Skip to main content

Mundurnya Kejawen

[Tulisan di bawah saya copy dari blog-nya Mas Sabdo Langit, dari komentar saya sendiri]

Para pinisepuh Yth.
Mengapa kejawen itu dijelek2an ? Menurut saya ini masalah bisnis. Bisnis ? yaa, semua orang asing tau kalau kita punya ‘kelemahan’ terhadap penerimaan akan ajaran baru (pada jaman dulu). Kaum Jawoto terlalu akomodatif terhadap ajaran baru. Ada Hindu masuk, yo diterima. Ada Budha masuk, yo. Ada Islam masuk, yo mlebuwo. Ada Kristen masuk, monggooo.Kalau dilihat dari sejarah, mereka masuk dengan alasan apa ? berdagang. lalu pada saat itu kelemahan kita apa ? kita tidak memiliki tradisi agama (kejawen) yang kuat - karena jawoto, ya ituuu, terlalu akomodatif terhadap setiap ajaran baru yang datang.Kejawen tidak diformulasikan sebagai organisasi spiritual yang memiliki tonggak manusiawi : nabi dan kitab suci. Formula kejawen adalah rahsa yang hanya dapat diakses tidak oleh sembarang orang.Kesempatan inilah yg diambil oleh para pedagang : menciptakan pengaruh yg dapat menunjang bisnis mereka dengan menciptakan kolonialisasi religi (religi belum tentu totalitas spiritual karena porsi ritus dan liturgialnya yg dominan). Yang beragama Hindu dan Budha tentu lebih ‘happy’ berdagang dengan orang India, karena orang India dekat dengan Dewa dan Budha Gautama. Yang beragama Islam lebih ‘happy’ berbisnis dengan orang Arab, karena mereka dekat dengan Nabi Muhammad, begitu pula yg Kristen lebih dekat dengan bule karena pada jaman itu para padrinya bule semua.Fanatisme ini terus menerus dipupuk, dan para orang asing itu senang melakukannya : karena mudah dan berhasil. Mudah, karena kejawen tidak memiliki dua tonggak manusiawi. Mudah karena kejawen adalah wacana dan bukan dogma.Sekalinya kita didobrak oleh dogma (alam pikir), kita jadi kaget, sama seperti kagetnya Ki Ageng Pengging ketika berdiskusi dengan Syech Siti Jenar.Di dalam dogma setiap agama, setiap pertanyaan hampir selalu ada jawabannya (bahkan untuk pertanyaan yg ndak perlu utk kehidupan nyata), sementara kejawen ? ya begitu itu, ndak ada jawaban, yg adanya begitu ya begitu.Semakin kesini para agama negeri asing itu semakin dibentuk dari yang hanya ‘agama’ berjalan pada tatanan spiritualitas yg semakin tinggi, disamping semakin tinggi pula privilege para tokohnya untuk mengatur ini-itu. Sementara pembelajaran ttg fanatisme yg benar tidak dilakukan (atau disengaja ?). Sehingga yg terjadi adalah supra-fanatisme yg terbentuk dari tatanan pola pikir dan bukan dari rahsa.Buktinya ? orang sudah tidak segan lagi menghajar dan bahkan membantai sesamanya. tingkat kejahatan secara kualitatif semakin meningkat, yg sederhana saja : orang semakin mudah untuk mengumpati dan menyerapahi sesamanya.Padahal esensi kejawen, yaitu budi luhur amat sangat memadai jika diterapkan di dalam kehidupan : welas asih, asih asah asuh, sampai kepada tingkat spiritual tinggi : manunggaling Kawulo lan Gusti.Saya yakin sekali bahwa pencapaian tingkat spiritual di setiap agama negara asing akan sulit sekali untuk mencapai puncak spiritual kejawen.semakin ke sini saya membaca-baca manuskrip tentang kejawen, semakin terlihat usaha para penghayat untuk mencoba membakukan kejawen, mungkin hal ini mendapat pengaruh dari agama negeri asing yang telah membakukan ajaran dan dogma mereka : Veda, Tri Pitaka, Injil dan Al Quran.kejawen sangat luas sehingga sulit dibakukan, sehingga apa yg bisa dilakukan adalah mencatat kaidah-kaidah serta menuliskan sanepan-sanepan (yg juga satu sanepan / kiasan bisa memiliki banyak arti).dengan kejawen, kita bisa melihat (nyata) alam kematian bila kita rela bertekun, dan semua orang (normal sistem neurotikanya) bisa melakukannya, tanpa harus bersusah-susah.dengan kejawen kita bisa mengetahui ketidak-seimbangan kita.dengan kejawen kita bisa tahu siapa yang masuk surga dan siapa yang masuk neraka, tanpa pretensi : ah, si X pasti masuk surga, dia kan membela agama saya (meski si X membunuh banyak umat yg tidak seagama dengannya).dengan kejawen kita bisa mengakses segala informasi yg kita butuhkan di dalam hidup kita, meski kadang info yg kita butuhkan melampaui batas pengetahuan kita.sehingga otomatis kita menjadi sabar, tenang, menerima, welas asih; bukan karena kita menginginkan itu, tetapi dari rahsa yg terbentuk akan membuat karakter kita seperti itu - dan sifat yg terbentuk ini tidak dibuat-buat.sejalan dengan keteguhan dan ketekunan menjalankan kejawen, bukan tidak mungkin kita mendapat bonus (kadang berlebih) untuk bisa mengetahui alam paralel dan alam kematian tanpa dipengaruhi oleh sugesti dan halusinasi (yg tentunya sesuai dengan apa yg kita harapkan).Harapan yg tersugesti dapat menekan sub-ego kita, yg seperti hukum kapiler, akan mencari celah untuk penyalurannya. Sistem neurotik yg paling besar mendapat pengaruh dari letupan signal hipothalamus / otak kecil (yg ditekan dari lapis sub-ego) adalah sistem penglihatan. Jika mata memejam, jadilah gambaran seperti keinginan yg hendak kita lihat.kejawen dapat dijelaskan, tetapi ada masanya. Karena dibutuhkan pengetahuan (walau sedikit) tentang fisika, fisika kuantum, dan frekuensi-frekuensi yg halus.kejawen tidak memiliki nama untuk Tuhan, tetapi kejawen memiliki Tuhan. sebutan Gusti Pangeran, Allah, Hyang Agung, Hyang Widhi, semua dari bahasa asing : India dan semitik. kejawen menyebut Tuhan dengan menggunakan sapaan rahsa dan bukan nama, dan karena tiada sapaan manusia, Tuhan menjadi Sangat Agung.menjadi kejawen berarti menjadi magnet bagi kebaikan dan akan memancarkan kebaikan kembali ke sekelilingnya.tiada perang, tiada serapah-hujat, tiada benci (karena budaya benci diimpor dari budaya samawi : mata balas mata, nyawa balas nyawa).kejawen berarti menjadi waspada : sebelum kejadian buruk menimpa, baik dicari antisipasinya, karena di lubuk hati terdalam kita telah dikaruniai Sang Pencipta dengan piranti peringatan.
membaca sedikit tentang kejawen di atas, masihkah ada yg merendahkan kejawen ? atau untuk para penghayat, adakah perasaan minder yg mengganggap kejawen lebih rendah dibandingkan dengan agama negeri asing ?
seharusnya kita bangga akan kejawen !jowo, jawotho, jawan : MENERIMA dan SEMPURNA

kejawen itu sederhana, hanya dibutuhkan ketekunan, bukan kecerdasan.kejawen itu tidak berteori karena rahsa bersifat universal, masing-masing orang bisa melihat hal yg sama asal channel tv-nya juga sama.kejawen itu sederhana, tidak perlu menghapal, sehingga seseorang juga bisa melakukannya sambil bertani - tidak perlu memilih mulia mana : nggrogo suksmo atau bertani ?kejawen bukan sinkretisme. mengapa seperti sinkretisme karena kejawen membebaskan penghayat untuk menyerap segala hal dari luar : mantra(m), doa, wirid, dlsb.kejawen bukan animisme, karena kejawen mengadakan komunikasi nyata dua pihak antara manusia dengan makhluk gaib, bukan komunikasi satu arah dari sisi manusia saja. dan bagi kejawen, makhluk gaib bukanlah sesembahan melainkan teman kerja.sangat sulit memang membuat teori theosophical dari kejawen, karena dibalik kesederhanaannya kejawen itu sangatlah tak terbatas.
dan para leluhur purba mengusahakannya untuk kita.sementara para leluhur madya tidak menjaganya untuk kita.

uhm… yg sinkretisme kurang dapat ditangkap,begini, kejawen menyerap mantra(m), doa & wirid hanya pada tatanan frekuental. Kalau frekuensinya bagus, ya diambil, tanpa mengetahui dasar prosesi dan ritualnya. Sementara sinkretisme ada jika dogma dan ritual beberapa agama (lebih dari satu) disatukan, seperti pada aliran manikeisme di india, di mana ada Budha-nya dan Maria-nya (Kristen).bisa saja kejawen menyerap : heweh-heweh-heweh, tanpa arti, jika sesebutan itu memiliki frekuensi positif.Makanya wolak-walik honocoroko menjadi salah satu yg penting di dalam kejawen, bukan arti harfiahnya, melainkan pada frekuensi yg dihasilkan, baik ketika diucapkan maupun ketika ditulis / digambar menjadi simbol (bahasa kerennya : sigil / segel ghaib).
mengenai rahsa yg tidak dapat diakses oleh sembarang orang, itu pemikiran jaman dulu, dimana para sesepuh kejawen dianggap manusia spesial dan tidak semua orang dapat melakukannya.
mungkin para sesepuh menjaga ‘bagian penting’nya supaya tidak mudah terakses oleh pihak yg kurang tepat, maka dari itu penurunan ‘ilmu’ dilakukan dengan klenikan = berbisik, dan ditujukan kepada orang yg dianggap sanggup mempertanggung-jawabkan kemampuannya.
mengapa kemampuan rahsa menjadi rahasia (the secret) ?memiliki bonus di dalam kejawen, berarti juga memiliki tanggung-jawab besar. Mengapa ? karena bonus di dalam kejawen bersifat netral, bisa dipakai untuk kebaikan, bisa dipakai untuk kejahatan (semata menguntungkan keinginan daging).
Bila jatuh ke tangan yg salah, bisa saja dia (pria) akan mengguna-gunai perempuan dengan mudah, atau memperdaya orang untuk semata-mata dimanfaatkan.
Memaaaang, ada kadhang yg akan selalu menegur, tetapi bila suara kadhang sudah tidak terdengar namun yg bersangkutan tetap membandel, maka kadhang sejati akan mengganjar raga sejati (konslet deh). masih sukur ngganjarnya di alam donya, lha kalau mengganjarnya di alam kematian apa ndak repot ?
jadi alasan mengapa ilmu rahsa tidak dibuka byak semua ke para murid, masuk akal juga kan ? karena kejawen berarti juga memayu hayuning bhawono.


cerita dan retorika bab kejawen jika diteruskan akan menjadi sulit, karena, ya itu, terlalu dalam dan tinggi, panjang dan lebar.
Sepertinya (atau sebaiknya ?) lebih enak menjadi penghayat budi luhur untuk mengerti kejawen. Jika memungkinkan baik jika mendapatkan model penghayatan yg sederhana, yg tidak memerlukan ritus dan retorika di dalam menjalaninya.
Menurut pengalaman saya (yg sangat cekak ini), semakin kita terjerumus di dalam retorika dan pola pikir, maka semakin jauh kita dari rahsa. Seperti halnya fengshui, pethungan dan pola2 geomancy tradisi lainnya, yg selalu berpatokan dengan kua (angka), tradisi bentuk dan arah mata angin yg sering mengalami ketidak-cocokan di dalam pengetrapannya. Karena apa ? ya itu tadi : yg dilihat cuma sisi logis retoris (yg sering dilamurkan dengan kata2 : insya Allah dan ‘itu adalah karma’).
Coba kalau kita berangkat dari rahsa, dengan bertekun kita dapat melihat warna warni alur energi bioplasmik Ibu Bhummi dan mencari strategi bagaimana mengaksesnya untuk kesejahteraan & kedamaian kita.
apa hidup itu dan bagaimana hidup itu hanya bisa ditekuni dengan rahsa. Semakin sensitif rahsa, maka semakin bingung pula kita membakukan dan men-teorikan hidup itu seperti apa. Kita hanya bisa mengerti dan memahami, sangat sulit untuk menjadikannya teori.

mau ngewiwiti kejawen itu berarti kita berdamai dengan diri kita dan mengembalikan kondisi spiritual kita ketika kita baru mrucut lahir di dunia. karena Gusti Moho Suci sudah memberikan kita lengkap (jangkep) anugerah badani dan rohani. mungkin karena ini nenek moyang kita selalu mengingatkan kita dengan kata : kakang kawah adi ari2, dimana kita harus selalu kembali ke fitrah kita pada waktu lahir.
Caranya ? frekuensi spiritual kita di-stel balik (tunning). ada beberapa yg mengatakan ini proses penyelarasan : diselaraskan balik ke masa lahir.
berbeda dg proses pengisian, penyelarasan ini tidak memasukkan elemen frekuental asing ke dalam lingkup frekuensi pribadi kita.
sekali kita diselaraskan, maka hasil penyelarasan ini tidak bisa dihilangkan / dicabut oleh manusia siapapun dia dan sesakti apapun dia.karena yg diselaraskan ini bersifat Ilahiah (berkah Gusti pada waktu kita lahir).
repotnya, seperti pada penjelasan saya sebelumnya, hasil penyelarasan ini bersifat netral, artinya bisa dipakai utk kebaikan dan kejahatan.
ada konsekuensinya, baik utk kebaikan maupun kejahatan. kalau utk kebaikan, kadhang (teman rohani yg kembar dengan kita) akan selalu memberikan masukan dan kesempatan positip buat kita. kalau utk kejahatan, kadhang akan selalu mengingatkan kita. Kalo kita mbandel, maka suatu saat kadhang akan berhenti memberi info ke kita, dan malah berbalik mengganjar raga sejati kita. iya kalau cuma raga, lhah kalau ganjarannya sampai di alam kematian ? kita ndak ingin jiwa sejati kita ikut kena ganjar kan ? bisa repot nanti.
itu makanya kejawen tidak pernah dibukukan, dan tampaknya hanya sementara orang yang diberi ‘kekhususan’ memiliki kautamaan kejawen.
bukannya kejawen mau menyembunyikan kautamaannya, melainkan berusaha menjaga dunia damai sejahtera. bayangkan jika kautamaan kejawen dapat diakses oleh sembarang orang, bisa geger nanti donya. ada banyak orang bisa tertipu kartu kreditnya , dengan sukarela menyerahkan kartu beserta pinnya kepada orang yg tidak dikenal dengan alasan yg tidak masuk akal.
repot kan kalau keutamaan kejawen dibukukan ? itu sama saja membuka ilmu hipnotis (sejelas2nya) kepada khalayak. kalau kita lihat referensi ilmu hipnotis yg ada hanya bersifat wacana, inti lakunya tidak dibuka.
naaah… kalau betaljemur, lukmannakim, dsb itu memiliki beberapa sikap :1. sebagai pembakuan budi luhur / ajaran budi pekerti.2. sebagai pembakuan naga dina (sifat waktu) & naga bhummi yg tidak sembarang orang bisa mengaksesnya secara non-indrawi, hal ini seperti feng-shui aliran bentuk, angka / kua dan mata angin / geomancy, bukan aliran tao asli / black hat.3. sebagai pengalih, ilmu kesaktian yg dijabarkan kecil sekali kemungkinannya utk diakses. ayo, siapa yg pernah mutih seminggu plus ditutup petigeni sehari untuk mengakses suatu ilmu kesaktian di kitab yogamantra ? apakah berhasil ?dibutuhkan suatu ilmu kunci untuk membukak byak itu semua.mengapa demikian ? ya itu : kalau ndak dijabarkan, nanti dibilang pelit. kalau dijabarkan total, nanti digunakan yg tidak-tidak.makanya yg dibuka buat khalayak hanya secukupnya saja.
bila kita minta diselaraskan frekuensi kita, belum tentu seorang guru kautaman kejawen langsung berkenan. mengapa ? ini bukannya si guru itu pelit, tapi si guru akan mencoba berkomunikasi kepada kadhang yg bersangkutan : bagaimana kondisi jiwa sejatinya : sudah stabil belum, cluthak apa ndak, dsb dsb.
kalo ok yaa… bisa langsung. klo belum ok yaaa… di-observasi dulukadang ada yg dari luarnya baik dan sopan ternyata jeroannya penuh tedeng aling2. wah ini cilaka.
wawancara dengan kadhang tidak dilakukan melalui verbal belaka, melainkan wawancara bathin. ada jg lowh yg baru dateng tapi kadhangnya udah teriak2 : jangan dikasih ! jangan dikasih !
guru juga berfungsi utk memberikan kisi2 jika ada yg membutuhkan, namun yg bersangkutan belum diijinkan utk diselaraskan. kisi2 disini seperti wejangan untuk bekal hidup.
nah, kalau masalah nglakoni itu amat sangat mungkin dilakukan di antara kesibukan kita. karena apa ? sejatinya kejawen itu puasa tidak ditentukan oleh orang pintar atau guru, melainkan oleh kadhang sejati kita. malah sering kita dikongkon (disuruh) nglakoni bukan pada saat2 ‘wajib’ seperti : pilih waktu jejer 3 hari yg jumlah neptunya 40, jumat kliwon, anggoro kasih (slasa kliwon), dsb.
biasanya kadhang akan ‘mengukur’ kekuatan, kebutuhan dan manfaat kita nglakoni. suatu saat kadhang akan menyuruh kita puasa mutih, misalnya 3 hari, sementara kita di dalam kesibukan kerja, maka tak dinyana 3 hari kedepan kita tidak terlalu sibuk, sehingga kita sanggup melakukannya.
kadhang memilihkan waktu dan jenis nglakoni berdasarkan manfaat frekuensi yg akan kita akses.
jadi guru kautaman kejawen itu hanya memberi tuntunan awal dan bukan isinya. tuntunan awal seperti misalnya : penyelarasan, jalan2 ke alam lain kalau jiwa sejatinya masih belum pede kalau jalan sendiri, metode-metode yg dilakukan yg berkaitan dg kejawen, sumber info kalau kebingungan mendengar suara kadhang.
oh ya, kadhang ndak pernah salah ! kalau kita ragu, kita bisa minta diturunkan Cahaya Ilahi untuk menyaring benar-tidaknya info yg kita dengar. Cahaya Ilahi kita dapatkan juga pada saat penyelarasan. biasanya klo infonya ndak benar, langsung hilang kalau terkena Cahaya Ilahi. wah… jadi ngelantur ke technically…
kalau kadhang akan terus2an memberi info meski bertubi-tubi kita turunkan Cahaya Ilahi.

mengulang cerita waktu kautamaan kita sebagai manusia masih lengkap ketika lahir, ini berlanjut sampai ketika pola pikir kita mulai terbentuk (kata orang2 : masa golden age).naaaa… sifat yg spiritual itu terdesak oleh alam dan pola pikir logis material yg selalu ditanamkan oleh orang tua kita.
ada banyak anak balita yg berkomunikasi (atau seolah2 ?) dengan sesuatu yg tidak bisa kita lihat itu memberikan bukti bahwa berkah spiritual itu ada.
sejalan dengan berkembangnya pola pikir logis, kondisi sensorik otak kecil kita menjadi bertendensius. otak logis-kognitif kita yg jalan, sementara bagian yg menjadi tumpuan afeksi menjadi lamur, dan cuma dianggap ruang mimpi dan khayalan belaka.
penyelarasan frekuensi di dalam kejawen bermaksud mengakses sisi yg hilang ini, supaya para penghayatnya menjadi kumplit kembali.

nuwun

http://ngglosormadhepwetan.blogspot.co.id/2009/02/tulisan-di-bawah-saya-copy-dari-blog.html

Comments

Popular posts from this blog

Belajar dari Wirid Wirayat Jati Ronggowarsito

Banyak orang yang tidak tahu apa sih ilmu sejati itu? Banyak para salik yang mencari suluk untuk mendapatkan ilmu sejati yakni ilmu kasampurnan (kesempurnaan) hidup. Tidak ada salahnya jika kita belajar ilmu kasampurnaan hidup itu dari Raden Ngabehi Ronggowarsito dari Serat Wirid Wirayat Jati yang ditulisnya. Bagaimana ilmu kasampurnan itu? Anênggih punika pituduh ingkang sanyata, anggêlarakên dunung lan pangkating kawruh kasampurnan, winiwih saking pamêjangipun para wicaksana ing Nungsa Jawi, karsa ambuka pitêdah kasajatining kawruh kasampurnan, tutuladhan saking Kitab Tasawuf, panggêlaring wêjangan wau thukul saking kawêningan raosing panggalih, inggih cipta sasmitaning Pangeran, rinilan ambuka wêdharing pangandikaning Pangeran dhatêng Nabi. Musa, Kalamolah, ingkang suraosipun makatên: Ing sabênêr-bênêre manungsa iku kanyatahaning Pangeran, lan Pangeran iku mung sawiji. (Inilah sebuah petunjuk benar yang menjelaskan ilmu sirr kesempurnaan hidup, yang berakar dari

PRIMBON JAWA LENGKAP

Sistim Penanggalan Jawa Sistim Penanggalan Jawa lebih lengkap dan komprehensif apabila dibandingkan dengan sistim penanggalan lainnya, lengkap dan komprehensifnya adalah suatu pembuktian bahwa ketelitian Jawa dalam mengamati kondisi dan pengaruh seluruh alam semesta terhadap planet bumi seisinya termasuk pengaruh kepada pranatan kehidupan manusia, dapat disampaikan antara lain adanya rumusan tata penanggalan jawa sebagai berikut : 1. Pancawara – Pasaran; Perhitungan hari dengan siklus 5 harian : 1. Kliwon/ Kasih 2. Legi / Manis 3. Pahing / Jenar 4. Pon / Palguna 5. Wage / Kresna/ Langking 2. Sadwara – Paringkelan, Perhitungan hari dengan siklus 6 harian 1. Tungle / Daun 2. Aryang / Manusia 3. Wurukung/ Hewan 4. Paningron / Mina/Ikan 5. Uwas / Peksi/Burung 6. Mawulu / Taru/Benih. 3. Saptawara – Padinan, Perhitungan hari dengan siklus 7 harian : 1. Minggu / Radite 2. Senen / Soma 3. Selasa / Anggara 4. Rebo / Budha 5. Kemis / Respati 6. Jemuwah / Sukra 7. Setu / Tumpak/Sa

Agama asli jawa Indonesia

HONG WILAHENG NGIGENO MESTUTI, LUPUTO SARIK LAWAN SANDI, LUPUTO DENDANING TAWANG TOWANG, DJAGAD DEWO BATORO HJANG DJAGAD PRAMUDITO BUWONO LANGGENG AGOMO BUDDODJAWI-WISNU hing TANAH DJOWO ( INDONESIA ) ---oooOooo--- Lambang Cokro Umbul - Umbul Klaras            Wiwitipun ngadeg Agami Buddodjawi-Wisnu wonten ing Suroboyo, nudju dinten Tumpak cemengan (Saptu Wage), tanggal kaping 11 Palguno 1856. (Djumadilawal) utawi tanggal 25 November 1925 mongso kanem, windu sengsoro, Tinengeran condro sangkolo. Ojaging Pandowo Angesti Buddo 1856. Utawi tahun Ismoyo 8756.            Tujuan Agami Buddodjawi-Wisnu anenangi soho angemuti dumateng Agami soho Kabudayan kita ing Indonesia ingkang asli soho murni, kados dene wontenipun negari Modjopait sapanginggil sederengipun wonten Agami penjajahan. Agami Buddodjawi-wisnu puniko mengku punjering Kabudayan Nasional ingkang asli soho murni ing Indonesia. Dene Punjering Kabudayan wau ingkan ngawontenaken adat t