Skip to main content

PERNYATAAN SIKAP INDONESIAN CONFERENCE ON RELIGION AND PEACE (ICRP) ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANGAN PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA


Bahwa ada sekian catatan krusial atas rencana inisiasi KEMENAG untuk mengajukan RUU Perlindunggan Umat Beragama (RUU PUB).Bila masalah-masalah krusial tersebut tidak selesai, ICRP menolak hadirnya RUU yang bersifat gincu dan basa-basi semata.
1. Pertama, ICRP sedang menunggu Naskah Akademis (NA) dan Drafting RUU PUB yang sedang diinisiasi oleh KEMENAG.Kami tentu berharap di dalamnya ada paparan yang menyeluruh, konstitusional, yuridis, filosofis, teologis, sosiologis, antropologis, dan sosial-ekonomi-politik berbagai konflik keagamaan yang terjadi di bumi yang ditakdirkan Bhinneka Tungga Ika ini. Tetapi, sikap dan aksi-aksi intoleransi dan kekerasan atas nama agama terus meningkat dan terlihat berlangsung dan dibiarkan. Bangsa ini dirajut berdasar tenunan kebangsaan yang indah. Ada banyak bahasa, suku, tradisi, budaya dan agama.
2. Kedua, hemat kami, persoalan mendasar relasi keagamaan di Indonesia terletak pada tidak adilnya perlakuan pemerintah. Bahkan, jelas sekali pada ketidakberanian pemerintah untuk menegakkan konstitusi dan menjamin implementasi hukum (Law Enforcement). Selama era SBY, kami melihat pemerintah takut dan tidak bernyali terhadap ormas–ormas pelaku intoleransi dan aksi-aksi kriminal mengatasnamakan agama. Pemerintah selalu melakukan kalkulasi resiko politik. Bukan berpikir pada tanggung jawab penegakan konstitusi.
3. Ketiga, pemerintah sengaja berlaku diskriminatif terhadap hak-hak minoritas, bahkan saat mereka sebagai korban. Kaum minoritas terintimidasi dan diperlakukan sewenang-wenang. Jadi persoalannya bukan relasi antar-agama. Tetapi adanya aksi dan tindakan diskriminatif, sewenang-wenang dan tidak adil. Saat itu kami mengajukan terminologi-terminologi sebagai berikut: RUU Kebebasan atau Kemerdekaan Umat Beragama dan Berkepercayaan (RUU KUBB) sebagai ganti dari RUU KUB. Bahkan, muncul juga nama RUU Anti Diskriminasi Agama-Agama dan Kepercayaan. Untuk itu, rencana pengajuan RUU Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) yang disedang digulirkan inipun bila tidak jelas, tidak visioner dan tidak antipatif terhadap masalah-masalah, kita harus membicarakannya berulang-ulang dan harus matang dan mendalam. Bila tidak, kami akan menolaknya.
4. Keempat, ICRP ingat, dalam RUU Kerukunan Umat Beragama jaman itu, dalam Naskah Akademisnya sudah dibicarakan berbagai instrument-instrumen HAM, baik secara konstitusi, falsafah bangsa, peraturan dan kovenan-kovenan internasional yang telah diratifikasi. Tapi nyata-nyata semangat dan upaya implementasinya dalam pasal-pasal RUU tidak nampak. Kami melihat pada RUU KUB yang lalu, memang secara konstitusi berpondamen UUD 1945 dikutip pasal-pasal dari UUD 45. Misalnya, Pasal 28E dan Pasal 29 Ayat 2, dan selanjutnya kovenan-kovenan internasional:International Covenant
on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang sudah menjadi instrumen yang legal melalui UU No.11 dan 12 tahun 2005. Tetapi, yang terasa, hal itu tidak lebih sekedar pemanis dan gincu semata. Bila sekedar diratifikasi tanpa implementasi, apa guna dan manfaatnya. Kami mendesak harus ada proses reformasi dan sinkronisasi hukum secara serius dan total. Semua UU dan peraturan dibawahnya, mesti direvisi agar searah dengan nafas kovenan-kovenan di atas. Lebih jauh, kami menilai sampai saat ini, upaya sosialisasi pemerintah atau KOMNAS HAM untuk mendiseminasi dan penumbuhan kesadaran dan implementasi nilai-nilai HAM terhadap masyarakat masih sangat rendah.
5. Kelima, yaitu hal kegagalan civil society dalam kaji ulang (judicial review) atas UU.No.1/PNPS/1965 di Mahkamah Konstitusi (MK). Kandasnya ikhtiar hukum ini merupakan sinyal buruk abadi bagi sehat dan harmonisnya relasi-relasi antar agama dan kepercayaan. Hal teranyar adalah kaji ulang atas UU No.1 Perkawinan tahun 1974. Pada sidang pertama di MK, pada tanggal 4 dan juga sidang kedua pada 14 Oktober berlalu, nyata-nyata pemerintah (KEMENKUMHAM dan KEMENAG) menolak argumentasi pemohon dan meminta MK menolak permohonan kami. Apalagi ormas-ormas model FPI, MUI dan Muhammadiyah. Tak kalah pentingnya untuk kita tahu posisi 2 SKB 3 Menteri tentang Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Peraturan tentang Pendirian Rumah Ibadah. Nah, bagaimana posisi dan korelasi RUU Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) dengan kedua sumber hukum di atas? Mengapa pemohon dan pihak terkait melakukan uji ulang UU No.1 (Pernikahan) tahun 1974? Harus disadari, pasangan nikah beda agama itu adalah warga negara yang harus dilindungi hak-hak dan kewajibannya. Bila mereka menikah, pemerintah sejatinya harus mencatat dan mengakui legalitas hukum pernikahan beda agama ini. Mereka harus memperoleh akta nikah. Dan itu jelas bagian dari pelayananan dan perlindungan umat beragama. Bila kedua sumber hukum di atas belum ada perubahan, sudah jelas merupakan hal buruk, tidak adilnya hukum dan bencana dalam hal pelayananan umat beragama. Masih ada diskriminasi dan ketidakadilan. Bahkan bila mau sungguh-sungguh sadar, kedua UU di atas merupakan akar konflik, kekerasan dan aksi-aksi kriminal dan pelanggaran prinsip keadilan dan kemanusian universal. Sangat terasa sekali, justru pemerintah melakukan pemanjaan dan memberikan legitimasi kepada sekelompok dan gerombolan minoritas anarkhis melakukan kekerasan dan kekejaman terhadap kaum minoritas. Karena itu nantinya menjadi aneh bila kedua UU dan SKB 3 Menteri termaksud masih bercokol dalam tatanan hukum nasional dan RUU PUB masih menjadikannya sebagai landasan yuridis dan masuk dalam naskah akademisnya.
6. Ketujuh, ICRP ingin menegaskan, nanti dalam Naskah Akademis RUU PUB harus mengelaborasi fakta-fakta sosilogis, antropologis dan teologis adanya ragam agama dan kepercayaan di Indonesia. Yang paling krusial dalam hal ini adalah definisi atau makna agama. Bagaimana entitas keyakinan itu dalam konsep RUU di atas nantinya dijelaskan?Harus dihindari dalam draft RUU ini definisi agama yang hanya mengarah kepada agama-agama besar semata. Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Harus diayomi fakta adanya berbagai macam aliran kepercayaan yang ada di Indonesia seperti Sunda Wiwitan (Kanekes, Banten), Agama Djawa Sunda (kungingan,
Jabar), Buhun (Jabar), Kejawen (Jateng dan Jatim), Parmalim (Sumut), Kaharingan (Kalimantan), Tonaas Walian (Minahasa Sulut), Wetu Telu (Lombok), Marapu (Sumba) Budi Luhur, Purwoduksino, Naurus (Pulau Seram, Maluku), Pahkampetan, Bolim, Basora, Samawi dsb. Bila gagal mengadopsi dan memposisikan berbagai macam aliran kepercayaan ini, akan menjadi tangga dan celah lebar perlakukan diskriminatif dan rasis dalam masyarakat. Kita kuatir bila itu terjadi, RUU ini tetap merupakan masalah bagi nasib kaum minoritas. Inilah agama-agama asli bumi Nusantara sebelum kehadiran agama-agama besar dari Asia.
7. Kedelapan, dalam hal pemenuhan hak-hak sipil warga negara dan sejalan dengan bunyi pasal 27 pada UU No. 12/2005 tentang hak-hak minoritas yang harus dilindungi, maka RUU PUB nantinya harus merefleksikan komitmen pemerintah dalam melindungi semua minoritas yang eksis di negeri ini dengan memberikan pengakuan (recognition), keterwakilan (representation), dan kesejahteraan (refistribution). Sebab, bila terjadi ketidakjelasan pembahasan tentang posisi kaum minoritas dalam RUU KUB, itu akan berdampak pada ketidakjelasan peran FKUB yang banyak didominasi oleh perwakilan agama-agama yang diakui oleh Negara, terutama dominasi Muslim. Di lembaga yang dibentuk dan didanai operasional dan gaji anggotanya dari pajak ini, miskin representasi agama lokal dan aliran kepercayaan. Kaum minoritas tidak terwakili dalam FKUB. Bagaimana suara, perspektif dan pembelaan hak-hak mereka muncul dalam kebijakan yang dirumuskan? ICRP menguatirkan RUU PUB juga belum tuntas membahas hal ini. Hal paling krusial dan genting untuk dibahas secara mendalam dalam RUU PUB ini adalah persoalan perseorang/lembaga/ormas sosial-keagamaan yang sering membuat ulah dan melakukan aksi-aksi perusak keharmonisan kehidupan dan relasi antar agama. Bukan rahasia lagi bila publik akan menunjuk hidung FPI, FUI dan MUI atau ormas-ormas lain manapun. Agitasi dan provokasi sengaja atau tidak sengaja rajin muncul dari lembaga-lembaga di atas. Karena itu, kami berani menuduh pemerintah berkhianat kepada rakyat dan konstitusi. Sudah selayaknya masyarakat dan sipil society melakukan class action. Harus dibicarakan dalam bagaimana bila negara mengabaikan dan memelihara keabadian intoleransi dan membiarkan kekerasan atas nama agama itu terjadi. Maka, bila itu terus terjadi sebagaimana pada 10 tahun rezim SBY, kami bernyali untuk mengatakan: bahwa pelanggaran dan pengabaian itu secara nyata dilakukan oleh negara (by comission). Jadi negaralah/pemerintah lah pelaku kekerasan dan pelanggaran terhadap nilai-nilai HAM itu.
8. Kedelapan, hal yang penting untuk muncul dan dijadikan mainstreaming program dalam Naskah Akademis RUU PUB itu adalah pentingnya kita beragama yang sehat, penuh toleransi terhadap perbedaan dan sikap rational dan tidak diskriminatif terhadap agama-agama dan kepercayaan apapun. Harus muncul dalam Draft RUU PUB ini bagaimana seharusnya pemerintah mendewasakan cara pandangan rakyat atau warga Negara terhadap agama-agama di bumi Indonesia.
Terakhir, dalam pemahaman ICRP, esensi dan substansi sebuah UU ataupun peraturan-peraturan adalah kebaikan/keamanan/keadilan/kesehatan public. Sebuah UU atau pun peraturan diproduksi untuk mengantisipasi berbagai masalah dan diproyeksi untuk masa yang panjang. Nah, kami berharap besar RUU PUB ini benar-benar berikhtiar untuk menyelesaikan masalah dalam relasi lintas agama yang terus membesar angka dan menguatirkan kesatuan bangsa. Padahal kita semua membutuhkan kualitas beragama yang sehat, damai dan harmonis serta benar-benar mendudukkan semua warga Negara secara terhormat dan adil di depan hukum. Law enforcement benar-benar ditegakkan dan dilaksanakan. Itulah modal utama dan mendasar kerukunan umat beragama.
===================

http://icrp-online.org/wp-content/uploads/2014/11/Pernyataan-Sikap-ICRP-terkait-RUU-PUB.pdf

Comments

Popular posts from this blog

Belajar dari Wirid Wirayat Jati Ronggowarsito

Banyak orang yang tidak tahu apa sih ilmu sejati itu? Banyak para salik yang mencari suluk untuk mendapatkan ilmu sejati yakni ilmu kasampurnan (kesempurnaan) hidup. Tidak ada salahnya jika kita belajar ilmu kasampurnaan hidup itu dari Raden Ngabehi Ronggowarsito dari Serat Wirid Wirayat Jati yang ditulisnya. Bagaimana ilmu kasampurnan itu? Anênggih punika pituduh ingkang sanyata, anggêlarakên dunung lan pangkating kawruh kasampurnan, winiwih saking pamêjangipun para wicaksana ing Nungsa Jawi, karsa ambuka pitêdah kasajatining kawruh kasampurnan, tutuladhan saking Kitab Tasawuf, panggêlaring wêjangan wau thukul saking kawêningan raosing panggalih, inggih cipta sasmitaning Pangeran, rinilan ambuka wêdharing pangandikaning Pangeran dhatêng Nabi. Musa, Kalamolah, ingkang suraosipun makatên: Ing sabênêr-bênêre manungsa iku kanyatahaning Pangeran, lan Pangeran iku mung sawiji. (Inilah sebuah petunjuk benar yang menjelaskan ilmu sirr kesempurnaan hidup, yang berakar dari

PRIMBON JAWA LENGKAP

Sistim Penanggalan Jawa Sistim Penanggalan Jawa lebih lengkap dan komprehensif apabila dibandingkan dengan sistim penanggalan lainnya, lengkap dan komprehensifnya adalah suatu pembuktian bahwa ketelitian Jawa dalam mengamati kondisi dan pengaruh seluruh alam semesta terhadap planet bumi seisinya termasuk pengaruh kepada pranatan kehidupan manusia, dapat disampaikan antara lain adanya rumusan tata penanggalan jawa sebagai berikut : 1. Pancawara – Pasaran; Perhitungan hari dengan siklus 5 harian : 1. Kliwon/ Kasih 2. Legi / Manis 3. Pahing / Jenar 4. Pon / Palguna 5. Wage / Kresna/ Langking 2. Sadwara – Paringkelan, Perhitungan hari dengan siklus 6 harian 1. Tungle / Daun 2. Aryang / Manusia 3. Wurukung/ Hewan 4. Paningron / Mina/Ikan 5. Uwas / Peksi/Burung 6. Mawulu / Taru/Benih. 3. Saptawara – Padinan, Perhitungan hari dengan siklus 7 harian : 1. Minggu / Radite 2. Senen / Soma 3. Selasa / Anggara 4. Rebo / Budha 5. Kemis / Respati 6. Jemuwah / Sukra 7. Setu / Tumpak/Sa

Agama asli jawa Indonesia

HONG WILAHENG NGIGENO MESTUTI, LUPUTO SARIK LAWAN SANDI, LUPUTO DENDANING TAWANG TOWANG, DJAGAD DEWO BATORO HJANG DJAGAD PRAMUDITO BUWONO LANGGENG AGOMO BUDDODJAWI-WISNU hing TANAH DJOWO ( INDONESIA ) ---oooOooo--- Lambang Cokro Umbul - Umbul Klaras            Wiwitipun ngadeg Agami Buddodjawi-Wisnu wonten ing Suroboyo, nudju dinten Tumpak cemengan (Saptu Wage), tanggal kaping 11 Palguno 1856. (Djumadilawal) utawi tanggal 25 November 1925 mongso kanem, windu sengsoro, Tinengeran condro sangkolo. Ojaging Pandowo Angesti Buddo 1856. Utawi tahun Ismoyo 8756.            Tujuan Agami Buddodjawi-Wisnu anenangi soho angemuti dumateng Agami soho Kabudayan kita ing Indonesia ingkang asli soho murni, kados dene wontenipun negari Modjopait sapanginggil sederengipun wonten Agami penjajahan. Agami Buddodjawi-wisnu puniko mengku punjering Kabudayan Nasional ingkang asli soho murni ing Indonesia. Dene Punjering Kabudayan wau ingkan ngawontenaken adat t