Skip to main content

Ruwat Buang Sengkolo

Dari Ruwat Buang Sengkolo POSMO – METEOR & Paguyuban Tri Tunggal, di Jogjakarta

Ruwat Buang Sengkolo, Ruwat Mohon Pengampunan

Hong ilaheng, Sang Hyang Kalamercu Katup, Sun umadep, Sun Umarep, Nir Hyang Kalamercu Katup, Nir Hyang Kala Mercu Katup, Nir Hyang Kala Mercu Katup. Demikian mantram pembuka Ruwat Buang Sengkolo yang digelar POSMO – Harian METEOR dan Paguyuban Tri Tunggal di Pantai Topeng Mas, Parangkusomo, Jogjakarta Malam Jumat Legi, 30 September 2004 lalu.

Mantram pembuka yang dilantunkan Ki Dalang Suseno Aji itu pun bersambut dengan mantram Kala Cakra. Yamaraja-Jaramaya , siapa yang menyerang berbalik menjadi Belas kasihan. Yamarani-Niramaya , siapa datang bermaksud buruk akan menjauhi. Yasilapa-Palasiya , siapa membuat lapar akan memberi makan. Yamiroda-Daromiya, siapa memaksa, malah memberi keleluasaan atau kebebasan. Yamidosa-Sadomiya, siapa membuat dosa malah membuat jasa. Yadayuda-Dayudaya , siapa memerangi membalik menjadi damai. Yaciyaca-Cayasiya, siapa membuat celaka membalik menjadi membuat sehat dan Sejahtera. Yasihama-Mahasiya, siapa membuat rusak membalik menjadi membangun dan sayang.

Dua mantram itu dilantunkan menandai acara puncak ruwat sudah dimulai. Suara dan irama Ki Dalang makin mistis membelah Malam Jumat legi di tepi Pantai Laut Selatan di kawasan Pantai Topeng Mas, Parangkusumo, yang hingga detik ini masih dipercaya menyimpan kekeramatan yang luar biasa.

Mantram ruwat, wangi dupa cendana yang terbakar dan aroma minyak Jarafon berbaur menyatu membubung ke langit. Menciptakan getar gaib yang membuat kawasan laut keramat itu hening seketika. Ombak yang biasa ganas serta angin kencang yang tak terkendali juga terasa henti seketika. Ratusan peserta ruwat yang dibentengi/dikelilingi para punggawa ruwat dengan memegang tombak pusaka diliputi kesakralan yang luar biasa. Perbawanya sungguh bukan main. Seluruh pusat gaib seperti bangkit. Kemudian hanyut menjadi satu bagian dengan kisah Batara Kresna yang malih rupa menjadi Dalang Kandabuwana, meruwat angkara murka/sengkala Batara Kala. Si angkara murka itu harus diruwat agar sadar dan mengerti tentang kawruh sejatining urip atau ilmu tentang hakikat hidup serta memahami tentang purwaning dumadi atau asal mula kehidupan.

Ruwat Agung Buang Sengkolo malam Jumat Legi itu dipimpin langsung Satguru Paguyuban Tri Tunggal Dr Sapto Raharjo SIP dengan dipunggawai seluruh cantrik Paguyuban Tri Tunggal.

Meski diakui persiapan kelangsungan acara ruwat agak kedodoran lantaran terbentur waktu, namun animo masyarakat tak bisa dielakkan. Ratusan peserta ruwat berdatangan dari seluruh penjuru kota. Dari Bandung, Tanggerang, Jakarta, Sulawesi dan sebagainya. Belum lagi minta diruwat dengan metode jaraj jauh seperti peserta asal Malaysia, Singapura, bahkan dari Australia. Kendati mereka tidak bisa hadir langsung di tempat acara ruwatan, toh maknanya tiada beda.

“Kendati tidak bisa hadir langsung di Parangkusumo hal itu bukan menjadi masalah besar. Karena, pada dasarnya ruwat juga bisa dilangsungkan jarak jauh. Kesulitan ruang dan waktu itu bisa tergantikan dengan foto-foto, potongan rambut atau kuku atau prasyarat lain yang dikirimkan ke Paguyuban Tri Tunggal,” ungkap Satguru Dr Sapto Raharjo kepada POSMO usai ruwatan berlangsung.

Kesakralan Ruwat Buang Sengkolo makin memuncak ketika Ki Dalang Suseno Aji dari Semin, Gunungkidul, itu meruwat badan kasar dan sukma Batara Kala. Raksasa itu diselunbungi kain mori putih. Saat itulah puncak dimensi ruwat yang sesungguhnya dimulai.

Beriring dengan lantunan mantra dan doa, segala sifat angkara murka Batara Kala mengelupas, lalu sirna. Dipuncak keheningan itu, ratusan peserta ruwat berbaring di atas pasir laut, dari kepala hingga ujung kaki segera diselubungi mori atau kain jarik. Saat berikutnya, berbaur dengan mantra mengalun, Satguru Sapto Raharjo menutup tubuh-tubuh para sukerto menyatu sedang menyatu dengan bumi. Seiring dengan lantunan mantra padusaning kala, para “punggawa” ruwat segera menyiramkan “air kehidupan” dari dalam kendi. Ruwat baru berakhir setelah Kidung Megatruh dan Panjang Ilang mengalun. Saat itulah penutup mori dibuka sembari diwejangan untuk menjalankan lima perkara; tulus ikhlas, rela pasrah, narimo sak madyo, temen kang jati dan budi luhur. Sebelum berakhir, para sukerto melarung seluruh atribut yang dikenakan selama prosesi ruwat berlangsung. Hal itu bisa diartikan melarung segala karma kala yang mendera setiap insan ruwat.

Ruwat Mohon Ampun

Usai ruwat Mas Sapto menyatakan, Ruwat Buang Sengkolo Jumat Legi itu tidak hanya sebuah ruwat simbolis. Namun diambil sesuai pakem filosofi ruwat Murwakala yang dilakukan Betara Krisna sang titisan Dewa Wisnu. Ruwat Murwakala itu terjadi setelah Betara Kala lahir di dunia.

“Angkara murka Betara Kala itu sesungguhnya adalah keegoaan hawa nafsu manusia, yang terikat di panca indera atau yang terdapat dalam sembilan lubang hawa nafsu manusia. Sembilan lubang itu adalah, dua lubang mata, dua lubang hidung, dua lubang telinga, lubang mulut, lubang kemaluan/birahi, dan lubang dubur. Sifat-sifat itu hanya bisa musnah setelah diselimuti mori putih dan diruwat,” kata Sapto.

Dikatakan, Batara Kala diruwat itu bertujuan untuk memberi pengetahuan kepada peserta ruwat tentang hakikat hidup serta memahami asal mula kehidupan. Sedangkan esensi yang lebih penting adalah agar peserta ruwat memahami apa yang menjadi penyebab sial apesnya atau sengkolonya masing-masing. Di dalam realitas kehidupan, lubang-lubang hawa nafsu itu – jika manusia tidak mampu menguasai dan mengendalikannya – maka terjadilah karmasalah atau hukum sebab akibat. Yaitu manusia akan sial dan apes berketerusan.

“Nah, ruwat buang sengkolo itu esensinya adalah hawa nafsu manusia yang dimohonkan ampun dan dibersihkan dari noda, serta disenyawakan ke dalam alam makro dan mikronya. Pada dimensi itu, beberapa golongan orang yang perlu diruwat di antaranya; Orang-orang sukerto yang meliputi anak ontang, anting , uger uger lawang , kembang sepasang, gedhana gedhini, pendhawa, pendhawa ngayomi, pendhawa madangake, Bathang angucap dst; Ruwat penyembuhan bagi orang sakit; Ruwat wibawa; Ruwat dagang/bisnis; Ruwat pengapesan; Ruwat pagar gaib/keselamatan; dll.” (widi antoro/meteor)

Comments

Popular posts from this blog

Belajar dari Wirid Wirayat Jati Ronggowarsito

Banyak orang yang tidak tahu apa sih ilmu sejati itu? Banyak para salik yang mencari suluk untuk mendapatkan ilmu sejati yakni ilmu kasampurnan (kesempurnaan) hidup. Tidak ada salahnya jika kita belajar ilmu kasampurnaan hidup itu dari Raden Ngabehi Ronggowarsito dari Serat Wirid Wirayat Jati yang ditulisnya. Bagaimana ilmu kasampurnan itu? Anênggih punika pituduh ingkang sanyata, anggêlarakên dunung lan pangkating kawruh kasampurnan, winiwih saking pamêjangipun para wicaksana ing Nungsa Jawi, karsa ambuka pitêdah kasajatining kawruh kasampurnan, tutuladhan saking Kitab Tasawuf, panggêlaring wêjangan wau thukul saking kawêningan raosing panggalih, inggih cipta sasmitaning Pangeran, rinilan ambuka wêdharing pangandikaning Pangeran dhatêng Nabi. Musa, Kalamolah, ingkang suraosipun makatên: Ing sabênêr-bênêre manungsa iku kanyatahaning Pangeran, lan Pangeran iku mung sawiji. (Inilah sebuah petunjuk benar yang menjelaskan ilmu sirr kesempurnaan hidup, yang berakar dari

PRIMBON JAWA LENGKAP

Sistim Penanggalan Jawa Sistim Penanggalan Jawa lebih lengkap dan komprehensif apabila dibandingkan dengan sistim penanggalan lainnya, lengkap dan komprehensifnya adalah suatu pembuktian bahwa ketelitian Jawa dalam mengamati kondisi dan pengaruh seluruh alam semesta terhadap planet bumi seisinya termasuk pengaruh kepada pranatan kehidupan manusia, dapat disampaikan antara lain adanya rumusan tata penanggalan jawa sebagai berikut : 1. Pancawara – Pasaran; Perhitungan hari dengan siklus 5 harian : 1. Kliwon/ Kasih 2. Legi / Manis 3. Pahing / Jenar 4. Pon / Palguna 5. Wage / Kresna/ Langking 2. Sadwara – Paringkelan, Perhitungan hari dengan siklus 6 harian 1. Tungle / Daun 2. Aryang / Manusia 3. Wurukung/ Hewan 4. Paningron / Mina/Ikan 5. Uwas / Peksi/Burung 6. Mawulu / Taru/Benih. 3. Saptawara – Padinan, Perhitungan hari dengan siklus 7 harian : 1. Minggu / Radite 2. Senen / Soma 3. Selasa / Anggara 4. Rebo / Budha 5. Kemis / Respati 6. Jemuwah / Sukra 7. Setu / Tumpak/Sa

Agama asli jawa Indonesia

HONG WILAHENG NGIGENO MESTUTI, LUPUTO SARIK LAWAN SANDI, LUPUTO DENDANING TAWANG TOWANG, DJAGAD DEWO BATORO HJANG DJAGAD PRAMUDITO BUWONO LANGGENG AGOMO BUDDODJAWI-WISNU hing TANAH DJOWO ( INDONESIA ) ---oooOooo--- Lambang Cokro Umbul - Umbul Klaras            Wiwitipun ngadeg Agami Buddodjawi-Wisnu wonten ing Suroboyo, nudju dinten Tumpak cemengan (Saptu Wage), tanggal kaping 11 Palguno 1856. (Djumadilawal) utawi tanggal 25 November 1925 mongso kanem, windu sengsoro, Tinengeran condro sangkolo. Ojaging Pandowo Angesti Buddo 1856. Utawi tahun Ismoyo 8756.            Tujuan Agami Buddodjawi-Wisnu anenangi soho angemuti dumateng Agami soho Kabudayan kita ing Indonesia ingkang asli soho murni, kados dene wontenipun negari Modjopait sapanginggil sederengipun wonten Agami penjajahan. Agami Buddodjawi-wisnu puniko mengku punjering Kabudayan Nasional ingkang asli soho murni ing Indonesia. Dene Punjering Kabudayan wau ingkan ngawontenaken adat t