Skip to main content

Islam Kejawen: Beda Kulit Sama Isi

Berita - 09/03/2006 08:36
Islam Kejawen: Beda Kulit Sama Isi
Muhtadin (sebelah kiri) dan Ali Sobirin (sebelah kanan) di ruangan studio 103,4 FM D' Radio pada acara Talkshow Perspektif Progresif Jakarta – JIE. “Islam dan Kejawen hampir tidak ada bedanya”. Demikian ungkap Ali Sobirin, peneliti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta, dalam acara Talkshow Perspektif Progresif, Rabu malam (08/03). Diskusi buku yang diadakan atas kerjasama P3M dengan 103.4 D. Radio FM ini berjalan penuh gelak tawa dan guyonan-guyonan Jawa. Diskusi yang dipandu Muhtadin AR. ini membedah buku berjudul Islam Kejawen karya M. Hariwijaya, Dosen pada Institut Budaya Jawa Yogyakarta.
Kejawen adalah sebuah keyakinan yang dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Sekarang ini, banyak sekali ajaran-ajaran kejawen yang bersinggungan dengan ajaran Islam, di mana kita hampir tidak bisa membedakan antara keduanya.
Menurut kamus bahasa Inggris, istilah Kejawen adalah Javanism, Javaneseness; yang merupakan suatu cap deskriptif bagi unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dianggap sebagai hakikat Jawa dan yang mendefinisikannya sebagai suatu kategori khas. Javanisme yaitu agama besarta pandangan hidup orang Jawa yang menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap nrima terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat dibawah semesta alam.
Orang Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan karena sebelumnya semuanya terjadi di dunia ini. Pusat yang dimakusd di sini dalam pengertian ini adalah yang dapat memeberikan penghidupan, keseimbangan, dan kestabilan, yang dapat juga memberi kehidupan dan penghubung dengan dunia atas. Pandangan orang Jawa yang demikian biasa disebut Kawula lan Gusti, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir itulah manusia menyerahkan diri secara total selaku hamba terhadap sang pencipta.
Di antara falsafah kehidupan kejawen adalah kawruh bejo yaitu menggapai kesempurnaan dan kebahagiaan sejati. “seseorang bisa mencapai kawruh bejo harus melalui beberapa tahap yaitu Mulat saliro artinya mawas diri, tahu jati diri pribadi, Tepo saliro yaitu berempati pada nasib orang lain, Nanding pribadi yaitu membandingkan dengan orang lain agar bisa berlomba lebih unggul, Ngukur pribadi yaitu mengukur orang lain dengan pertamanya mengukur diri sendiri, dan Mawas diri yaitu memahami keadaan diri sejujur-jujurnya“. Papar Ali Sobirin.
Lanjutnya, bahwa falsafah Jawa juga berbicara tentang sikap-sikap kepemimpinan yang wajib dijadikan pegangan para pemimpin sehingga bisa menjadi pemimpin yang baik. Falsafah ini terangkum dalam konsep falsafah asta brata yaitu delapan ajaran utama tentang kepemimpinan Jawa yang merupakan petunjuk Sri Rama kepada adiknya, yang akan dinobatkan menjadi raja ayodya. Asta Brata disimbolkan dengan sifat-sifat mulia dari alam semesta yang patut dijadikan pedoman bagi setiap pemimpin.
Lebih jauh, Ali Sobirin menjelaskan “delapan ajaran tersebut adalah Laku hambeging Indro (hujan) yaitu mengusahakan kemakmuran rakyat dan setiap tindakan membawa kesejukan, Yomo (Dewa Yama) yaitu berani menegakkan keadilan menurut hukum yang berlaku, Mendung yaitu menyatukan segala sesuatu agar berguna, adil, memberikan ganjaran berupa hujan dan hukuman dengan petir dan kilat. Suryo (Matahari) yaitu memberikan semangat dan menjadi sumber energi, sabar, tajam, dan terarah dalam bekerja, Chondro (Bulan) yaitu mampu menerangi rakyat yang bodoh dan miskin dengan menampilkan wajah yang sejuk, Maruto (angin) yaitu selalu berada di tengah-tengah rakyat dan memberikan kesegaran. Bumi yaitu mampu menjadi teladan dan landasan berpijak untuk kesejahteraan rakyat, Baruno (Air, Samudra) yaitu berwawasan luas, arif, dan mengatasi masalah dengan bijaksana dan pemaaf laksana air, serta Agni (Api) yaitu memberikan semangat kepada rakyat untuk terus membangun“.
Di antara falsafah Jawa yang lain adalah Sama bedho dono dendho yang berarti egalitarianisme, pluralisme, kesejahteraan, dan menjalankan hukum seadil-adilnya dan Komo arto dharmo mukso yaitu keinginan pada dunia harus dikontrol dan harus digunakan untuk berbakti kepada manusia, dengan begitu bisa mencapai kesempurnaan. Ungkap lulusan UIN Syarif Hidayatullah ini.
Lalu bagaimana Islam melakukan akulturasi dengan ajaran kejawen?. Dalam menerjemahkan konsep-konsepnya, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Oleh karena itu, Islam merupakan unsur penting pembentuk jati diri orang Jawa. Ajaran dan kebudayaan Islam mengalir sangat deras dari Arab dan Timur Tengah sehingga memberi warna yang sangat kental terhadap kebudayaan Jawa.
Islam masuk ke Jawa, menurut Ali Sobirin adalah melalui akulturasi damai karena para pendakwah Islam yang datang ke Jawa adalah para santri ulama dan pedagang bukan para prajurit perang sehingga salah satu prakteknya adalah dengan melakukan perkawinan. Selain itu juga didukung oleh sifat tenggang rasa dari orang Jawa sendiri yang mudah menerima sesuatu dari luar.
Dalam perjalanan sejarahnya agama Islam telah mengubah wajah dan kiblat orang Jawa, namun kuatnya tradisi membuat Islam mau tidak mau harus siap berakulturasi. Wujud akulturasi tersebut menjadi ajaran khas Jawa. Tegasnya.
Sebagai contohnya adalah konsep Isi atau Wadah di mana orang Jawa mempunyai tradisi kumpul-kumpul setelah ada kematian atau kelahiran. Oleh Walisongo tradisi kumpul-kumpul tersebut tidak dihilangkan tetapi isinya diganti dengan membaca ayat-ayat suci al-Qur’an.
Pada kesempatan yang sama, Muhtadin AR memberikan kesimpulan bahwa Kejawen sebenarnya memuat ajaran-ajaran (laku-lampah) sangat luhur yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tetapi ajaran ini seringkali dicitrakan sebagai ajaran mistik yang sesat. Oleh karena itu tantangannya adalah bagaimana mengkompromikan ajaran-ajaran yang luhur tersebut dengan kondisi masyarakat sekarang ini. [masykur-JIE].JARINGN ISLAM EMANSIPATORIS

Comments

Subianto said…
kejawen itu agama yang adiluhung luhur sekali di jawa harus di lestarikan dan dilaksanankan

Popular posts from this blog

Belajar dari Wirid Wirayat Jati Ronggowarsito

Banyak orang yang tidak tahu apa sih ilmu sejati itu? Banyak para salik yang mencari suluk untuk mendapatkan ilmu sejati yakni ilmu kasampurnan (kesempurnaan) hidup. Tidak ada salahnya jika kita belajar ilmu kasampurnaan hidup itu dari Raden Ngabehi Ronggowarsito dari Serat Wirid Wirayat Jati yang ditulisnya. Bagaimana ilmu kasampurnan itu? Anênggih punika pituduh ingkang sanyata, anggêlarakên dunung lan pangkating kawruh kasampurnan, winiwih saking pamêjangipun para wicaksana ing Nungsa Jawi, karsa ambuka pitêdah kasajatining kawruh kasampurnan, tutuladhan saking Kitab Tasawuf, panggêlaring wêjangan wau thukul saking kawêningan raosing panggalih, inggih cipta sasmitaning Pangeran, rinilan ambuka wêdharing pangandikaning Pangeran dhatêng Nabi. Musa, Kalamolah, ingkang suraosipun makatên: Ing sabênêr-bênêre manungsa iku kanyatahaning Pangeran, lan Pangeran iku mung sawiji. (Inilah sebuah petunjuk benar yang menjelaskan ilmu sirr kesempurnaan hidup, yang berakar dari

PRIMBON JAWA LENGKAP

Sistim Penanggalan Jawa Sistim Penanggalan Jawa lebih lengkap dan komprehensif apabila dibandingkan dengan sistim penanggalan lainnya, lengkap dan komprehensifnya adalah suatu pembuktian bahwa ketelitian Jawa dalam mengamati kondisi dan pengaruh seluruh alam semesta terhadap planet bumi seisinya termasuk pengaruh kepada pranatan kehidupan manusia, dapat disampaikan antara lain adanya rumusan tata penanggalan jawa sebagai berikut : 1. Pancawara – Pasaran; Perhitungan hari dengan siklus 5 harian : 1. Kliwon/ Kasih 2. Legi / Manis 3. Pahing / Jenar 4. Pon / Palguna 5. Wage / Kresna/ Langking 2. Sadwara – Paringkelan, Perhitungan hari dengan siklus 6 harian 1. Tungle / Daun 2. Aryang / Manusia 3. Wurukung/ Hewan 4. Paningron / Mina/Ikan 5. Uwas / Peksi/Burung 6. Mawulu / Taru/Benih. 3. Saptawara – Padinan, Perhitungan hari dengan siklus 7 harian : 1. Minggu / Radite 2. Senen / Soma 3. Selasa / Anggara 4. Rebo / Budha 5. Kemis / Respati 6. Jemuwah / Sukra 7. Setu / Tumpak/Sa

Agama asli jawa Indonesia

HONG WILAHENG NGIGENO MESTUTI, LUPUTO SARIK LAWAN SANDI, LUPUTO DENDANING TAWANG TOWANG, DJAGAD DEWO BATORO HJANG DJAGAD PRAMUDITO BUWONO LANGGENG AGOMO BUDDODJAWI-WISNU hing TANAH DJOWO ( INDONESIA ) ---oooOooo--- Lambang Cokro Umbul - Umbul Klaras            Wiwitipun ngadeg Agami Buddodjawi-Wisnu wonten ing Suroboyo, nudju dinten Tumpak cemengan (Saptu Wage), tanggal kaping 11 Palguno 1856. (Djumadilawal) utawi tanggal 25 November 1925 mongso kanem, windu sengsoro, Tinengeran condro sangkolo. Ojaging Pandowo Angesti Buddo 1856. Utawi tahun Ismoyo 8756.            Tujuan Agami Buddodjawi-Wisnu anenangi soho angemuti dumateng Agami soho Kabudayan kita ing Indonesia ingkang asli soho murni, kados dene wontenipun negari Modjopait sapanginggil sederengipun wonten Agami penjajahan. Agami Buddodjawi-wisnu puniko mengku punjering Kabudayan Nasional ingkang asli soho murni ing Indonesia. Dene Punjering Kabudayan wau ingkan ngawontenaken adat t