasangan lagi meskipun masih hidup dalam satu rumah. Yang terjadi kemudian, penyakit HIV/AIDS berkembang sangat pesat karena terlalu sering berganti pasangan. Karena banyaknya pengindap virus tersebut sampai-sampai apabila kita mau potong rambut di pinggir jalan selalu diingatkan oleh tukangnya untuk membawa alat atau silet sendiri yang dijamin steril dari HIV.
Ungkapan diatas terlalu berlebihan  ?. Yang pasti perlu perenungan lebih dalam dari semua fihak tentang sejatinya beragama dan berkepercayaan. Jangan-jangan apa yang dilakukan sekarang ini justeru tidak dikehendaki oleh Tuhan masing-masing. Karena Tuhan siapapun,  tidak suka kegaduhan apalagi kerusuhan sekalipun atasnama-Nya. Wallohu a’lam

Daftar Pustaka :
UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan
Sugeng Wibowo, MH adalah Dosen FE Universitas Muhammadiyah Ponorogo 

http://lib.umpo.ac.id/index.php/baca/konten/164/selamat-datang-penghayat-kepercayaan--oleh-drs-sugeng-wibowo-mh

Comments

Popular posts from this blog

Belajar dari Wirid Wirayat Jati Ronggowarsito

Banyak orang yang tidak tahu apa sih ilmu sejati itu? Banyak para salik yang mencari suluk untuk mendapatkan ilmu sejati yakni ilmu kasampurnan (kesempurnaan) hidup. Tidak ada salahnya jika kita belajar ilmu kasampurnaan hidup itu dari Raden Ngabehi Ronggowarsito dari Serat Wirid Wirayat Jati yang ditulisnya. Bagaimana ilmu kasampurnan itu? Anênggih punika pituduh ingkang sanyata, anggêlarakên dunung lan pangkating kawruh kasampurnan, winiwih saking pamêjangipun para wicaksana ing Nungsa Jawi, karsa ambuka pitêdah kasajatining kawruh kasampurnan, tutuladhan saking Kitab Tasawuf, panggêlaring wêjangan wau thukul saking kawêningan raosing panggalih, inggih cipta sasmitaning Pangeran, rinilan ambuka wêdharing pangandikaning Pangeran dhatêng Nabi. Musa, Kalamolah, ingkang suraosipun makatên: Ing sabênêr-bênêre manungsa iku kanyatahaning Pangeran, lan Pangeran iku mung sawiji. (Inilah sebuah petunjuk benar yang menjelaskan ilmu sirr kesempurnaan hidup, yang berakar dari

PRIMBON JAWA LENGKAP

Sistim Penanggalan Jawa Sistim Penanggalan Jawa lebih lengkap dan komprehensif apabila dibandingkan dengan sistim penanggalan lainnya, lengkap dan komprehensifnya adalah suatu pembuktian bahwa ketelitian Jawa dalam mengamati kondisi dan pengaruh seluruh alam semesta terhadap planet bumi seisinya termasuk pengaruh kepada pranatan kehidupan manusia, dapat disampaikan antara lain adanya rumusan tata penanggalan jawa sebagai berikut : 1. Pancawara – Pasaran; Perhitungan hari dengan siklus 5 harian : 1. Kliwon/ Kasih 2. Legi / Manis 3. Pahing / Jenar 4. Pon / Palguna 5. Wage / Kresna/ Langking 2. Sadwara – Paringkelan, Perhitungan hari dengan siklus 6 harian 1. Tungle / Daun 2. Aryang / Manusia 3. Wurukung/ Hewan 4. Paningron / Mina/Ikan 5. Uwas / Peksi/Burung 6. Mawulu / Taru/Benih. 3. Saptawara – Padinan, Perhitungan hari dengan siklus 7 harian : 1. Minggu / Radite 2. Senen / Soma 3. Selasa / Anggara 4. Rebo / Budha 5. Kemis / Respati 6. Jemuwah / Sukra 7. Setu / Tumpak/Sa

Agama asli jawa Indonesia

HONG WILAHENG NGIGENO MESTUTI, LUPUTO SARIK LAWAN SANDI, LUPUTO DENDANING TAWANG TOWANG, DJAGAD DEWO BATORO HJANG DJAGAD PRAMUDITO BUWONO LANGGENG AGOMO BUDDODJAWI-WISNU hing TANAH DJOWO ( INDONESIA ) ---oooOooo--- Lambang Cokro Umbul - Umbul Klaras            Wiwitipun ngadeg Agami Buddodjawi-Wisnu wonten ing Suroboyo, nudju dinten Tumpak cemengan (Saptu Wage), tanggal kaping 11 Palguno 1856. (Djumadilawal) utawi tanggal 25 November 1925 mongso kanem, windu sengsoro, Tinengeran condro sangkolo. Ojaging Pandowo Angesti Buddo 1856. Utawi tahun Ismoyo 8756.            Tujuan Agami Buddodjawi-Wisnu anenangi soho angemuti dumateng Agami soho Kabudayan kita ing Indonesia ingkang asli soho murni, kados dene wontenipun negari Modjopait sapanginggil sederengipun wonten Agami penjajahan. Agami Buddodjawi-wisnu puniko mengku punjering Kabudayan Nasional ingkang asli soho murni ing Indonesia. Dene Punjering Kabudayan wau ingkan ngawontenaken adat t